Bersahabat dengan Brian memberikan kebahagiaan berbeda bagi Ben. Namun, tanpa sengaja dirinya menjadi tahu bahwa Brian ternyata penyuka sesama jenis.
Terlebih Ben tahu, sosok yang diam-diam disukai sahabatnya adalah dirinya. Ben murka dan merencanak...
Dalam kamarnya yang sepi dan berantakan, Ben terus-terusan mengubur diri dalam tumpukan selimut, baju kotor dan juga sampah. Lelaki itu tak ubahnya penderita Hoarding Dissorder yang begitu sayang dengan barang-barang bekas pakai hingga menumpuk seperti sampah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejak hari terakhir bertemu Brian, sejak itu pula Ben tidak berminat bertemu siapa pun, termasuk matahari. Dia sudah menyerah memaksa Mas Fajar untuk memberi tahu di mana alamat Brian.
"Ben, buka pintunya!" suara Mas Fajar menggelar, lelaki yang terbaring di tempat tidur bergeming, dia lebih memilih untuk menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Percuma keluar, kalau cuma di suruh makan atau minum sesuatu atas permintaan Brian.
Ben tidak butuh makanan, Ben hanya butuh Brian di sisinya. Sudah itu saja.
"Lo gak buka gue dobrak pintunya, Ben. Bangsat! Lo bisa gak sih nurut, gue mau ngetik, setan!" Suara itu tak menyerah meski terdengar frustasi. Mas Fajar sudah seperti punya anak lelaki yang manja dan menyebalkan.
Ben menutup matanya, menikmati sountrack sebuah film, film kesukaan Brian yang pernah dia tonton bersama-sama di kamar ini.
Mas Fajar sudah berdiri lebih dari lima belas menit di depan pintu kamar Ben. Karena khawatir lelaki itu minta izin kepada Mas Parjo selaku penjaga kos-kosan untuk mendobrak pintu atau sekadar pinjam kunci cadangan.
Beberapa menit mencari akhirnya Mas Parjo terlihat sedang merapikan parit samping kos-kosan.
"Mas, bisa diganggu gak?" tanya Mas Fajar.
"Ada apa?" tanya lelaki berkostum kaos singlet dan sepatu boot karet dari parit.
"Ben gak keluar kamar, gue khawatir dia sakit atau gantung diri. Ayo dobrak."
Tanpa menunggu, Parjo segera naik, dia membuka sepatu, mencuci tangan dekat pos jaga lalu mengambil satu gerendel kunci cadangan dari ruangan yang selalu dia sebut sebagai kantor.
"Mas Ben!" teriak Parjo, lelaki itu mengetuk pintu dan memanggil nama Ben berkali-kali. Tak ada jawaban di sana.
"Intip aja, Mas, itu?" Alif tiba-tiba muncul dengan kantong nasi uduk untuk sarapan.
"Ambil bangku, Lif, di kamar gue." Fajar memerintah yang langsung diturutin Alif.
Bangku plastik yang warnanya pudar karena sinar matahari kini jadi penopang tubuh Parjo.
"Astaga!" pekik Parjo.
"Kenapa, Mas, mati?" tanya Alif, Mas Fajar menoyor kepala bocah yang bicara sembarangan itu.
"Berantakan, Mas, kayak gudang, Mas Ben di kasur, gak tau masih hidup atau sudah tewas. Sebaiknya saya panggil bapak dulu, ya, atau RT/RW." Takut membuat Parjo tidak berani membuka kamar Ben hanya bersama Mas Fajar dan Alif saja.
"Panggil Bapak aja, Mas, feeling saya, si Ben gak apa-apa, dia cuma lagi patah hati aja." Berabe kalau sampai melibatkan RT/RW nanti bisa merembet ke aparat dan si Ben Viral lagi, Mas Fajar sudah menebak dialah yang akan tambah repot nantinya.