Cinta memang tidak datang terlambat, selalu begitu. Hanya saja ya, cinta terkadang bisa juga datang tiba-tiba.
~•~
Jihyo pikir dia sudah gila, ingatkan dia ketika pulang dari tempat ini untuk memeriksakan kesehatannya ke rumah sakit jiwa. Atau lebih tepatnya, ke psikiater saja. Siapa tahu dia memang sudah kehilangan kewarasan, atau barangkali butuh pengobatan secepatnya agar tidak jadi wanita gila seperti sekarang. Mendengus sebal lalu melemparkan asal pistol yang sejak tadi jadi pelampiasan amarahnya, gadis itu lantas duduk di salah satu bangku yang ada di area lapangan.
Baru saja ingin duduk, harapannya bersantai ria sambil mendinginkan kepala yang rasanya hampir meledak beberapa menit lagi itu. Tapi tidak, sepertinya semua bayang-bayang tentang waktu tenang tanpa gangguan itu harus dia kubur dalam-dalam sebab sekarang dia sudah didatangi oleh tiga pemuda yang dia ingat sebagai sahabat dari pemuda yang menjadi masalah dari otaknya saat ini. Kedua maniknya tak bisa melepaskan dari bagaimana ketiga pasang kaki itu melangkah, aura yang terpancar bak pangeran di negeri dongeng dengan karisma yang berbeda-beda. Hanya saja tidak, Jihyo tidak tertarik untuk membuka mulut (menganga) karna kagum akan mereka bertiga.
"Boleh duduk?" pertanyaan yang tidak berguna karena pemuda bersurai coklat dengan pakaian serba mahal nun mencolok itu sudah duduk, bahkan di detik sebelum pertanyaan itu mengudara.
Jihyo memutar kedua bola matanya jengah, baru saja mau beranjak tapi buru-buru di cegat dengan pemuda bermata sipit, berkukit seputih susu itu berdiri di depannya dengan tatapan angkuh. Begitu mendominasi, mengintimidasi, dan juga menakutkan secara bersamaan. Mendengus, lantas pemuda itu mendorong bahu Jihyo hingga membuat gadis itu kembali terduduk di tempatnya semula.
"Kak, jangan kasar begitu," pemuda dengan bibir plum itu berkata, intonasi suaranya terdengar mengalun lembut sebelum akhirnya mengalihkan atensi menuju Jihyo yang sudah terdiam dengan tatapan kesal. "Maafkan dia, ya?" katanya lagi, "perkenalkan, namaku Lee Jimin," setelah itu menyodorkan tangannya .
Jihyo masih bergeming, membuat pemuda bernama Jimin itu langsung menarik tangannya kembali dengan tatapan kikuk sementara pemuda yang tadi duduk di sebelahnya sudah terkikik geli. "Dia Choi Yoongi," ujarnya lagi sambil mengarahkan telunjuknya pada pemuda yang terlihat dingin itu, "lalu dia Kang Taehyung, kau abaikan saja wajah tampannya ini. Dia ini berengsek,"
Bukankah kalian semua terlihat berengsek? Jihyo hanya bisa menelan semua perkataan itu dalam benak, tatapannya bahkan masih tertuju pada Jimin yang kini tersenyum manis. Jihyo ingat pernah bertemu dengan mereka, segerombolan pemuda kurang kerjaan yang membuat rumah berantakan lalu berisik. Ya, mereka sahabat baik Yoo Seokjin--kakak tirinya. Enggan mengakui, tapi Jihyo pernah melihat mereka datang ke rumah meski gadis itu yakin kalau mereka tidak pernah melihatnya karena dia sering sekali pergi atau mengurung diri di kamar sampai malam hari.
"Kau... Yoo Jihyo, 'kan?" kali ini yang bertanya adalah Taehyung, intonasi suaranya terdengar ragu tapi tetap saja mengudarakan pertanyaan semacam itu.
Jihyo hanya mendengus, lalu menoleh dengan tatapan menyalak ke arah Taehyung. "Apa kalian ke sini hanya untuk mengintrogasiku?" tanyanya sarkas, "kalau begitu aku pergi saja,"
Yoongi yang tak kalah kesal ikut-ikutan mendengus, menarik pergelangan tangan Jihyo sampai gadis itu kembali ke tempatnya semula. Sementara Jimin cuma bisa melihat, tidak bisa mengatakan apa-apa lagi karna dia tahu Yoongi itu seperti apa. Tatapan keduanya sudah terlihat saling menyalak, ibaratnya sudah saling memancarkan api yang keluar dari kedua manik matanya. Taehyung yang melihat menganga, sudah tidak sabar melihat bagaimana kelanjutan dari perang dingin dua manusia setipe ini.
"Jungkook menyukaimu, bagaimana bisa kau tidak peka begini?" Yoongi langsung menodongkan perkataan sarkas, tapi Jihyo tidak paham dan hanya bisa mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu?" tanyanya sebal, "kalau hanya ingin membual, aku pergi saja. Terlalu malas meladeni kalian,"
"Jungkook suka kau, paham tidak?" kali ini Taehyung yang berkata, "apa mau aku jelaskan dengan kalimat berbelit-belit? Sepertinya kau tidak paham jika hanya menggunakan kalimat sederhana seperti itu,"
Jihyo ingin berteriak, tapi entah kenapa semua rasa kesalnya malah menguap begitu saja. Suka? Jungkook menyukainya? Jangan konyol, tidak mungkin pemuda itu menyukainya dalam waktu singkat begini. Untuk opsi di mana mungkin Jungkook pernah melihatnya, Jihyo pikir tidak masuk dalam hitungan karna gadis itu yakin kalau pemuda itu tidak mengenalnya. Lagi pula, dia tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Termasuk dengan Jungkook.
Memilih untuk mengabaikan bagaimana otaknya hampir pecah dengan segala macam pertanyaan yang menggerogoti isi kepala, gadis itu mencoba untuk kembali beranjak tapi lengannya kembali di cekal oleh tangan panjang milik Yoongi. Hanya saja, suara yang memanggil nama pemuda itu sukses membuatnya terlepas meski jantungnya kembali berdetak begitu kencang. Jungkook, dia melangkah mendekati mereka dengan tatapan penuh marah. Ya, Jihyo pikir pergi menghindari bukan pilihan buruk sementara dia tahu kalau mereka berdua sempat terjebak pada satu momen yang menyebalkan.
~•~
"Terima kasih, Teman," mendengar ucapan yang keluar dari belah bibir Myungeun membuat Jihyo meringis.
Entahlah, Jihyo merasa tidak mau lagi mendengar kalimat 'terima kasih' dimanapun dia berada. Karena ya, kalimat itu menjadi bagian dari memori yang ingin dia buang sesegera mungkin.
Tersenyum kikuk saat tangannya sudah kembali mengambil minuman di dalam lemari es yang disediakan pihak penginapan, lalu melangkah menuju salah satu bangku dengan masing-masing nampan berisi makan siang. Meski jam makan siang mereka terlambat, sebab sekarang sudah masuk jam tiga sore karena terlalu asyik bermain perang-perangan. Tim yang menang adalah tim biru. Tim yang sempat mengalami krisis di awal karena anggotanya yang meragukan ketua tim, tapi sekarang sedang bersorak riang sambil mengejek tim merah.
"Kenapa mereka berisik sekali, sih?" Myungeun yang sudah menyuap satu suapan besar makanan itu mendumel, lantas kembali mengunyah.
Jihyo hanya tertawa, lalu fokus pada makanannya lagi. Tapi benar sih, suara dari Bambam begitu memekakkan belum lagi teriakan sebal dari Mingyu. Di tempat yang tak terlalu jauh dari mereka, Bambam bahkan terlihat menarikan tarian aneh guna mengejek yang langsung mendapatkan tendangan di pantat oleh Mingyu yang sudah terlihat kesal setengah mati. Tapi dari itu semua, satu tempat yang sukses membuat Jihyo fokus tidak lain dan tidak bukan adalah tempat kelima pemuda yang sedang asyik menikmati makan siangnya.
"Jihyo," Myungeun memanggil pelan, "boleh aku bertanya sesuatu?" tanyanya ragu, sembari menggaruk pelipisnya.
Gadis yang tadi melamun sekarang mengalihkan perhatiannya, menatap lekat pada Myungeun. Lantas, gadis itu mengangguk seiring senyum yang terbit pada wajahnya. "Benar? Aku takut kau tidak menyukai pertanyaan ini,"
Jihyo terkekeh, lalu mengedikkan bahunya. "Kalau aku tidak suka, aku tinggal tidak usah menjawabnya. Gampang, 'kan?"
"Tapi kau tidak akan marah, bukan? Atau barangkali melempari aku dengan kimchi yang ada di nampanmu, atau menyiram minuman kemasan milikmu ke arahku?"
Jihyo langsung tertawa mendengar pertanyaan konyol dari Myungeun, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, Myungeun. Aku tidak segila itu,"
Menghela napas lega, Myungeun kemudian tersenyum. "Kenapa kau terlihat seperti menghindari orang-orang, Jihyo? Kau bahkan tidak bergabung dengan yang lain saat game tadi, bahkan kau pergi saat malam api unggun. Dan ya, berakhir pulang dalam keadaan mabuk. Eh, aku banyak tanya, ya? Tidak, kau jangan salah paham. Aku bertanya karena penasaran, bukan untuk menjadi seperti lambe turah. Serius,"
Inilah alasan kenapa Jihyo tidak suka bersosialisasi, membentengi dirinya dari orang-orang munafik yang melabeli diri mereka dengan kata teman. Hanya saja, dia melihat bagaimana tingkah Myungeun sejauh ini yang memang menghindari gadis-gadis bermulut besar, bahkan yang suka membicarakan orang lain. Myungeun juga terkesan menjaga jarak, bahkan sekarang dia lebih memilih mengekori dirinya. Gadis itu kembali tertawa, lalu mengedikkan bahunya dengan sumpit yang asyik menusuk-nusuk mangkok berisi nasi.
"Menghindari manusia munafik," jawabnya singkat.
Myungeun lalu menatap sendu, menghela napas dalam-dalam, sebelum akhirnya berkata. "Aku juga," katanya, "tapi tidak bisa benar-benar menjauhi orang-orang karena aku masih membutuhkan mereka,"
"Menjadi gadis yang tidak masuk kategori gadis cantik bertubuh profesional seperti aku, bukanlah pilihan yang tepat untuk jadi manusia antisosial. Meski ya, ujung-ujungnya aku hanya akan menjadi mainan saja. Atau barangkali jadi kacung,"
Jihyo yang mendengar perkataan gadis itu langsung mendongak, maniknya menemukan kesenduan pada wajah yang biasanya terlihat begitu ceria. "Masa laluku cukup buruk, Jihyo. Aku bahkan kaget saat tahu kalau kau tidak menatapku dengan tatapan seperti baru saja melihat limbah rumah tangga,"
"Bukankah seharusnya kau mencintai dirimu sendiri, Myungeun? Kalau begini terus, kau tidak akan bisa menentukan kebahagiaan. Kau bisa menderita terus kalau begini,"
Jihyo bahkan tidak tahu dengan kalimat yang baru saja dia katakan, hanya saja dia merasa kalau dia perlu mengatakan hal itu. Barangkali, mendengarkan orang lain mengeluh tidak seburuk itu. Gadis itu bahkan sering kali mendumel di dalam hati saat orang asing malah sok dekat dengannya, membuat tidak nyaman dengan pertanyaan, atau mungkin cerita yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. Tapi sekarang, Jihyo duduk di sana dengan hati yang teremas ngilu ketika mendengar seorang gadis yang dia yakini sebagai seseorang yang ceria, malah bercerita dengan intonasi suara yang sendu begini.
"Mencintai diri sendiri tidak segampang itu," lalu berdecih, "saat orang-orang memaksa untuk mencintai diri sendiri, tapi diam-diam masih membicarakan di belakang kita, rasanya lebih menyakitkan ketimbang mendengar hinaan secara langsung di depan mata. Aku bahkan sudah terlalu capek untuk mengikuti standar orang lain,"
"Kau seharusnya hidup tanpa mendengarkan perkataan orang lain, Myungeun. Karena terkadang, menjadi masa bodoh itu seru."
Myungeun tidak tahu kalau gadis yang terkesan ketus, cuek, dan menakutkan itu ternyata bisa sebijak ini. Gadis itu lantas mengulas senyum yang di balas oleh Jihyo, sekarang, mungkin mereka sudah terikat satu sama lain. Menjalin hubungan pertemanan tak seburuk itu. Untuk sekarang, Jihyo merasakan kehangatan itu lagi. Entah kalau nanti. []