QUERENCIA • HyunJeong

By shxjns

46.7K 6.7K 587

❝ Querencia: a place where one feels at home. ❞ ㅡ Hyunjin Dom ㅡ Jeongin Sub ㅡ Mature Content (including self... More

Ch.1
Ch.2
Ch.3
Ch.4
Ch.5
Ch.6
Ch.7
Ch.8
Ch.9
Ch.10
Ch.11
Ch.12
Ch.13
Ch.14
Ch.15
Ch.16
Ch.17
Ch.18
Ch.19
Ch.20
Ch.21
Ch.22
Ch.23
Ch.24
Ch.25
Ch.26
Ch.27
Ch.28
Ch.29
Ch.30
Ch. 31
Ch.32
Ch.33
Ch.34
Ch.35
Ch.36
Ch.37
Ch.38
Ch.39
Ch.40
Ch.41
Ch.42
Ch.43
Ch.44
Ch.45
Ch.46
Ch.47
Ch.48
Ch.50 (END)

Ch.49

631 76 9
By shxjns


Déjà vu.

Hyunjin seperti pernah melihat hal ini. Otaknya mencoba berpikir keras hingga terasa sakit. Dia menemukan suatu titik dimana dia kembali kepada bayang-bayang mengerikan yang sempat membuatnya begitu ketakutan.

Mimpinya. Hyunjin benar-benar ingat, bahkan tak ada satu bagian pun yang bisa ia hilangkan dari keping memorinya. Bagaimana ketika sang adik terbaring tenang dengan wajah damai dan darah yang menggenang di sekitarnya buat Hyunjin begitu ketakutan.

Apa yang ia lihat saat ini adalah bentuk lain dari mimpi buruk itu. Namun kali ini nyata, sangat nyata sampai-sampai dia harus menggigit bibirnya untuk menyakinkan diri.

Lutut bergetar, pupil mata membesar, jantung pun berdetak dengan sangat cepat. Ia ingin berteriak mengatakan apapun. Namun hanya uap kosong yang mampu ia keluarkan.

Dan di detik ke-10 dia berdiri disana, Hyunjin tersadar. Ia berlari secepat yang ia bisa untuk merengkuh tubuh rapuh adiknya kedalam pelukan hangat. Hyunjin menangis.

"J-jeongin." Bibirnya bergetar. Ibu jari dengan takut-takut mengusap pipi pucat Jeongin.

Ia tak pernah menyangka adiknya akan senekat ini. Semuanya terlihat aneh sejak awal. Jeongin tidak mengatakan apapun, dia bahkan enggan mengucapkan sepatah kata untuk Hyunjin. Dan bodohnya ia, kenapa harus menunda untuk masuk ke dalam sana? Kenapa dia harus menunggu lebih lama baru berpikir untuk mendobrak pintu kamar sang adik?

Kata kenapa terus berputar di otaknya saat ini. Kalut bercampur rasa takut menyatu membuat peningnya bertambah. Masih dengan tangan yang bergetar Hyunjin mengambil handphonennya. Satu-satunya yang terlintas di otaknya sekarang hanyalah dokter Rachel.

Beruntung tidak butuh waktu lama Dokter Rachel datang bersama sebuah mobil ambulance. Kegaduhan yang terjadi mengundang Minhyun untuk keluar dari kamarnya. Dan betapa terkejutnya pria paruh baya itu ketika melihat anak termudanya tak berdaya dalam gendongan Hyunjin. Ia ingin bertanya, namun Hyunjin lebih dulu berteriak 'JANGAN MENDEKAT!' dengan sangat keras. Itu membuat Minhyun terdiam dan hanya bisa mematung.

Ketika Hyunjin sudah masuk ke dalam mobil bersama dokter Rachel barulah Minhyun dapat menyimpulkan segala bentuk kemungkinan yang baru saja terjadi. Pria bermarga Hwang itu terduduk di sofa dengan pandangan kosong menatap lantai.

Apa Jeongin mencoba melukai dirinya sendiri?

Tidak ada hal lain yang dapat ia pikirkan. Sejauh ini hanya itu yang menjadi satu-satunya alasan kenapa Jeongin bisa berakhir seperti ini. Perlahan rasa menyesal timbul dalam hati.

Sungguh, dia hanya ingin yang terbaik untuk Jeongin, tapi anak itu tak ingin mengikuti aturannya dan berujung dengan Minhyun yang marah. Ia akui ia memang buruk dalam mengontrol emosi, bahkan ia cenderung ringan tangan jika sudah lupa diri. Itu pula yang menjadi salah satu alasan Ibunda Jeongin meminta cerai.

Tapi Minhyun tidak pernah mengaharapkan hal sejauh ini, sama sekali tidak. Ia sangat menyayangi Jeongin. Dia takut bahwa sang anak mungkin saja akan menghadapi hujatan banyak orang di masa depan. Minhyun ingin melindunginya, tapi kenyataan menampar dan menyadarkannya bahwa cara yang ia gunakan salah.

Minhyun seharusnya tau bahwa apa yang ia lakukan berakhir menjadi pupuk yang menyuburkan rasa traumatis Jeongin menjadi semakin besar.

Minhyun butuh ketenangan. Ia harus mendinginkan pikirannya agar ia mampu mengambil keputusan yang terbaik setelah ini. Ketika semuanya mulai bisa dikendalikan, barulah ia akan menyusul ke rumah sakit untuk melihat Jeongin.

Jujur, dalam hati kecilnya ada rasa takut yang menghantui. Minhyun penasaran dengan hal yang terjadi pada Jeongin. Tapi bertanya pada Hyunjin pun percuma, pasti anak itu masih sangat marah padanya. Mungkin dia bisa bertanya kepada dokter Rachel nantinya.

"Minum." Dokter Rachel menyodorkan sebuah cup berisi teh ke arah Hyunjin yang terlihat menunduk seraya menjambaki rambutnya.

Yang dipanggil mendongak. Dengan mata sembab ia menatap kosong gelas berisi teh itu, kemudian Hyunjin menggeleng.

"Hyunjin, sikap kamu yang begini sama sekali gak akan memperbaiki keadaan. Tenang dan berdoa semoga semua bakal baik-baik saja."

"G-gimana kalau dia gak selamat dok?" Suara pria itu bergetar lagi, air mata yang sempat mengering kembali membentuk awan tipis. Hyunjin hanya terlalu takut. Bayangan mimpi yang pernah ia alami jelas menjadi penyebab kegelisahannya.

"Ketika kamu memikirkan hal buruk, maka semuanya bisa berujung berantakan. Jadi sekarang coba kontrol dirimu, tenang dan berharap bahwa dokter di dalam sana bisa menyelamatkan Jeongin. Mereka mengusahakan yang terbaik buat kamu dan adikmu, Hyunjin." Wanita cantik itu tersenyum. Ia meraih tangan Hyunjin dan menuntunnya untuk menggenggam cup berisi teh tersebut. Rasanya hangat.

"Terimakasih dokter. Maaf udah terlalu ngerepotin."

"Jangan bicara begitu. Saya masih punya tanggung jawab terhadap Jeongin."

Hyunjin mengangguk. Ia menyesap isi dari dalam cup yang diberikan oleh dokter Rachel. Sekarang otaknya sedikit mendingin, tidak sekalut tadi.

"Hyunjin, boleh saya tanya sesuatu?"

Hyunjin mengangguk.

"Jeongin belum pernah dibawa ke psikiater atau psikolog sebelumnya kan?"

"Setau saya belum."

"Maaf mengatakan ini sebelumnya, tapi sepertinya Jeongin mengalami PTSD. Apa Hyunjin tau?"

"Aku pernah denger, tapi gak secara mendetail."

"Ini mungkin cuman dugaan. Tapi besar kemungkinan iya. Jeongin pernah mengalami kekerasan seksual saat dia masik kecil kan? itu bisa jadi salah satu penyebab PTSD. Belum lagi kejadian-kejadian lain yang memicu memori lama terulang. Hyunjin, ini memang fakta yang agak menyakitkan. Tapi saya harus mengatakannya supaya kamu siap dengan segala kemungkinan yang terjadi." wanita itu merapikan coat panjangnya sebentar.

"ㅡKekerasan seksual itu benar-benar dapat berdampak buruk untuk mental dan fisik. Terlebih jika di alami saat muda. Berkaca dari kasus adik kamu, itu tergolong cukup parah. Saya memang baru kenal Jeongin dan gak punya cukup waktu mengobservasi perilaku anak itu lebih jauh. Tapi sepertinya dia tipe anak yang menyembunyikan sakitnya sendirian. Jadi mungkin kita gak tau apa aja yang udah anak itu lewati. Self harm, dia ngelakuin itu bukan dengan sengaja. Pasti ada faktor yang dorong Jeongin buat lukai dirinya sendiri, mungkin pengalihan akan rasa takutnya."

"Jeongin memang selalu berlagak kuat." Hyunjin menggumam.

"Ya. Dan tadi sekilas saya liat wajah Jeongin luka dan lebam, kenapa?"

"Papa tampar Jeje karena berani bilang kalau dia gak mau terapi lagi dan dengan entengnya bilang kalau dia mau jadi pacarku. Jelas Papa marah besar setelah itu."

Dokter Rachel mengangguk, "Itu cuma akan memperburuk kondisi mental Jeogin. Yang dikhawatirkan nantinya itu bisa memicu Disosiasi, sederhananya seperti orang hidup yang tidak punya jiwa. Atau mungkin bisa lebih parah; muncul adanya kepribadian ganda. Jeongin yang lemah dan penakut bisa memunculkan Jeongin yang keras dan pemberontak. Hal itu gak menutup kemungkinan. Harusnya Jeongin di support, sejujurnya apa yang dia butuhkan itu sederhana, Hyunjin, sangat sederhana. Dia cuma butuh kasih sayang dan dimengerti."

Perkataan Dokter muda itu menampar telak hatinya. Hyunjin menghembuskan napas keras. Badannya ia sandarkan pada dinding dingin rumah sakit.

"Ada yang kamu pikirin?"

Bangchan tersentak ketika telapak tangan besar Jeno menepuk pahanya pelan. Ia tersenyum canggung kemudian menggeleng.

"Jangan bohong, aku tau dari raut wajahmu."

"Aku cumaㅡentahlah, perasaanku gak enak."

"Tentang Jeongin?" Tebak Jeno.

Bangchan menggeleng, tapi beberapa detik kemudian ia mengangguk, "Tiba-tiba aku inget dia." Ujarnya pelan.

"Mungkin itu karena kamu masih belum bisa lepasin dia seutuhnya. Atau mau coba telepon dia sekarang buat sekedar mastiin kalau dia baik-baik aja?"

"Aku rasa gak perlu, terlalu berlebihan."

Jeno mengedikkan bahu acuh, pria tinggi itu menyesap americanonya pelan sambil sesekali melihat jam tangan.

"Setelah aku pulang nanti, kamu harus jaga diri baik-baik. Jangan makan sembarangan, jangan pernah berani ngerokok, seriuslah dalam belajar walaupun aku tau kamu itu cerdas, dan jangan pernah mainin perasaan orang yang kamu sayang."

"Kamu cerewet kayak bibi-bibi."

"Gini-gini karena aku perduli sama kamu, Chan. Kalo enggak buat apa aku buang waktu dengar setiap curhatanmu dan kasih petuah kayak gini?"

"Iya berisik, aku paham."

"Hm, dan tentang cowok yang pernah kamu ceritain itu. Kim Seungmin kan namanya? Aku harap kamu gak cuman sekedar singgah lalu hilang gitu aja. Kalau beneran suka, ya seriusin. Meskipun aku agak kurang percaya sama yang namanya cinta pandangan pertama."

"Hey, aku gak pernah bilang kalau aku kena 'cinta pada pandangan pertama' sama Seungmin." Elak Bangchan tak terima.

"Tapi kamu nyeritain Seungmin ke aku pakai tatapan penuh cinta gitu, gimana dong?"

"Terserah." Bangchan mendengus.

Jeno sendiri hanya tertawa. Pria itu melihat lagi jam tangannya kemudian berdiri dan bersiap menggeret koper hitam miliknya.

"Aku berangkat, kamu jaga diri disini. Mungkin kapan-kapan aku bakal balik."

"Gausah balik lagi juga gak masalah."

"Gak mau, nanti kangen." Jeno bergerak memeluk tubuh Bangchan. Yang dipeluk hanya terkekeh pelan dan menepuk punggung Jeno sekilas.

"Dah, hati-hati dijalan."

Jeno tersenyum. Ia melepaskan pelukannya dan mulai menggeret kopernya menjauh, tak lupa melambaikan tangan sebentar baru kemudian benar-benar berbalik.

Setelah Jeno tak lagi terlihat, Bangchan menurunkan tangannya yang tadi digunakan untuk melambai. Ia tersenyum pelan lalu menarik earphone dari saku jaket dan memasangkan benda berwarna putih tersebut ke telinga. Pria itu keluar dari area bandara dengan iringan lagu dari 'Calum Scott - You Are The Reason' yang di cover oleh Seungmin.

Semenjak kejadian yang melibatkan dirinya dengan Changbin dan Nancy, Felix terkesan lebih menutup diri dengan sekitar. Ia tak banyak bicara, bahkan Jisung keheranan dibuatnya. Sudah beberapa kali Jisung mencoba mengajak Felix untuk sekedar bercerita, mungkin saja Jisung bisa memberi sedikit solusi. Tapi Felix selalu bilang bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi dengan dirinya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.

Rasa sakit mendengar pernyataan bahwa Changbin akan bertunangan dengan Nancy masih melekat di hati. Meski saat itu Eric sudah berbaik hati mendengarkan apa yang terjadi dan memberi pelukan penenang, tapi tetap saja Felix masih merasa tidak terima. ia tidak ingin Changbin bertunangan dengan Nancy, sangat tidak rela jika itu benar terjadi.

Biarkan dia egois, dia juga ingin bahagia. Sudah cukup selama ini apapun yang ia lakukan selalu di kekang oleh ibunya. Untuk sekarang Felix ingin mencoba memperjuangkan kebahagiaannya sendiri.

Semilir lembut angin menerpa rambut halus Felix. Suasana sepi taman belakang adalah hal yang paling ia butuhkan saat ini. Dia butuh tempat terbaik untuk menenangkan perasaannya yang kacau. Bahkan beberapa pesan dan satu panggilan tidak terjawab dari Eric dia acuhkan begitu saja.

Felix menarik lututnya hingga sebatas dada sementara lengannya ia tumpukan di atas lutut. Bibirnya mengulas senyum tipis ketika melihat kupu-kupu terbang dihadapannya.

Getaran tanda notifikasi pesan membuat felix mengalihkan atensi. Ia mengambil handphone di saku dan mendengus, berpikir mungkin bahwa itu adalah Eric lagi. Tapi ternyata Felix salah. Setelah sekian lama akhirnya Changbin mengirimkan pesan kepadanya.


'Dimana?'
09.12




Felix ingin berteriak. Meski singkat tapi ia tidak bisa menahan perasaan yang membuncah dihatinya. Mungkinkah Changbin ingin meminta maaf padanya?



'Di taman belakang kak. Kenapa?'
09.13



Pria manis itu mengetik dengan senyum tertahan. Ia sampai harus menggigit bibirnya.



'Tunggu disitu, aku nyusul kesana.'
09.13



Dengan jantung berdebar Felix mendekap handphone di dada. Pundak sempitnya ia sandarkan pada batang pohon rindang dibelakangnya.

Tak sampai 5 menit Changbin benar-benar datang. Pria berwajah dingin itu memilih duduk di sebelah Felix, tak memberi jarak.

"K-kakak kenapa kesini?" Tanya Felix dengan nada pelan.

"Sebelumnya akuvmau minta maaf. Ucapanku di mall waktu itu mungkin agak kasar buatmu."

"Itu Felix yang salah kak." Balas Felix pelan.

"Lix, sebenernya tujuanku kesini bukan cuma mau minta maaf," Changbin mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

Dengan pandangan bingung Felix melihat sebuah kertas berwarna merah marun dengan perpaduan gold yang dipegang oleh Changbin.

"Ini memang masih lama dan belum disebar. Tapi aku mau kamu jadi yang pertama terima ini. Aku harap kamu bisa datang."

Jantung Felix berdetak lebih cepat, "I-ini apa?"

"Undangan pertunanganku sama Nancy."

Setelah Changbin menjawab pertanyaannya, kedua manik indah si manis langsung berembun akibat memproduksi liquid bening yang siap tumpah kapanpun.

Felix yang sudah terlampau senang karena mengira hubungannya dan Changbin akan membaik tiba-tiba seakan dihempaskan begitu saja. Rasanya sangat sakit, jantung yang berdetak di balik tulang rusuknya seperti diremas kuat.

"A-apa?" Felix masih tidak ingin percaya. Ia enggan menerima undangan tersebut, terlalu takut.

Changbin menghela napas, "Felix, maaf. Maaf kalau selama ini aku terkesan kasih harapan palsu buatmu."

"J-jahat.." Si manis mencengkram dada dengan jemari kecilnya, berharap rasa sakit seperti ditusuk-tusuk itu segera menghilang.

"Maaf." Changbin menarik tubuh kecil Felix dalam rengkuhan. Diam-diam Changbin ikut menangis, namun ia usap cepat kedua matanya.

"K-kakak orang pertama yang tau masalah personalku. Kakak yang ngerti aku gimana dan apa yang aku mau. T-tapi setelah semua ini, k-kakak pergi gitu aja. B-bukannya itu jahat?" Ujar Felix tersendat-sendat. Jemarinya mencengkram seragam Changbin erat.

"Aku yang brengsek ini gak pantas bersanding sama kamu Lix. Mulai sekarang jauhi aku dan cari yang jauh lebih baik ."

Felix menggeleng ribut, "G-gak mau, aku mau kakak, hiks.."

"Sstt.. stop nangis karena aku. Air matamu bakal sia-sia." Changbin mendorong pelan tubuh Felix. Kedua tangannya menangkup pipi si manis yang dihiasi bintang-bintang cantik berwarna hitam pudar dibawah mata. Perlahan ibu jari bergerak mengusap bekas lelehan air mata yang tampak mengganggu.

"A-apa gak ada harapan?" Tanya Felix pelan.

Changbin menggeleng, "Tolong bahagia, walaupun tanpa aku." Changbin mengecup dahi Felix lama. Mati-matian menahan air mata yang hendak terjun jatuh bersama.

Jujur Changbin mencintai Felix. Ya, dia merasakannya sekarang. Ah, mungkin getaran itu sudah ada semenjak Changbin menyelamatkan Felix ketika ia ditantang balapan oleh Yongguk.

Hanya saja saat itu perasaannya masih samar dan ia terlalu asing dengan hal tersebut. Namun seiring berjalannya waktu Changbin menyadari perasaan itu tumbuh dengan baik dalam dirinya. Setiap detik ulasan senyum yang Felix buat tanpa sadar menimbulkan kebahagiaan untuknya. Dan saat Felix menangis, ada perasaan teriris ikut dia rasakan. Changbin tau itu cinta.

Tapi Dia tidak ingin mengambil resiko. Nancy memberitahu ayahnya tentang Felix dan ayahnya benar-benar marah. Ia sungguh tidak ingin Felix terluka. Akan lebih baik Changbin melepas pria manis tersebut daripada meletakkan Felix ditengah bahaya. Dia tahu Ayahnya bukan tipe orang yang pengasih.

Ciumannya berlabuh pada kedua kelopak mata Felix, lalu perlahan turun memberikan kecupan seringan kepakan sayap kupu-kelupu di kedua pipi dan puncak hidung si manis yang bersemu merah. Bibirnya hendak mengecup belah mawar milik Felix, namun ia urungkan, ia rasa itu akan terlalu lancang. Dia tidak bisa memberi harapan lagi kepada Felix.

Si manis membuka kelopak mata ketika menyadari pergerakan Changbin terhenti. ia menunduk karena merasa malu dengan dirinya yang terlalu banyak berharap.

"Aku pergi ya Fel. Jaga dirimu baik-baik." Changbin mengusap surai halus itu pelan kemudian bangkit berdiri meninggalkan undangan tersebut di sebelah Felix.

"K-kak, jangan pergi." Pelan, suaranya sangat pelan. Felix tidak bisa berteriak, ia hanya bisa menangis memandang punggung Changbin yang perlahan menjauh.

Kemudian isakannya mengeras. Ia meremas lututnya kuat untuk melampiaskan rasa sakit di dada yang semakin menjadi. Kepalanya tenggelam dalam lipatan lengan.

"Bukannya dia udah bilang kalau setelah dia pergi kamu harus bahagia, bukannya justru sedih begini."

Felix mendongak perlahan merasakan usapan lembut di kepalanya.

"K-kak Eric? Gimana kakakㅡ"

Eric tersenyum, "Aku baru selesai dari rumah kaca dan ternyata gak sengaja lihat kalian disini. Aku dengar semuanya."

"Ah, a-aku pasti keliatan lemah banget dimata kakak." gumam Felix seraya mengusap matanya cepat dengan telapak tangan guna menghapus sisa-sisa air mata yang masih menggenang.

"Gak ada yang salah dengan bersedih. Semua orang bebas buat nangis, termasuk kamu." Ujar Eric seraya mengambil tempat duduk disamping Felix. Pria itu membuka undangan milik Changbin dan membacanya dalam hati sekilas, kemudian meletakkannya lagi di atas rerumputan.

"Kak Eric."

"Hm?" Eric menoleh ke arah Felix.

"Apa aku seburuk itu? Apa aku gak pantas dicintai?"

"Hey, kenapa bicaramu begitu? Itu konyol."

"Aku takut kalau suatu saat semua bakal berakhir begini lagi." Kedua maniknya mulai berkaca-kaca.

"Felix, liat aku." Midam menangkup pipi Felix dengan lembut.

"Siapapun yang bicada buruk tentangmu, lupain. Karena itu cuma omong kosong yang sama sekali gak berbobot. Kamu cantik, kamu manis, kamu indah, dan kamu pantas dicintai. Buktinya aku bisa jatuh dalam pesonamu sejak pertama kali kita ketemu."

Kedua manik Felix membola, bibirnya tergagap ingin berucap, "M-maksud kakak?"

Eric menarik napasnya dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Ia menatap tepat manik lembut pria manis di depannya, "Aku tau ini terlalu buru-buru dan terkesan main-main, tapi aku serius dan yakin 100% sama hal ini. Lee Felix, aku bakal gantikan Changbin di hatimu, bakal jadi orang yang jagain kamu, dan bakal lindungi kamu dari apapun. Kamu mau kan jadi pacarku?"

Awalnya Felix terkejut. Ia tidak menyangka kalau ternyata selama ini Eric menaruh rasa padanya. Meski ragu namun Felix ingin mencoba memberikan kesempatan untuk pria it

Felix mengangguk malu-malu, "A-aku bakal ngasih kak Eric kesempatan."

Eric tersenyum, "Makasih, makasih udah ngasih aku kesempatan Lix." Pria itu mengecup dahi Felix sekilas lalu membawa si manis kedalam dekapan. Mendadak hatinya terasa lega ketika lengan kecil itu melingkar di pinggangnya.

Eric menutup kedua mata guna merapal janji dalam hati bahwa dia tidak akan menyakiti perasaan Felix.


'Hyunjin, kamu benar-benar gak mau lihat Jeongin? Dia udah berhasil lewati masa kritisnya, tapi dia masih belum sadar.'
16.52

Hyunjin menatap kosong layar ponsel yang menunjukkan pesan dari dokter Rachel.

Sudah tiga hari berlalu semenjak ia membawa Jeongin ke rumah sakit. Tak bisa Hyunjin pungkiri bahwa ada rasa lega di hati ketika dokter bilang bahwa Jeongin masih bisa diselamatkan.

Namun ketika dokter sudah memperbolehkannya untuk melihat sang adik, ia mendadak takut. Hyunjin seperti tidak punya keberanian untuk sekedar melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan. Ia tidak siap. Ini yang ke-lima kalinya dokter Rachel memaksa Hyunjin untuk melihat Jeongin, tapi ia masih enggan.

Tangannya mengusap permukaan kasur yang terasa hampa. Kemudian pandangannya tertuju pada sekeliling kamar sang adik. jujur Hyunjin merindukannya, rindu ketika suara Jeongin yang lembut itu terdengar menggelitik telinga, rindu pula bagaimana senyum manis itu terulas, Hyunjin rindu bagaimana hari-harinya dikelilingi oleh sosok Jeongin.

Dunianya seperti diputar balik. Dari yang awalnya begitu membenci sang adik, justru kini berganti seakan kehilangan ketika Jeongin tidak ada lagi disekitarnya.

Mungkin memang begitu. Seseorang baru akan lebih berharga dan dirindukan ketika kehadirannya tidak ada lagi disekitar kita.

"Jeongin." Gumaman pelan keluar dari mulutnya.

Pemuda bervisual luar biasa itu berdiri kemudian memilih keluar dari kamar milik Jeongin. Hyunjin naik ke lantai atas guna membersihkan diri dan berganti pakaian.

Setelah itu Hyunjin menyambar kunci mobil, dompet, dan handphonennya. Dia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Mungkin ini saatnya dia harus menghadapi kenyataan dan mencoba jujur dengan apa yang ia rasakan.

pemuda Hwang itu sampai di rumah sakit tempat adiknya dirawat setelah menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit. Ia turun dengan sekantung plastik makanan di tangan. Hyunjin berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit yang ramai.

Perlahan Hyunjin membuka ruangan VVIP tersebut dan dia dapat menemukan dokter Rachel tengah duduk di sofa memangku laptopnya, terlihat serius mengerjakan sesuatu. Hyunjin juga mendapati sang Ayah yang tengah duduk seraya menggenggam tangan Jeongin.

"Oh, akhirnya kamu mau datang." Dokter Rachel melepaskan kacamatanya. Ia meletakkan laptop miliknya ke meja.

"Aku bawa ini buat dokter." Hyunjin tersenyum, kemudian memberikan plastik tersebut kepada dokter cantik itu.

Pandangannya menatap datar ke arah Minhyun, "Kenapa Papa kesini?" Tanyanya dengan suara datar.

"Hyunjin, dengerin Papaㅡ"

"Aku pikir Papa gak perduli lagi sama Jeongin." Potongnya cepat.

"Papa nyesel Jin." Balas Minhyun seraya menunduk. Penampilan pria itu terlihat kacau, kumis tipisnya mulai tumbuh dan wajahnya terlihat kusam. Mungkin saja Minhyun tidak merawat diri selama beberapa hari belakangan.

"Nyesel? Setelah semua ini? iya?" Hyunjin terkekeh, "Itu keterlaluan Pa." lanjutnya dengan nada dingin.

"Papa gak tau kalau Jeongin kamu bakal senekat ini. P-papa nyesel, sungguh." Tutur Minhyun lagi. Kedua mata pria itu sudah berkaca-kaca.

"Kamu harus kasih kesempatan buat Ayah kamu." Dokter Rachel menepuk bahu Hyunjin pelan.

"Lantas setelah ini Papa mau ngapain? Mau ngelarang Jeongin lagi? Terus biarin kejadian kayak gini terulang dan Papa bakal nyesel lagi, gitu? Ini akan jadi lingkaran gak berujung Pa. Semua bakalan berhenti ketika Jeongin benar-benar udah pergi dari dunia ini!" Suara Hyunjin meninggi.

"Hyunjin! Ngomong apa kamu?!"

"Aku berbicara fakta Pa. Kalau Papa masih kukuh sama pendirian Papa, bukan gak mungkin kalau Jeongin beneran bisa mati! Jiwanya udah hancur bahkan semenjak dia datang kesini. Dan itu semua karena aku." Suara Hyunjin memelan, satu tetes air mata jatuh turun ke pipi. Namun ia tidak terisak,

"Jadi aku harap Papa gak nambah penderitaan Jeongin lagi."

Minhyun menutup mata, kemudian membukanya lagi. Ia menghembuskan napas pelan.

"Oke, papa sadar semua cara yang Papa lakuin itu salah dan cuma berujung sakiti Jeongin. Sekarang Papa cuman mau Jeongin bahagia. Dan kalau memang begitu satu-satunya cara Jeongin untuk bahagia, Papa gak bakalan maksain apapun ke kalian lagi. Tapi kalau suatu saat kalian merasa tertekan dengan segala kesulitan karena resiko yang berani kalian ambil, maaf Papa gak bisa bantu kalian."

"Aku yang bakal jagain Jeongin." Balas Hyunjin mantap. Tak ada nada keraguan dalam suaranya.

Minhyun mengangguk, ia berjalan pelan kearah Hyunjin dan memeluk anak pertamanya itu erat.

"Jaga Jeongin baik-baik."

Setelah itu Minhyun keluar dari ruangan dan menyisakan Hyunjin yang masih diam mematung.

"Jadi apa semuanya udah berakhir?" monolog Hyunjin.

"Ya, saya harap penderitaan kalian berakhir sampai disini." Dokter Rachel tersenyum, ia menuntun Hyunjin untuk duduk di kursi yang ada di samping ranjang.

Hyunjin tersenyum tipis, maniknya menatap wajah tenang adiknya yang terhalangi oleh alat bantu nafas.

"Bangun Je, aku rindu suara kamu." Hyunjin menangkup jemari sang adik yang masih dihiasi cincin perak pemberiannya, kemudian Hyunjin mengecupi setiap sela Jemari Jeongin dengan pelan.

"Mungkin ini salah, tapi saya benar-benar bahagia lihat semuanya jadi lebih baik seperti sekarang."

"Makasih dokter."

Dokter Rachel mengangguk. Matanya menatap lembut ke arah Hyunjin yang tengah memandangi sang adik dengan tatapan yang sarat akan kerinduan.


[28-12-2018]

Continue Reading

You'll Also Like

19K 1.9K 30
"Seungmin tuh manja." "Anak mami wuuu." Seungmin lelah terus dihina oleh keluarga dan sepupunya. Ini pengalaman pertama kali Seungmin selama 18 tahun...
10.7K 1.8K 10
❝ Di tengah keputusasaan Hyunjin yang secara ajaib terjatuh ke dunia antah berantah, sesosok Nymph manis berusaha membantunya mencari cara pulang ke...
136K 14K 14
ONESHOT COMPILATION "Trus ini ngapain sewa kamar hotel jadi ruang rawat segala? Kenapa gak di rumah sakit aja sih?" Felix kebingungan. "Ya gapapa sih...
1.4K 121 8
Felix tidak pernah meminta cinta kedua. Sebagai seorang single parents dengan satu anak kecil, Jeongin adalah pusat dunianya, dan kedai kopi yang ia...