"Walaupun Ibu nanti sudah pergi, harus lebih kuat, ya? Berikan orang-orang yang baik maupun jahat dengan senyuman. Ibu yakin dan sangat percaya kamu bisa hidup lebih baik dari Ibu." Senyuman terukir jelas sama persis seperti Ajeng yang tengah duduk di tepi kasur Ibunya.
•••
Agni sendiri juga tak jauh berbeda dari Ibu kandungnya. Mereka berdua sama-sama baik, namun setelah menikah, Agni susah menyempatkan waktu berdua untuk Anaknya atau bahkan untuk satu keluarga. Nyatanya Fier sang Anak tunggal hanya dihujani dengan uang karena Agni sendiri jarang di rumah. Ia dan sang suaminya hanya sibuk bekerja. Fier di sana hanya mendekap beberapa uang serta teman di rumah yaitu sang bibi atau pembantu di rumahnya.
Rumah luas dan terang sangat berbeda dengan isinya yang hanya berisi dirinya, supir pribadi dan sang pembantu sekaligus baby sister-nya sejak kecil. Setiap kali orang tuanya pulang, pasti keesokan harinya akan pergi ke luar kota, luar negeri, atau bahkan lembur di kantor dan hanya menjadikan rumah megahnya tempat tidur. Kebutuhan Fier secara finansial dari primer, sekunder dan tersier sungguh tercukupi. Namun secara kebahagiaan, ia belum mendapatkan secara cukup.
Fier
Mamah kapan pulang?Mamah
Lusa ya sayang, mamah sekalian bawain oleh-oleh dari Solo.Begitulah jawaban yang sering Fier terima setiap membaca pesan dari Ibunya atau bahkan menelpon sang Ibu. Kerinduan dan rasa sepi yang selalu ia rasakan tiap sepulang sekolah. Ia berharap memiliki saudara walaupun hanya sekadar sepupu, entah itu laki-laki atau perempuan. Namun, ia belum mengetahui hal tersebut. Sampai di mana ia mulai bertanya saat sedang berbincang di telepon.
"Mamah."
"Iya?"
"Aku ada saudara jauh, ga?"Seketika telepon hening sejenak. Agni berpikir keras mencari alasan namun menyadari kondisi sekarang yang tak memungkinkan ia beralasan, ia memilih jujur setelah ia pendam selama ini.
"Ada sayang, kenapa emangnya?"
"Siapa namanya?"
"Mamah kurang tahu, tapi Mamah ada Kakak juga sebenarnya."
"Terus? Kenapa Mamah ga pernah cerita?"Pembicaraan berhenti di Fier sejenak sebelum sang Ibu menjawab. "Mamah sibuk sayang. Mamah juga mau cerita tapi kesempatan ketemu sama kamu tapi kehalang pekerjaan."
"Lagian sih, kerja mulu, cuti kek sehari," kata Fier penuh jenaka disusul dengan kekehan kecil.
"Sabar ya sayang, lusa mamah pulang kok. Oh ya, Ayah pulangnya masih satu minggu lagi."
Kabar dari sang Ibu hanya dibalas hela napas berat dari Fier yang tengah duduk di samping kolam ikan di malam hari saat berbincang lewat telepon dengan Agni. Telepon hening sejenak sebelum Agni menambahkan.
"Maaf ya, Mamah jarang ada waktu buat kamu."
Kata yang jarang ia dengar meluncur kembali setelah sekian lama dari mulut sang Ibu. Suaranya terdengar penuh penyesalan dan rasa bersalah. Rasanya ingin terharu namun Fier berusaha tenang.
"Gapapa, Mah, aku paham kok Mamah sama Papah kerja demi mencukupi kebutuhan aku di rumah."
Telepon hening sejenak sebelum dibalas kembali oleh Agni. "Makasih ya, sayang."
Seketika air mata menetes melewati pipi sebagai tanda emosinya yang mulai keluar.
"Yaudah, Mamah lanjut dulu ya, nanti telepon lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Red Strings (Family Edition)
Fanfiction"Kamu enak Fi, kebutuhan tercukupi." "Iya, Na. Tapi aku iri sama kamu yang kasih sayang lebih tercukupi." Kedua saudari gadis SMA yang selalu menempel layaknya permen karet walaupun Ibu mereka tidak sedarah. Saling membantu satu sama lain, berbincan...
kami.
Mulai dari awal