•••
Ajeng sendiri kadang merasa tertekan dengan keadaan yang cukup berbeda di desa yang ia dan sekeluarga tempati. Tempatnya tetap layak dihuni namun orang-orang di sana membuat ia merasa lelah saat berinteraksi dengan para tetangga yang judesnya minta ampun. Walaupun begitu, ia tetap berpikir positif dan beranggapan baik, karena ekonomi di sini yang kurang memadai dan lumayan jauh dari kota. Berbeda dengan desa sebelumnya yang hampir berubah menjadi perkotaan karena dekat dengan daerah kota yang membuat keadaan di sana perlahan juga akan berubah menjadi perkotaan.
Hal itu yang membuat orang tua Galih sang Suaminya mengambil hak tanah serta rumah Bu Ajeng di desa sebelumnya. Kemauan tersebut hanya diterima oleh Ajeng dengan ikhlas karena tak ingin membuat gaduh dengan tetangga. Ia sudah malas jika berhubungan dengan Ibu mertuanya. Bahkan suaminya sendiri juga sudah lelah semenjak mereka menikah dan mendengar keputusan mertuanya yang sebenarnya tak merestui pernikahan mereka.
Ditambah dengan saudari Ajeng yang entah tinggal di mana semenjak sudah menikah setelah gilirannya. Ia cukup berbeda. Sang Adik disekolahkan lebih tinggi dari Ajeng yang hanya lulusan SMK. Saudara perempuannya itu sudah jelas hidup tercukupi di kalangan orang kota. Sedangkan dirinya di desa dengan kondisi ekonomi yang kadang naik dan turun. Sudah sangat jelas dari jejak pendidikan mereka di masa lalu.
Ajeng juga tidak mengeluh jika takdirnya seperti ini. Pilihannya sempat ditentang oleh Ibunya yaitu Fatimah untuk masuk ke SMA yang ia idamkan serta tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena ekonomi yang tidak memadai saat itu. Berbanding terbalik dengan sang Adik yang berusaha dibiayai oleh sang Ibu dengan penuh kerja keras. Ajeng sempat merasa sedih namun ia tetap berpikir positif.
Mungkin memang Ibuk mau Agni lebih baik dari aku.
Kemiripan antara Ajeng dan Agni masih melekat antara mereka, namun dalam satu foto keluarga besar di zaman 1900-an justru mereka dipangku oleh dua wanita yang berbeda. Namun, sayangnya foto itu agak lusuh dan rusak dan tepat terkena wajah sosok wanita yang memangku Agni. Mereka sempat heran saat melihat foto itu di umur mereka yang masih menginjak bangku SMA dan SMK, mungkinkah mereka berbeda Ibu? Namun, di mana Ibu satu lagi? Pertanyaan tersebut sering berputar di kepala Agni selama ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ia berdua selalu kompak dan bersama, namun setelah adanya adanya konflik besar antara pihak Ayah dan Ibu mereka saat itu, saudari perempuan itu harus berpisah.
Semenjak saat itu kehidupan di antara Ajeng dan Agni sang Adik sangat berbeda saat sudah mulai menginjak dunia kerja. Kehidupan mereka sangat berbeda dari gaya pakaian dan kondisi diri mereka masing–masing. Ajeng sendiri bekerja sebagai buruh, apapun yang ia lakukan asalkan mendapat uang setiap hari walaupun receh namun bisa ditabung. Sedangkan Agni sebagai pegawai kantor yang gajinya sudah tetap hampir dua digit. Menggiurkan memang namun, Agni tetap tidak bisa membuat uang itu menjadi kebahagiaan kembali seperti sedia kala.
Sudah dari SMP, Ajeng hidup bertahan menahan pahitnya kenyataan yang ia terima dalam hidupnya. Kepahitan itu terungkap saat Kenan sang putra sulung tak sengaja memergoki sang ibu menunduk menatap sesuatu di bawahnya seperti pigora serta foto di dalamnya dan satu lampu meja menyinari Ajeng saat itu. Sampai saat ini, yang tahu tentang keadaan kepahitan keluarga Ajeng hanya putra sulungnya yaitu Kenan, namun Kana belum mengetahui hal tersebut hingga saat ini ia sudah berumur 17 tahun.
"Ibuk nyesel ga hidup dengan jalan hidup kayak gini?" tanya Kenan.
Mendengar pertanyaan tersebut, Bu Ajeng terdiam sejenak disusul dengan senyuman manis di bibirnya lalu menjawab, "Tidak. Pilihan Tuhan yang diberikan ga pernah Ibuk sesali."
Sungguh Ibu rumah tangga yang malang. Kehidupan sebelumnya sangat berantakan dan tak sesuai keinginan, namun sekarang ia membalas semuanya kepada kedua insan yang ia sayangi dengan dihujani kasih sayang dan kebahagiaan yang cukup untuk keduanya. Amanah dari Ibunya tak pernah luntur dari ingatannya, walaupun sudah berkepala empat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Red Strings (Family Edition)
Fanfiction"Kamu enak Fi, kebutuhan tercukupi." "Iya, Na. Tapi aku iri sama kamu yang kasih sayang lebih tercukupi." Kedua saudari gadis SMA yang selalu menempel layaknya permen karet walaupun Ibu mereka tidak sedarah. Saling membantu satu sama lain, berbincan...
kami.
Mulai dari awal