Matahari semakin terik, bahkan pedagang kaki lima yang berada di sekitar trotoar itu pasang payung atau menepi mencari tempat teduh.
Semua orang seakan menghindar dari sengat matahari kecuali makhluk mengenaskan yang mengenakan hoodie putih di tengah trotoar.
Dia terus bersila, menatap layar ponsel yang dia pegang dengan kedua tangannya. Berharap Brian membalas pesannya, atau sekadar mengangkat teleponnya.
I'm not moving!
Ben terus menggumamkan itu dalam benaknya. Tak peduli peluh sudah membasahi badannya, beberapa orang sudah berusaha membujuknya. Bahkan sekuriti berkali-kali mendatanginya. Hanya meminta agar Ben pindah ke tempat yang lebih teduh.
"Saya sedang menunggu seseorang, Pak. Kalau pindah nanti gak keliatan."
Tak bisa berkata apa-apa, orang-orang itu menyerah, membiarkan Ben jadi tontonan orang yang lewat di sekitar situ.
"Bisa gak sih, sekali saja lo gak nyusahin gue?" Mas Fajar datang dia langsung murka melihat tingkah Ben. Diamnya seseorang di trotoar ini seketika jadi viral, beberapa orang penghuni kos Ben buru-buru ngasih tahu Mas Fajar, lelaki yang paling di tuakan di kos-kosan itu.
Ben hanya melirik, lalu kembali menunduk melihat ponselnya yang hampir kehabisan daya.
"Berdiri lo, berdiri atau helm si Brian gue bakar!"
Ancaman Mas Fajar berhasil membuat Ben mendongak, lelaki itu lalu berdiri linglung.
"Lo gak sadar jadi pusat perhatian orang-orang? lo sadar gak sih video lo duduk kek anak ilang nyebar di Twitter? Aing sebagai tetangga lo malu banget anjir. Buruan balik, gue bonceng, atau lo jalan kaki lagi ke kosan."
Ben gak sanggup berkata-kata kepalanya keburu keliyengan, dia duduk dan memegang ujung kaos Mas Fajar.
"Lo udah makan belum, Ben?" tanya Mas Fajar dalam perjalan mereka.
"Udah di rumah."
"Itu tadi, anjir. Buruan bilang lo mau makan apa, kita berenti dulu sebelum sampe rumah."
"Mie ayam aja, Mas."
Mas Fajar mengangguk, lelaki itu menepi di salah satu kedai mie ayam tak jauh dari kos-kosan. Dia membeli tiga porsi lalu kembali ke tempat kosnya.
"Jangan ke kamar Lo, gue mau ngomong sama Lo di kamar gue." Mas Fajar berkata tegas, Ben hanya mengikuti dengan lesu. Menatap punggung Mas Fajar yang bela-belain jemput dia.
Sekali lagi, tetangga kosnya menatap Ben dengan pandangan mengasihani. Apalagi setelah video dia duduk di pinggir jalan viral di sekitar mahasiswa yang kos di sana.
"Masuk!" perintah Mas Fajar, sisa-sisa keributan tadi masih belum dirapikan, bahkan cake yang Ben simpan di luar kini ada di kamar Mas Fajar.
Sebuah notebook dengan gambar bola basket mendarat di meja depan Ben. Lelaki itu langsung mendongak ke arah Mas Fajar, mempertanyakan apa maksud dari lemparanya itu.
"Apa ini, Mas?"
"Buka aja!"
Daftar warung makan langganan Ben.
Daftar makanan kesukaan Ben
Jadwal makan Ben.
Jadwal kuliah Ben.
Dan catatan-catatan lain yang ditulis detail dalam lembar-lembar kertas berwarna biru itu. Ben kenal betul tulisan siapa itu.
"Lo pikir anak kos kere kayak gue sukarela ngasih lo makan tiap hari? lo pikir, si Alif yang hidupnya selalu ngirit itu mau traktir lo makan? Lo pikir gue punya waktu buat tahu jadwal lo? Ngurusin hidup sendiri aja gue puyeng loh, Ben. Apalagi ngurusin hidup lo. Sejak Lo sakit, Brian gak pernah putus ngasih perhatian meski lewat gue. Dia sering ke sini bahkan dia nungguin lo semalaman saat Lo demam dan gak sadarkan diri. Lo jangan kira, Brian ninggalin Lo. Meski lo perkosa dia tanpa perasaan. Brian gak pernah cerita sama gue perihal itu sampai Lo cerita. Dan Brian juga nangis semalaman saat Lo bawa cewek Lo nginep di sini, Ben."
Mati saja sudah, Ben ingin melebur bersama tanah saat mendengar semua yang dikatakan Mas Fajar. Dia menangis sesenggukan memeluk notebook.
"Gak guna Lo nangis, Ben. Berkali-kali Brian ngasih kesempatan tapi Lo masih tetap nyakitin dia. Cake ini dia siapkan sendiri, lihat balon itu, Ben. Gue gak mau ngungkapin semuanya tapi kalian berdua menyedihkan. Bahkan liat Lo duduk di pinggir jalan kayak barusan si Brian udah nangis kayak anak ditinggal emaknya."
Ben berdiri meraih balon yang teronggok di tempat tidur. Lelaki itu sesak, rasanya seperti ada beban berat yang menghantam tubuhnya.
"Brian pindah kuliah, Ben. Pindah kos-kosan. Lo pasti udah tahu, kan, mengingat Lo beberapa kali ke Puradiredja nyariin Brian. Dia ngorbanin masa depan dan kesenangannya hanya karena mau menuruti permintaan Lo buat menjauh dari Lo."
"Cukup, Mas, cukup." Ben gak sanggup lagi mendengar semua pengorbanan Brian.
Ingin rasanya Ben berlari sejauh mungkin, mencari di mana lelaki itu berada.
"Mas tolong antar ke tempat Brian, Mas, gue mau sujud di kaki dia Mas, gue mau cium kaki dia minta maaf, Mas." Ben memohon membuat Mas Fajar iba. Tapi lelaki itu terlanjur janji kepada Brian untuk tidak memberitahukan kos-kosan Brian yang baru saat ini. Brian belum siap, hatinya masih pedih.
"Mie ayam Lo udah ngembang, makan dulu, Ben. Ini Brian yang nyuruh, mastiin bahwa Lo makan sampai habis. Kalau Lo gak bisa sendiri gue sama Alif nemenin Lo makan, gue beli tiga porsi tadi Ben."
Ben bergeming, lelaki itu duduk dan bersandar pada tepian tempat tidur, tak lama Alif datang berusaha mencairkan suasana.
"Mas Ben masih minum obat, kan? Obatnya di mana biar saya ambilkan, Mas."
Ben menoleh, lalu berkata pelan bahwa semua obat dia simpan di kamar.
"Ini obatnya, Mas." Alif tergopoh-gopoh memberikan kantong kresek putih bertuliskan nama rumah sakit.
Lelaki itu makan dengan pelan, sangat pelan, sampai- sampai Alif dan Mas Fajar gemas karenanya.
Serumit inilah percintaan antar lelaki, Alif sampai terheran-heran karena seburuk apa pun hubungan lelaki dan perempuan tidak pernah menemukan orang segalau Ben dan Brian.
Sampai malam tiba, Ben masih setia bergalau ria di kamar Mas Fajar, pemilik kamar berkali-kali mengusir pengunjung tak tahu malu itu.
"Ben, gue mau ngerjain skripsi anjir, kalo gue gak lulus tahun ini bokap gue bisa murka."
Ben mengangguk pasrah, hatinya masih perih karena kejadian demi kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini, terlebih, segigih apa pun dia bertanya tentang alamat Brian, Mas Fajar tetap bergeming.
"Alif bakalan nemenin Lo kalau Lo butuh temen."
Langkahnya terasa berat, dalam hidupnya, ini adalah kali pertama dia ingin memutar waktu. Waktu di mana saat dia dengan keji membuat Brian terlecehkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Way to Find You ? [END]
RomanceBersahabat dengan Brian memberikan kebahagiaan berbeda bagi Ben. Namun, tanpa sengaja dirinya menjadi tahu bahwa Brian ternyata penyuka sesama jenis. Terlebih Ben tahu, sosok yang diam-diam disukai sahabatnya adalah dirinya. Ben murka dan merencanak...