抖阴社区

shore.

1 0 0
                                    

Perjalanan yang ditunggu oleh Fier selama satu jam, sekarang sudah sampai di Bandung jam 10 malam. Fier sudah tertidur dan susah untuk bangun dan Kana sudah tidur juga di dalam kamarnya. Ajeng tidak memberi tahu Kana jika Agni dan Fier datang kembali ke desa. Begitu pula Agni yang tak membangunkan jika sudah sampai di desa daerah Bandung itu.

Semuanya sudah dibawa ke dalam oleh Ajeng dan Agni dalam diam tanpa menimbulkan suara. Ajeng sengaja memberikan izin untuk tinggal selama satu minggu di rumahnya yang agak kecil. Ajeng yang selalu tahu masalah yang di alami Agni. Walaupun katanya Ibu mereka berbeda. Dari segi fisik terlihat berbeda namun mereka tetap rukun tanpa memikirkan hal tersebut. Walaupun terkadang Agni selalu memikirkan hal tersebut atau seringkali overthinking yang seharusnya tak ia pikirkan terlalu dalam.

"Sudah, biarin aja anak–anak tidur," ujar Ajeng.

Agni pun tersenyum dan kembali menatap Ajeng. "Lega bisa selesai semuanya."

Ajeng dan Agni perlahan berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana. Waktu yang seharusnya beristirahat sekarang mereka buat untuk berbincang sejenak.

Ajeng kembali berbicara, "Bagaimana proses perceraian bulan lalu? Lancar?"

Agni mengangguk sebagai jawaban, bahwasanya ia merasa keputusan ini adalah hal terbaik yang Agni pilih. Tidak ada kekangan dan yang lain. Kasih sayang yang Eko berikan memang cukup namun nyatanya kekangan dari Nenek tua itu yang membuat ia tak nyaman. Serta sikap yang tak cukup dewasa Eko membuatnya semakin frustrasi dan kesal. Namun akhirnya semua itu berakhir.

"Jangan merasa sendiri, ya? Mbak selalu ada," ujar Ajeng sembari mengelus bahu Adiknya itu.

Sudah lama tak Agni rasakan kehangatan dari anggota keluarga. Setelah kedua orang tua meninggal, hanya Ajeng yang ia miliki sampai saat ini. Ia kira sikap dinginnya itu adalah tanda bahwa sudah tidak peduli padanya, namun Agni salah.

"Mbak ga usah ngomong gitu ah, males nangis," kesalnya sambil mengusap matanya yang hendak berkaca–kaca. Pemandangan itu justru dibalas oleh kekehan dari sang Kakak dan menjawab, "Beneran loh, Mbak selalu ada. Toh kita Adek Kakak."

Agni menatap Ajeng lagi dengan senyuman yang lumayan pudar. "Ya tapi, kan, kita beda Ibu...." Agni menatap tangannya di atas paha.

Ajeng paham, Agni itu dikenal dengan orang yang selalu gelisah dan cemas, tak beda jauh dari Fier yang sama cemasnya. Padahal hanya hal sepele namun selalu saja dipikirkan bahkan sampai usianya 30 lebih.

"Itu cuma foto, kita tetep sam-"

"Tapi wajah kita beda," potong Agni.

Ajeng hanya berdiam sejenak. Memang benar wajah mereka tergolong agak berbeda. Ajeng tak terlalu dekat dengan Ayah, hanya selalu dekat dengan Ibu, begitupun Agni. Terkhususnya saat Ayah mereka meninggal. Tak ada foto wajah yang jelas untuk Ayah dari masa lalu, membuat mereka lupa wajah sosok Ayah apalagi suara khas pria tersebut.

"Tapi ingat ga, kita punya tanda lahir yang sama di leher," balas Ajeng saat hendak mendongak sedikit memperlihatkan tanda lahir yang berbeda dengan kulitnya. Otomatis Agni melirik ke arah leher saudarinya dan ada hal unik yang baru saja Agni sadari. "Kayak sayap kupu–kupu, tapi sayap sisi sebelah yang lain."

Ajeng mengangguk. "Ibu udah bilang dari lama."

Keduanya hanya berdiam sejenak sambil mengamati tanda lahir yang sama antara leher samping mereka. Jarang sekali Agni sadari bentuknya karena memang kecil dari kejauhan dan hanya bisa dilihat saat bersandingan. Sampai akhirnya mata mereka bertemu dan terkekeh bersama sebelum kembali hening.

"Jangan beranggapan kita bukan sedarah, ya? Memang, Ibu ga pernah kasih tahu ke kita tentang hal itu. Tapi, tetap anggap Mbak sebagai saudarimu," ujar Ajeng membuat Adiknya itu berani meneteskan air mata tanpa suara.

Red Strings (Family Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang