抖阴社区

Sakit

57 5 0
                                    

Terluka dengan hati yang berdarah-darah, namun bibir tetap bertahan dengan lengkungan paling memilukan yang orang-orang sebut sebagai sebuah senyuman.

~•~

Jungkook selalu percaya bahwa tak ada hari esok yang lebih baik dari hari ini, sebab semuanya akan tetap sama dengan koleksi luka yang semakin parah. Namun semesta mempertemukannya dengan gadis itu, Jungkook seketika merubah semua pola pikir itu. Bertindak layaknya bucin yang tergila-gila, terus mengejar padahal tahu bahwa yang dikejar terus mencoba menghindar. Kalau cerita pada orang lain tentang alasannya untuk bertahan, barangkali Jungkook akan dikatakan manusia paling bodoh.

Hanya saja, Yoongi pernah mengatakan bahwa kriteria bahagia setiap orang itu berbeda. Kalaupun orang mengatakan bodoh, itu berarti dia menganggap kalau hal yang kita lakukan tidak patut untuk dipertahankan. Lakukan apapun yang di suka, lupakan apa yang orang-orang katakan, dan hiduplah bahagia.

Namun, alih-alih menemukan sebuah kebahagiaan yang dia harapkan balas mendekap dengan raut penuh cinta yang membuat Jungkook semakin bahagia, dia malah menemukan sesuatu yang lebih buruk ketimbang bayangan tentang kematian yang siap datang kapan saja. Matanya tidak memperlihatkan sebuah binar menyejukkan seperti pertama kali mereka bertemu, namun lebih pada sebuah kepedihan yang mendalam. Irisnya nampak terluka, dengan bibir bawah yang terus dia gigit.

Jihyo, berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak terisak saat itu juga.

"Aku menyukaimu," ulang gadis itu, lantas setitik liquid bening jatuh dari mata cantiknya. "Tapi aku tidak mau bersama denganmu," lanjut Jihyo, sebelum buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipinya. "Aku tidak mau terluka lebih banyak, tidak mau hidup bersama rasa cinta yang tidak bisa aku miliki. Aku tidak mau menjadi gadis menyedihkan yang meratapi kematian kekasihnya,"

Baiklah, sekarang Jungkook mengerti kenapa gadis ini nampak begitu keras kepala dengan mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai Jungkook. Sembari berusaha mengusak air mata, pun menahan diri dengan susah payah agar tidak terisak, Jihyo melangkahkan kakinya untuk beranjak pergi dari ruangan itu. Cinta tak harus memiliki, bukankah begitu? Namun Jungkook sadar, bahwa sekuat apapun dia mencoba, tetap saja takdir akan memberikan mereka akhir yang menyedihkan.

"Aku...," Jungkook kembali bersuara, tercekat ludah sendiri sebelum kembali melanjutkan sementara Jihyo sudah menghentikan langkah kakinya. "Aku akan berusaha untuk sembuh, aku akan rutin minum obat, kontrol, dan juga menjaga kondisi tubuh agar lebih fit. Jadi, aku mohon, Ji. Aku mohon untuk tidak pergi dan berjuang bersama denganku,"

Air mata gadis itu sudah menetes terlampau banyak, terisak dengan kepala yang terasa begitu berat. Sebelum berbalik guna menatap mata penuh keputusasaan itu, Jihyo terkekeh sejenak. "Aku tidak mau berharap lagi, Jungkook. Karena berharap itu menyakitkan," katanya, "kalau kau memang mencintaiku, dan ingin bersama denganku. Maka setelah dokter mengatakan kalau kau benar-benar sehat, datanglah padaku."

Terhenyak kaget dengan perkataan kejam dari si gadis, Jungkook terkekeh pelan sebelum menyadari bahwa bulir bening itu sudah menetes membasahi pipinya. Kenapa orang-orang begitu kejam, ya? Jungkook juga tidak berharap untuk hidup seperti ini, tidak berharap bisa menjadi manusia penyakitan yang kapan saja bisa meregang nyawa. Hanya saja, pemuda itu seolah menerima tanpa bisa protes dan berakhir ditinggalkan sendirian bersama rasa sedihnya yang semakin mendalam.

~•~

Jihyo tahu bahwa dirinya jahat, terlalu kejam untuk ukuran manusia. Tapi, dia hanya mencoba untuk lebih realistis dalam menjalani hidupnya. Ayah dulu pergi, meninggalkannya dengan segudang harapan yang semakin hari semakin membuat dada jadi sesak. Dia tidak mau lagi hidup bersama segala harap, menunggu, lalu berakhir menyedihkan bahwa yang dia lihat adalah kenyataan di mana semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki. Barangkali, mendoakan dari jauh lebih baik ketimbang menunggu kemudian semuanya hancur.

Setelah dari malam MT waktu itu, Jihyo kembali ke tempat itu. Dengan harapan bisa bertemu dengan lelaki yang dia temui waktu itu, kemudian kembali menjalani hidup sederhana yang dia harapkan sejak awal. Hanya saja, tidak. Dia terlambat datang, sebab ketika berkelana mencari dan bertanya pada nenek penjaga warung waktu itu, beliau mengatakan kalau lelaki itu meninggal dunia sehari sebelum dia di sana. Jihyo terlambat datang, satu hari yang merubah segalanya.

"Kami di sini tidak tahu kalau dia sakit," kata si nenek, "tapi sewaktu dia ditemukan meninggal di rumah kontrakannya, polisi mengatakan kalau dia meninggal karena sakit. Apa itu namanya? Kanker paru-paru?"

Setelah semua yang dia lewati, Jihyo baru paham kenapa ayahnya selalu batuk-batuk, menjadi malas dan hanya diam di rumah sampai dia di pecat. Hal itu juga yang membuat ibu mendadak benci, rasa cinta yang mereka bangun runtuh seketika. Ibu murka, kemudian pergi meninggalkan ayah tanpa tahu kebenarannya. Dan saat itu, menangis seperti anak kecil kehilangan ibunya di pasar yang ramai adalah satu-satunya kegiatan yang bisa Jihyo lakukan sekaligus meluapkan semua amarahnya.

Dan hal itu juga yang menjadikan alasan kenapa bisa bertindak sejahat ini pada pemuda yang tidak tahu apa-apa, sebab Jihyo juga tidak mau memberi Jungkook luka lebih banyak sementara dia tahu bahwa jantungnya terus berdetak tak karuan saat melihat pemuda itu. Sebab, kata tunggu yang ayah katakan padanya waktu itu sudah mampu membuatnya hancur dan menjadi pribadi menyedihkan seperti ini.

Sesampainya di rumah, Jihyo langsung berlalu ke dalam kamarnya. Meringkuk di bawah guyuran shower, menangis tersedu-sedu bersama hati yang berdenyut sakit. Andai waktu bisa kembali ke masa di mana dia tak mengenal Jungkook, andai waktu bisa kembali ke masa di mana dia tak memilih ikut ibu ke rumah suami barunya. Jihyo, menyesali segala hal yang sudah terjadi saat ini. Menangis seperti gadis paling menyedihkan, padahal baru saja dia mematahkan satu hati yang dengan tulus ingin berjuang bersama dengannya.

Namun, lagi. Jihyo hanya takut semesta mempermainkannya.

Pintu kamar mandi gadis itu di ketuk begitu pelan, suara soprano samar-samar terdengar. Tapi Jihyo tidak mendengar, sebab suara guyuran air dan tangisannya lebih mendominasi. Seokjin, lelaki yang di balik daun pintu berwarna merah muda lembut itu hanya bisa menghela napasnya. Entah kenapa, kisah cinta dua orang ini teramat rumit.

"Ji, kau baik-baik saja?" Pada akhirnya, Seokjin memberanikan diri untuk bertanya meski dia samar-samar mendengar suara isak tangis di dalam sana.

"Jangan terlalu lama mengguyur tubuhmu, nanti sakit. Kau tidak mau jatuh sakit, 'kan?"

Alih-alih memberikan jawaban, Jihyo malah membuka pintu kamar mandinya dan menampakkan pemandangan dengan kekacauan yang begitu jelas di wajahnya. Mata memerah, hidung yang tak kalah merah, tubuh basah kuyup, dan air mata yang merembes bersamaan air dari rambutnya. Seokjin yang melihat sejenak tersentak kaget, lalu tersenyum dan menarik tubuh basah sang adik untuk dia peluk.

"Semua akan baik-baik saja, kok." []

Fragile HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang