抖阴社区

You Are My Hero

By Jwanprettybaby

50.6K 9.7K 2.7K

Kisah cinta antara Jeon Jungkook, seorang dokter muda yang idealis dan Kim Seok-Jin, seorang kapten pasukan k... More

馃拹 Intro 馃拹
馃崁 1 馃崁
馃崁 2 馃崁
馃崁 3 馃崁
馃崁 4 馃崁
馃崁 5 馃崁
馃崁 6 馃崁
馃崁 7 馃崁
馃崁 8 馃崁
馃崁 9 馃崁
馃崁 10 馃崁
馃崁 11 馃崁
馃崁 12 馃崁
馃崁 13 馃崁
馃崁 14 馃崁
馃崁15 馃崁
馃崁 16 馃崁
馃崁 17 馃崁
馃崁 18 馃崁
馃崁 19 馃崁
馃崁 20 馃崁
馃崁 21 馃崁
馃崁 22 馃崁
馃崁 23 馃崁
馃崁 24 馃崁
馃崁 25 馃崁
馃崁 26 馃崁
馃崁 27 馃崁
馃崁 28 馃崁
馃崁 29 馃崁
馃崁 30 馃崁
馃崁 31 馃崁
馃崁 32 馃崁
馃崁 33 馃崁
馃崁 34 馃崁
馃崁 35 馃崁
馃崁 36 馃崁
馃崁 37 馃崁
馃崁 38 馃崁
馃崁 39 馃崁
馃崁 40 馃崁
馃崁 41 馃崁
馃崁 42 馃崁
馃崁 43 馃崁
馃崁 44 馃崁
馃崁 45 馃崁
馃崁 46 馃崁
馃崁 47 馃崁
馃崁 48 馃崁
馃崁 49 馃崁
馃崁 50 馃崁
馃崁 51 馃崁
馃崁 52 馃崁
馃崁 53 馃崁
馃崁 54 馃崁
馃崁 55 馃崁
馃崁 56 馃崁
馃崁 57 馃崁
馃崁 58 馃崁
馃崁 59 馃崁
馃崁 60 馃崁
馃崁 61 馃崁
馃崁 62 馃崁
馃崁 63 馃崁
馃崁 64 馃崁
馃崁 65 馃崁
馃崁 66 馃崁
馃崁 67 馃崁
馃崁 68 馃崁
馃崁 69 馃崁
馃崁 70 馃崁
馃崁 71 馃崁
馃崁 72 馃崁
馃崁 73 馃崁
馃崁 74 馃崁
馃崁 75 馃崁
馃崁 76 馃崁
馃崁 77 馃崁
馃崁 78 馃崁
馃崁 79 馃崁
馃崁 80 馃崁
馃崁 81 馃崁
馃崁 82 馃崁
馃崁 83 馃崁
馃崁 84 馃崁
馃崁 85 馃崁
馃崁 86 馃崁
馃崁 87 馃崁
馃崁 88 馃崁
馃崁 89 馃崁
馃崁 90 馃崁
馃崁 92 馃崁
馃崁 93 馃崁
馃崁 94 馃崁
馃崁 95 馃崁
馃崁 96 馃崁
馃崁 97 馃崁
馃崁 98 馃崁
馃崁 99 馃崁
馃崁 100 馃崁
馃崁 101 馃崁
馃崁 102 馃崁
馃崁 103 馃崁
馃崁 104 馃崁
馃崁 105 馃崁

馃崁 91 馃崁

379 80 47
By Jwanprettybaby

Di Rumah Sakit Seoul Jeil, kesibukan pagi hari seperti biasa menyelimuti. Namun, di nurse station Departemen Bedah Saraf, ada yang berbeda. Dokter Baek dan beberapa rekannya, para dokter dan perawat, tampak berkerumun, saling berbisik-bisik dengan raut penasaran.

Tak lama kemudian, Jungkook tiba. Matanya menangkap pemandangan yang tak biasa itu. Ia berjalan mendekat, lalu dengan sengaja memukul meja tinggi di depannya, menciptakan suara cukup keras yang berhasil membuyarkan kerumunan.

"Lagi bisik-bisik apa?" tanya Jungkook riang.

Sontak, semua orang langsung membubarkan diri, kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing dengan pura-pura sibuk. Jungkook mengernyit, merasa ada yang aneh.

"Ada apa?" Mata Jungkook mengamati satu per satu rekannya.

"Bukan apa-apa," sahut salah seorang dokter, mencoba menghindari tatapan Jungkook.

Dokter Baek, dengan langkah tenang, akhirnya menghampiri Jungkook. "Hasil evaluasi untuk departemen kita sudah keluar," ujarnya. "Ji Hoo yang dapat."

Jungkook, yang sudah menebak hasil tersebut, sama sekali tidak menunjukkan raut kecewa. Sebaliknya, ia tersenyum tulus. "Hasil akademik Ji Hoo memang hebat, aku mengakuinya."

Dokter Baek menatap Jungkook serius. "Tapi menurutku, kalau bukan karena ada masalah dengan data laporanmu, kau juga punya kesempatan."

Jungkook hanya tersenyum tipis, menerima pujian sekaligus kenyataan itu dengan lapang dada. "Ini semua mungkin karena aku tidak sebagus Ji Hoo," sahutnya ringan.

Bersamaan dengan itu, Ji Hoo yang baru tiba, melangkah santai ke arah mereka, senyum merekah di bibirnya.

"Kau sudah datang," panggil Jungkook, menyambut kedatangan rekannya itu. "Selamat, ya."

"Semua sudah tahu ternyata," ucap Ji Hoo, rautnya berseri-seri, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

"Tentu saja tahu, ini adalah berita bagus!" sahut Dokter Baek, menepuk pundak Ji Hoo. "Kali ini kau harus keluar banyak uang, mentraktir kami makan enak!"

"Okeee!" seru Ji Hoo, tersenyum lebar, penuh kebahagiaan.

"Tepati ucapanmu. Aku pergi dulu," kata Dokter Baek, lalu melangkah meninggalkan mereka.

Ji Hoo mengangguk riang, masih dengan senyum sumringah.

"Ji Hoo, nanti kau pinjamkan disertsimu padaku, ya?" pinta Jungkook, ada nada serius dalam suaranya. "Aku mau belajar dari orang pintar."

Ji Hoo tertawa renyah. "Apakah aku ada sehebat itu? Ha... ha... Ayo kita cepat mulai kerja."

Keduanya tertawa terbahak-bahak. Bersama-sama, mereka melangkah menuju ruang kerja dokter Departemen Bedah Saraf, siap memulai tugas mereka.

🩹

Terdengar dua ketukan pelan di pintu ruangan Profesor Namjoon yang memang terbuka lebar. "Masuk," sahut Profesor Namjoon dari dalam.

Jungkook melangkah masuk, menaruh segelas kopi hitam dari kafe rumah sakit dan sebuah harddisk eksternal di meja kerja Profesor Namjoon.

"Kali ini membelikanku kopi untuk apa?" tanya Profesor Namjoon sambil tersenyum tipis.

"Terima kasih untuk data Anda, sudah menyelamatkanku," jawab Jungkook tulus.

Profesor Namjoon tertawa kecil. "Tetapi pada akhirnya kau tetap tidak terpilih, 'kan?"

Jungkook mengangguk pasrah. "Aku tahu seperti apa kemampuan akademikku sendiri. Sebenarnya, tidak terpilih juga sudah bisa ditebak. Tetapi kalau tidak ada data dari Anda, mungkin aku bahkan tidak bisa menyerahkannya sebelum tenggat waktu. Aku berencana akan mencoba meneliti lagi, memperbaikinya kembali. Mana tahu aku bisa mencoba menerbitkan jurnal. Karena menulis disertasi tujuan akhirnya bukan hanya untuk evaluasi."

"Kau ini, lumayan optimis juga orangnya," komentar Profesor Namjoon.

Jungkook tersenyum tipis. "Intinya, terima kasih, Dokter Kepala Kim."

Profesor Namjoon mengangguk. "Tetapi, apakah kau pernah memikirkan kenapa data di komputermu bisa tiba-tiba terhapus tanpa sebab?"

"Sudah kutanyakan ke bagian IT, mereka bilang, mungkin salah hapus atau mungkin karena terlalu sibuk, aku sendiri yang tidak sengaja menghapusnya. Tidak mungkin ada orang lain yang menghapusnya, 'kan?"

Pembicaraan mereka terputus saat Perawat Taehyung muncul di ambang pintu. "Dokter Kepala Kim, di stasiun perawat ada dokumen Anda."

"Dokumenku? Aku pergi ambil sekarang," kata Profesor Namjoon sambil berdiri dari kursinya.

Ketika Jungkook juga hendak beranjak, Perawat Taehyung menarik tangannya pelan. "Dokter Jeon, soal datamu yang terhapus, kau bisa coba tanya Dokter Park. Hari itu aku melihatnya memakai komputermu."

Profesor Namjoon yang sudah melewati pintu, sontak berhenti begitu mendengar perkataan Perawat Taehyung.

"Ji... Ji... Ji Hoo?" tanya Jungkook bingung, memastikan.

Perawat Taehyung mengangguk membenarkan. "Di hari kau dan Dokter Baek mengurus keluarga pasien yang sakit, aku melihat dia duduk di tempatmu."

"Baik. Aku mengerti," sahut Jungkook, masih berusaha mencerna informasi mengejutkan ini.

🩹

Keluar dari ruangan Profesor Namjoon, Jungkook langsung mencari Ji Hoo. Ia menemukan Ji Hoo di koridor dan mempercepat langkahnya untuk menyamai. "Ji Hoo," panggil Jungkook, suaranya terdengar serius, tanpa senyuman yang biasa menghiasi wajahnya.

Ji Hoo berhenti dan berbalik, sedikit terkejut dengan raut muka Jungkook. "Ada apa?" tanyanya.

Jungkook melirik sekeliling yang ramai orang berlalu-lalang. "Kita bicara di sana saja," katanya sambil berjalan menuju area dekat kafe rumah sakit yang sedikit lebih sepi.

Ji Hoo mengikuti, ia merasa sikap Jungkook sedikit aneh, tidak seperti biasa. "Jungkook, sebenarnya ada apa kau mencariku?"

Tanpa mereka sadari, Hoseok yang kebetulan lewat, melihat dua orang yang berdiri berhadapan dan tampak tegang itu. Ia lalu berhenti dan mengamati dari kejauhan.

"Apakah kau yang menghapus data penelitianku?" tanya Jungkook langsung, tanpa basa-basi.

Ji Hoo mendengus tak percaya. "Kau bercanda apa? Kau jangan karena tidak terpilih, malah memfitnahku."

"Aku tidak memfitnahmu, aku sedang bertanya padamu. Apakah kau yang menghapusnya?" desak Jungkook, nada suaranya tetap tenang namun tegas.

"Aku tidak melakukannya," bantah Ji Hoo dengan cepat.

Jungkook menghela napas. "Taehyung bilang, saat aku tidak berada di ruangan, kau mengutak-atik komputerku."

"Benarkah? Kalaupun aku mengutak-atik komputermu, kau punya bukti apa kalau aku menghapus datamu? Hanya berdasarkan kata-kata Taehyung, kau mau melaporkan ke rumah sakit kalau aku menghapus datamu?" tantang Ji Hoo, sorot matanya tajam.

"Aku tidak akan dan juga tidak mau melaporkanmu. Kemampuanku memang tidak lebih hebat darimu, tetapi kau adalah teman baikku sejak di kampus. Aku hanya mau kau mengakui perbuatanmu dengan mulutmu sendiri."

"Jangan bicara soal kebenaran denganku di sini. Kalau pun memang aku melakukan sesuatu, tetapi kau yang lebih dulu merusak aturan permainan. Kau yang memanfaatkan Dokter Kepala Kim, membuat dia menyukaimu, memihakmu dan pada akhirnya, kau masih berpura-pura tidak tahu apa-apa!" Nada suara Ji Hoo meninggi, penuh kemarahan dan tuduhan.

"Kenapa kau bisa berpikir demikian?" Jungkook tidak terdengar marah, namun lebih ke arah tidak habis pikir dengan cara pandang Ji Hoo.

"Memangnya bagaimana aku harus berpikir?" Nada Ji Hoo semakin meninggi, emosinya memuncak. "Dia hanya membiarkanmu mengikuti pertemuan akademis di rumahnya. Kau sudah tidak di Departemen Bedah Saraf, tetapi dia tetap membiarkanmu masuk ruang operasi. Kau pergi ke IGD, dia memindahkanmu kembali, begitu kembali langsung membiarkanmu masuk ruang operasi. Apakah sikap kalian adil untukku?" Ia menatap Jungkook dengan nyala kemarahan di matanya.

"Jadi kau menghapus dataku karena semua itu?" Jungkook mengkonfirmasi, nada suaranya berubah dingin.

Ji Hoo tidak menjawab, hanya membuang muka.

Jungkook lalu mendekati Ji Hoo, mempersempit jarak di antara mereka. "Aku hanya bisa bilang, aku tidak mengambil jalan belakang, aku juga tidak berusaha mendapat rasa suka dari siapa pun. Aku benar-benar hanya ingin belajar cara bedah dari Dokter Kepala Kim. Kau mau kesempatan bedah, aku juga mau. Di sini aku tidak memainkan trik apa pun. Kau adalah teman baikku, kita berdua seharusnya bersaing secara adil. Kenapa kau tega melakukan hal begini padaku?" Setelah mengucapkan itu, Jungkook langsung pergi dengan wajah penuh kekecewaan.

Tak lama setelah kepergian Jungkook, Hoseok menampakkan dirinya di depan Ji Hoo. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya wajahnya yang menunjukkan kekecewaan yang sama atas sikap Ji Hoo kepada Jungkook. Tanpa sepatah kata pun, Hoseok kemudian berbalik dan pergi, meninggalkan Ji Hoo sendirian dengan pikirannya.

🩹

Ji Hoo melangkah gontai ke ruang praktik yang kosong setelah konfrontasi barusan dengan Jungkook. Beban kekecewaan terasa menindih pundaknya. Baru saja ia mendudukkan diri di kursi, terdengar ketukan pelan pada pintu kaca yang terbuka lebar.

Ji Hoo menoleh, dan ketika melihat sosok Profesor Namjoon berdiri di ambang pintu, ia langsung berdiri dengan sigap. "Dokter Kepala Kim," sapanya.

"Duduk, duduk saja," ujar Profesor Namjoon dengan tenang, mengisyaratkan Ji Hoo untuk kembali duduk.

Ji Hoo akhirnya kembali duduk, sedikit tegang.

Profesor Namjoon melangkah masuk dengan sikap santai, aura wibawanya memenuhi ruangan. "Selamat untukmu, disertasimu sangat bagus. Pembahasannya sangat unik, dan logikanya juga sangat jelas."

"Terima kasih, Dokter Kepala Kim," jawab Ji Hoo, sedikit lega namun masih merasa cemas.

"Jungkook kalah dalam bidang ini. Disertasinya hanya gabungan dari sana sini," lanjut Profesor Namjoon.

"Itu... itu karena dia terlalu ceroboh, dokumen sepenting itu, bukannya membuat backup data," sahut Ji Hoo, berusaha mencari pembelaan.

"Benar juga, dia memang ceroboh. Tetapi aku rasa, seharusnya Jungkook tidak menyangka, dokumen di dalam kantor, bisa dihapus oleh orang lain." Nada suara Profesor Namjoon berubah lebih serius, mengisyaratkan bahwa ia tahu lebih banyak dari yang diucapkan.

Ji Hoo menelan ludah. "Dokter Kepala Kim, hari itu komputerku bermasalah, dan aku ingin melihat laporan penting, makanya memakai komputer Jungkook. Aku tidak menyentuh file lainnya sama sekali."

"Tidak perlu gugup," ucap Profesor Namjoon santai, seolah membaca kegelisahan Ji Hoo. "Jungkook sama sekali tidak mengatakan apa pun padaku. Tetapi sebagai gurumu, aku sendiri yang ingin tahu, apa yang dilakukan oleh muridku."

Ji Hoo membisu, merasa terjebak.

Profesor Namjoon kemudian menarik sebuah kursi dan duduk di depan Ji Hoo, tatapannya kini lurus dan menuntut. "Park Ji Hoo, aku hanya akan bertanya sekali. Apakah kau yang melakukannya?"

Ji Hoo menghindari tatapan Profesor Namjoon, matanya terpaku pada lantai.

"Kenapa berbuat seperti itu?" tanya Profesor Namjoon, suaranya kini lebih lembut, namun penuh penegasan.

Setelah keheningan yang cukup lama, Ji Hoo akhirnya membuka mulut, namun ia masih menghindari menatap Profesor Namjoon. "Kalian semua bertanya padaku kenapa, tetapi apakah kalian pernah berpikir apa yang sudah kalian lakukan? Dokter Kepala Kim, aku tahu, di dalam hatimu, Jungkook lebih baik dari pada aku. Apa pun yang dia lakukan selalu benar. Meski dia berbuat salah, juga bisa dimaafkan. Tetapi kau sama sekali tidak melihat... apa yang kulakukan untukmu." Matanya sedikit memerah, menahan emosi.

Profesor Namjoon mendengarkan dengan seksama, kemudian menjawab, "Kau melakukan banyak hal untukku, aku memang tidak menanggapimu. Itu karena aku tahu kau memiliki niat lain. Dan dalam hal ini, Jungkook tidak begitu. Dia tidak memiliki pikiran khusus terhadapku, dia sangat polos, hanya ingin menjadi dokter yang baik. Sejujurnya, Park Ji Hoo, disertasimu kali ini sangat bagus, lebih bagus dari pada punya Jungkook."

Ji Hoo menoleh, terkejut mendengar kalimat terakhir Profesor Namjoon, sebuah pengakuan yang tak terduga.

"Tetapi sayangnya," lanjut Profesor Namjoon, nadanya kembali tegas, "kau melakukan hal yang tidak seharusnya kau lakukan."

"Kau merasa aku lebih bagus daripada dia?" tanya Ji Hoo, sebersit harapan muncul di matanya yang berkaca-kaca.

"Aku selalu merasa begitu," sahut Profesor Namjoon. "Dari sisi akademik maupun bakat, kau jauh lebih unggul daripada Jungkook. Tetapi sayangnya, sampai saat ini, kau masih belum tahu cara menjadi dokter yang baik. Sejak operasi di dalam lift, kau hanya tahu memikirkan masalah dari segi pandangmu sendiri. Aku tanya padamu, bagaimana baru disebut dokter yang baik? Nyawa pasien adalah yang terpenting. Lebih penting daripada nama baikmu, lebih penting daripada untung rugimu. Nyawa pasien, selamanya di posisi pertama! Selamanya!" Profesor Namjoon berkata dengan nada keras dan tegas, menekankan setiap kata. "Sedangkan kau? Apa saja yang kau pikirkan? Yang kau pikirkan hanya dirimu sendiri. Keuntungan sendiri, untung ruginya sendiri. Benar, sebagai dokter, aku tidak merasa semua orang harus menjadi teladan moral, tetapi ada satu hal, untuk menjadi dokter yang baik, kau harus memiliki keberanian mempertaruhkan segalanya demi menyelamatkan pasien dari masa kritis. Kata 'keberanian' ini, yang kau, Park Ji Hoo, tidak pernah miliki. Ini yang paling membuatku kecewa."

Ji Hoo menunduk dalam, perasaan bercampur aduk.

Profesor Namjoon berdiri dan berjalan keluar, namun mencapai pintu, ia berhenti dan berkata, "Ini jugalah bagian dirimu yang kalah dari Jeon Jungkook." Suaranya menggema di ruangan kosong, meninggalkan Ji Hoo sendirian dengan kebenaran yang pahit.

🚑🚑🚑

Jimin sedang asyik menyesap minumannya sambil bermain game di sebuah kafe yang unik, sebuah bus yang dimodifikasi. Keasyikannya terinterupsi saat Park Hyung Sik tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Jimin, sedikit terkejut.

Park Hyung Sik menjawab santai. "Aku melihat dari postingan statusmu. Kau tulis mau mencoba tempat baru ini."

Jimin menghela napas panjang. "Yang benar saja kau. Aku tidak punya perasaan padamu, jangan menghabiskan waktumu lagi."

"Yang namanya perasaan, sama seperti stop kontak," ujar Park Hyung Sik tak gentar, "Kalau dicolokkan, listrik tentu akan mengalir. Bagaimana? Apakah kau mau menghabiskan sedikit waktu untuk lebih memahamiku?"

Jimin tertawa geli, tak habis pikir. "Untuk apa aku memahamimu? Aku juga tidak akan hidup denganmu."

"Kalau begitu, aku jadi teman main gamemu saja," usul Park Hyung Sik.

"Tidak perlu, aku lebih senang main sendiri."

Seorang pelayan kafe mendekat. "Permisi, Anda mau minum apa?" tanyanya pada Park Hyung Sik.

Sebelum Park Hyung Sik sempat menjawab, Jimin dengan cepat menyela, "Permisi, tagihannya masing-masing. Dia hanya mau gabung meja saja."

"Memangnya kenapa kalau aku mentraktirmu?" protes Park Hyung Sik.

"Kenapa aku mau ditraktir olehmu?" ujar Jimin santai, menegaskan batas. "Sebenarnya sesama teman, aku tidak perhitungan begini. Tetapi kau ini, terlalu mudah berimajinasi, jadi sebaiknya kita berdua menarik garis yang jelas. Aku pergi dulu."

Jimin bangkit dan melangkah pergi begitu saja. Park Hyung Sik bukannya marah, ia malah tertawa kecil melihat tingkah Jimin.

🩹

Keesokan harinya, saat Jimin sedang fokus di pusat kebugaran, Park Hyung Sik tiba-tiba muncul lagi. Kehadirannya yang tak terduga membuat Jimin menghentikan latihannya dan langsung bergegas menuju ruang ganti pakaian.

Park Hyung Sik, dengan senyum lebarnya, mengikuti Jimin. "Hei, kau sudah selesai latihan, kebetulan aku juga sudah selesai. Aku akan menunggumu mandi, kemudian kita pergi makan bersama. Bagus, 'kan?"

"Tidak perlu, aku tidak lapar," sahut Jimin datar tanpa menoleh, terus melangkah menuju ruang ganti, berusaha menghindar dari segala upaya Park Hyung Sik untuk mendekatinya.

🩹

Hari berikutnya, Jimin berjalan-jalan, matanya sibuk mencari objek menarik untuk diabadikan oleh lensa kameranya. Sebuah reklame motor besar di pinggir jalan menarik perhatiannya, mengingatkannya pada Wakil Kapten Min yang juga mengendarai motor gagah. Saat Jimin sedang asyik mengarahkan kameranya ke arah iklan itu, Park Hyung Sik tiba-tiba muncul seperti hantu di belakangnya.

"Kebetulan sekali," sapa Park Hyung Sik, suaranya ceria.

Jimin menoleh kaget, matanya membesar, tak bisa berkata-kata sesaat. "Jangan bilang kau membuntutiku!" tuduhnya dengan nada tak percaya.

Park Hyung Sik hanya tersenyum simpul. "Ini namanya jodoh."

"Apa sebenarnya maumu?" tanya Jimin, mulai kesal.

"Mengejarmu," jawab Park Hyung Sik penuh percaya diri. "Bukankah aku sudah bilang sejak awal?"

"Aku juga sejak awal sudah bilang padamu, aku tidak menyukaimu," balas Jimin tegas.

"Perhatikan penggunaan kalimatmu. Apa yang sedang terjadi, ada yang belum terjadi. Kau hanya belum menyukaiku sekarang," Park Hyung Sik berujar santai, seolah kata-kata Jimin tak berarti apa-apa.

Jimin mendengus. "Bukan seperti itu, Tuan Besar. Apa sebenarnya maumu?"

"Mencari kesempatan untuk bertemu denganmu. Kalau ada kesempatan, kita berdua bisa bersama-sama pergi ke bioskop, karaoke, bermain permainan detektif dan sebagainya, untuk menambah kedekatan kita," jelas Park Hyung Sik, penuh semangat.

"Aku ini, selalu berkata apa adanya. Satu ya satu, dua ya dua. Aku tidak memelihara ban serap," tegas Jimin, langsung berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Park Hyung Sik begitu saja.

Tidak putus asa, Park Hyung Sik buru-buru berlari mengejar Jimin. "Hei, bermain bersama apakah pasti menjadi ban serap? Lagipula, aku tidak buka pabrik karet. Kebetulan hari ini libur, kau sendirian, aku juga sendirian. Jika berdua, makan bisa memesan sayur lebih banyak, beli barang juga ada yang memberikan saran, nonton bioskop malah lebih bagus lagi, paket berdua jauh lebih hemat. Benar, 'kan?" ia terus berbicara tanpa henti.

Jimin hanya menatap pria itu, tak memberikan jawaban.

"Kenapa? Berteman denganku saja tidak mau?" tanya Park Hyung Sik, sedikit memaksa. "Tidak menjadi teman, jadi rekan bermain juga boleh."

Akhirnya, setelah mendengarkan Park Hyung Sik berbicara panjang lebar, Jimin pun menjawab, "Hanya teman, oke?"

Park Hyung Sik tersenyum lebar, sangat gembira. "Tidak masalah!"

"Film The Final Reckoning sudah tayang, mau nonton?" tanya Jimin yang berpikir dirinya juga sedang butuh hiburan saat ini.

"Tentu saja mau! Aku paling suka film aksi," jawab Park Hyung Sik antusias.

"Bayar masing-masing," ujar Jimin, memastikan batasan.

"Boleh, kau mau bagaimana juga boleh," Park Hyung Sik menyetujui dengan mudah, asalkan bisa menghabiskan waktu bersama Jimin.

🌬
🌬
🌬
🌬
🌬
🌬

T B C

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Jangan lupa votenya 🙏. Borahae🫰💜

Terima kasih sudah membaca buku
ini, yeorobun 🫶

**Semua properti foto bukan milik author. Credit kembali kepada pemilik foto.**

💜💜💜💜💜💜💜






Continue Reading

You'll Also Like

130K 21.2K 171
Jungkook meninggalkan kampung halamannya demi mengejar impian di kota besar. Bekerja dan jatuh cinta kepada bossnya Kim Seok-Jin, di mana perbedaan s...
81K 7.5K 11
Main Cast: [KOOKMIN/JIKOOK] Jeon Jungkook, Park Jimin Additional Cast: Jeon Family, Park Family, Kim Taehyung, Kim Seokjin, Kim Namjoon, Jung Hoseok...
18.1K 1.9K 18
Gairah remaja membuat Seokjin dan Jungkook melakukan kesalahan fatal. Akankah cinta menemukan jalannya 'tuk kembali? 'Still With You', a story that...
181K 7K 34
" Hyung... sampai kapan kita begini terus ? " " sabar yaa ... akan ada saatnya kita publish hubungan kita , hyung minta kamu bersabar " " kookie ga...