Untuk yang terakhir kalinya, pada salju pertama yang turun, pada dingin yang menelusup masuk ke dalam tulang, pada bibir bergetar yang terkatup rapat, aku ingin mengatakan bahwa aku bahagia bisa mengenalmu.
~•~
*Play music on mulmed
Setelah ke festival musim gugur di fakultas seni, kini mereka malah terjebak di halte bus bersama dengan orang-orang yang nampak baru saja pulang dari kantor. Well, beberapa juga ada anak sekolahan yang masih memakai seragam sekolahnya. Semua karena salju yang mendadak turun, mengguyur kota dengan rasa dingin dan sudah dipastikan jalanan akan menjadi licin bahkan membeku. Kalau sudah begini, bus akan terjebak di jalanan yang macet di malam hari ini.
Setelah ciuman di dalam foto box tadi sore, keduanya menjadi lebih dekat bahkan sukses membuat Taehyung dan Jimin tercengang. Niatnya ingin menggoda gadis-gadis di fakultas seni, tapi berakhir berpapasan dengan dua orang yang sedang dimabuk cinta. Dan duduk bersisian, dengan tangan Jihyo yang digenggam erat, dimasukkan ke dalam saku coat yang dia pakai. Jungkook bahkan terus menghalangi orang-orang yang berhimpitan menghindari salju, pokoknya tidak boleh sampai mengenai Jihyo.
"Aku tak punya masa SMA yang menyenangkan," tiba-tiba saja Jihyo bersuara, membuat Jungkook yang menatap lurus ke arah jalanan yang terlihat macet menolehkan kepalanya.
"Kenapa?" Tanya pemuda itu pada akhirnya.
Jihyo lantas mengedikkan bahunya, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Jungkook. "Entahlah, mungkin karena aku tak tahu caranya bergaul. Awal masuk SMA adalah masa-masa terberatku," dengan suara lirih pada akhir kalimat.
"Punya keluarga baru, lingkungan baru, dan kelahiran adik yang selama ini tak pernah aku bayangkan. Aku benar-benar sulit untuk menerima apa yang terjadi padaku saat itu," mata gadis itu kemudian terpejam, ada getir yang dia rasakan dan membuat dadanya lagi-lagi sesak. "Bahkan sekarang, aku belum bisa menerima semuanya."
"Aku juga sama," balas Jungkook, tapi suaranya tak terdengar lirih. Bahkan, pemuda itu masih sempat mengulas senyum dan menatap lekat pada pucuk kepala Jihyo. "Aku pernah masuk rumah sakit hampir tiga bulan dan pihak sekolah hampir mengeluarkanku, karena saat itu aku tak mengambil cuti. Nilai raportku jadi jelek karena itu,"
"Tapi Paman dan Bibi akhirnya memilih untuk home schooling saja," Jungkook terkekeh setelahnya, pun ikut merebahkan kepalanya pada pucuk kepala gadis itu. "Aku benar-benar iri pada mereka yang punya kisah menyenangkan selama sekolah, bahkan sampai sekarang masih saja sama."
Keduanya lantas membuka mata, melihat segerombolan anak SMA yang tengah bercanda. Ada sekitar delapan orang, tiga pemuda dan lima gadis. Rasanya iri saat bisa menghabiskan waktu di luar menikmati salju pertama setelah seharian lelah dengan kehidupan sebagai pelajar, lalu pulang ke rumah dan tidur. Barangkali, banyak anak-anak yang tak bisa menikmati masa-masa remaja mereka. Persis seperti Jihyo, ataupun Jungkook. Yang membedakan hanyalah kisah mereka, itu saja.
Jihyo kemudian menegakkan kembali tubuhnya, membuat Jungkook mengerucutkan bibir sebab masih nyaman pada posisi tadi. Menghela napas, gadis tu kemudian menolehkan wajahnya ke arah Jungkook dan mengulas senyum. Tangannya terulur, mengusap wajah itu dan berakhir cukup lama pada bibir bawah pemuda itu. Jungkook hanya diam, tak protes sebab dia menyukai bagaimana tangan itu membelai wajahnya dengan lembut. Pun, mengabaikan orang-orang yang memperhatikan mereka.
Kalau sedang dimabuk cinta, dunia serasa milik berdua.
"Kalau bisa memutar waktu, kau ingin memperbaiki apa?"
Jungkook memasang mimik wajah seperti tengah berpikir, lalu menjawab setelah cukup lama diam dan membiarkan Jihyo menunggu. "Dulu, aku pernah berpikir hal ini. Kalau bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke masa di mana saat aku dilahirkan. Kalau tidak bisa menjadi sehat, aku ingin saat bayi aku meninggal saja."
Kembali pada masa-masa di mana dia juga pernah berpikir hal yang sama, mempertanyakan hal-hal seperti itu pada diri sendiri meskipun semuanya hanya khayalan anak kecil yang tak akan mungkin terwujud. Jungkook tak bisa menampik bahwa dirinya pernah berharap seperti itu pada Tuhan, berharap agar waktu kembali berputar ke masa lalu untuknya. Meskipun, ya, tak ada satupun orang yang bisa melawan scientist.
Waktu itu bergerak maju.
Senyum pemuda itu tak luntur tatkala matanya menatap lekat dan memuja pada ciptaan Tuhan yang teramat indah di depan mata, rasanya tak ingin berkedip untuk terus menikmati setiap inci pada perpotongan wajah milik sang pujaan hati. Jihyo juga melakukan hal yang sama, biasanya dia tak ingin menatap seseorang lama dan lekat seperti ini. Bahkan, dia akan kesal saat ditatap oleh orang. Tapi sekarang, entah mengapa dia menyukainya.
"Tapi semenjak bertemu denganmu, aku tak ingin kembali ke masa lalu untuk mengubah apa yang buruk menurutku,"
Kening Jihyo nampak berkerut, lantas melempar tanya yang lagi-lagi membuat Jungkook memberikan sebuah jawaban yang menghadirkan semu pada pipi gadis itu. "Kenapa?"
"Karena kau adalah hal terindah yang sudah Tuhan siapkan, bertemu denganmu dan bisa bersama denganmu hari ini adalah sebuah kebanggaan untukku. Kalau aku bisa mengubah masa lalu, barangkali hari ini tak akan terjadi."
Salju yang turun sejak satu jam yang lalu nampaknya tak ingin berhenti, bulir-bulir es berwarna putih itu terus turun dan membuat beberapa sudut di kota nampak memutih. Lampu-lampu neon di jalanan dan di pelataran toko, membuat suasana menjadi semakin hangat. Salju pertama memang turun lebih awal dari biasanya, tapi Jungkook merasa bahwa semesta seolah memberikan hal terindah untuk terakhir kalinya bagi hidup Jungkook yang berada di ambang keputusasaan.
Bus yang sejak tadi ditunggu, kini sudah datang. Membuat beberapa orang langsung menyerbu masuk sekaligus menghindari dingin yang bisa saja membuat tubuh membeku, begitupun mereka berdua yang tadi saling menatap cukup lama. Kedua tangan mereka masih saling berpegangan, begitu erat dan menghantarkan kehangatan absolut bahkan sampai menuju kedua pipi yang nampak memanas.
Malam yang dingin ini, kenapa jadi sehangat musim semi, ya?
~•~
Setelah sampai di rumah, gadis itu disambut hangat oleh Haneul yang semakin bicaranya semakin lancar dan lebih baik dari beberapa waktu yang lalu. Kedua orangtuanya masih berada di luar negeri, sementara Seokjin masih di rumah sakit. Kata Bibi Han (pengasuh Haneul), Seokjin tadi siang sudah pulang tapi malamnya mendadak mendapat panggilan untuk melakukan operasi darurat.
"Baru saja pergi, mungkin beberapa menit yang lalu." Begitu kira-kira yang Bibi Han katakan sembari memberikan semangkok sup hangat untuk Jihyo.
Setelah wanita paruh baya itu pergi, Jihyo kini sibuk menyuapi adik kecilnya makan dengan mata bocah itu yang fokus pada tayangan robot di TV. "Tadi belajar apa dengan ibu guru di sekolah?"
Haneul menoleh, wajahnya langsung berbinar dan tiba-tiba saja sudah bangkit dari tempatnya untuk mengambil sebuah buku gambar. "Han tadi menggambal Kak Ji," ujarnya.
Usia Haneul memang masih tiga tahun, mungkin beberapa bulan lagi akan menginjak usia empat tahun. Tapi karena orang-orang di rumah sibuk, maka bocah lelaki ini dititipkan di playgroup khusus balita sekaligus memberikannya pelajaran dasar. Haneul ini memang suka sekali menggambar, terbukti dari apa yang Jihyo lihat. Di atas buku gambar dengan ukuran sedang ini, dia melihat seorang gadis kecil tengah bermain di taman yang penuh dengan bunga dan kupu-kupu.
"Ini siapa?" Tanya gadis itu sembari menunjuk ke arah gambar anak lelaki yang ukurannya lebih kecil darinya itu.
"Ini Han, sedang menjaga Kak Ji yang sedang belmain di taman. Kata Kak Jin, Kak Ji suka bunga. Nanti, kita tanam bunga sama-sama, ya?" Kepala bocah ini nampak mengangguk dengan cengiran lucu yang memperlihatkan gigi susunya, Jihyo terkekeh gemas lalu mengecup pipi Haneul.
"Ayo, makan dulu. Setelah itu kita tidur," ucap gadis itu, "Han mau tidur dengan Kak Ji, 'kan?" Dan yang di tanya langsung mengangguk.
Sekalipun rasanya masih sakit, tapi setidaknya apa yang selama ini tak Jihyo harapkan menghadirkan kenyamanan yang tak pernah dia bayangkan. Haneul dan tingkah lakunya, perlahan mengalihkan rasa khawatir gadis itu dari sosok Jungkook.
~•~
"Lusa aku operasi,"
Seharusnya Jihyo tak merasa terkejut, tapi entah kenapa jantungnya seperti dibuat berdetak lebih kencang. Seumpama baru saja turun dari wahana roller coaster. Matanya bahkan tak sanggup bergulir untuk melirik wajah Jungkook, sementara genggaman pada tangan pemuda itu perlahan terlepas. Jungkook menatap sendu, lantas menghentikan langkahnya.
"Dokter bilang kalau kecil kemungkinan untuk berhasil," lalu terkekeh, matanya yang tadi menatap ke arah Jihyo kini menoleh ke arah lain. Jungkook hanya tak sanggup melihat tatapan dengan sorot ketakutan dan kehancuran itu.
"Tapi sesuatu yang kecil akan menghasilkan sesuatu yang besar, 'kan, Ji?"
Tidak, Jungkook. Jangan tersenyum seperti itu.
Jihyo tak mengatakan apa-apa, gadis itu hanya diam membeku di atas pijakan dalam waktu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat pada Jungkook dan memeluk tubuh pemuda itu erat. Jungkook lantas membalas pelukan itu, mencoba menyembunyikan ketakutan yang perlahan memakan habis rasa percaya dirinya.
Dan pada akhirnya, mereka berdua sama-sama menangis. Melupakan segala hal yang ada di dalam dada, dan kepala. Malam itu, di jalan menuju rumah Jihyo, dengan salju yang terus turun, harapan kembali menguap di antara isak tangis mereka.
Ji, bertemu denganmu adalah kebahagiaan yang tak pernah bisa aku balas kepada Tuhan yang sudah memberikan kesempatan itu.
Terima kasih.
To Be Continued