Jauh di dalam lubuk hati Eko, ia juga belum bisa menerima semuanya. Ia tidak menyesal bertemu Agni, ia tak menyesal menyaksikan momen haru Fier lahir di dunia, tapi memang dunialah yang kejam dengannya. Ia harus berakting jahat demi kebaikan satu sama lain.
"Maafin Papah, ya, Nak."
•••
Kana yang masih di mobil sambil memegang pinggangnya itu kini termenung menatap ke arah luar jendela. Sampai Pak Yanto mulai buka suara saat menyadarinya. "Maafkan Bapak tidak bisa memberi dukungan terbaik di akhir babak," ucap Pak Yanto penuh penyesalan di balik suaranya.
Kana menoleh dan tersenyum. "Gapapa, Pak. Kalah hari ini tidak membuat patah semangat dan bukan akhir dari segalanya, itu kata Ibuk," tuturnya.
Pak Yanto merasa lega dengan jawaban tersebut. Ia kira Kana renungan sebelumnya adalah tanda kesedihan dan putus asa. Bahwasanya Pak Yanto mengerti kondisi keluarga Kana dari pertanyaan lewat WhatsApp tentang berapa nominal hadiah uang tunai kala itu.
Sedangkan Fier yang membawa satu tas berisi uang tunai dan piala justru tak puas dan menangis di depan rumah untuk menunggu taksi dari Agni saat ini sambil melipat tangan di atas lututnya dan menyandarkan kepala di atasnya.
"Bangsat. Keluarga bangsat." Fier terus mengumpat dengan rasa kesal.
Fier masih memikirkan hal yang akan terjadi selanjutnya setelah ia tinggal bersama sang Ibu. Pertama kalinya ia harus kembali berkerja keras dan susah payah untuk bertahan hidup. Dari pindah sekolah dan pindah dari segalanya karena penurunan ekonomi secara drastis. Ia merasa iri dengan Kana yang bisa beradaptasi dengan lingkungan desa dengan kondisi keluarga yang baik dan saling mendukung.
Sedangkan Kana justru iri dengan pencapaian Fier saat ini, ia bisa mendapat hadiah uang tunai padahal ia sudah tergolong dari keluarga mampu. Sayangnya Kana belum mengetahui keadaan Fier secara mendalam saat ini. Ia berusaha ikhlas menerima kekalahannya kali ini demi Fier.
•••
"Buk!" Kana berteriak dan berlari kecil ke dalam rumah dengan semangat dan senyuman yang merekah, namun yang didapat hanya kekosongan di sana.
"Buk?" Kana linglung, pintu rumah terbuka dan semua lampu masih menyala, namun kenapa mereka tidak ada?
Namun, ternyata saat hendak keluar ke teras rumah, ia mendapati Ayah dan Ibu Kana bahkan Kenan sang Kakaknya ada di rumah tetangga seperti hendak membicarakan sesuatu, yang terlihat mereka seperti memohon. Kana hanya diam melihat dari kejauhan, seragam putih taekwondonya sudah lusuh dan bau apek setelah seharian bertanding menggunakan raganya. Sekarang sepertinya otak dan jiwa Kana yang bekerja.
"Beri waktu satu bulan lagi, ya, buk...," mohon Kenan dengan sopan.
"Kamu juga, masih kecil udah sok-sok ngatur orang tua soal hutang!" bentak wanita tua di hadapan mereka.
Sudah ke berapa kalinya ia datang ke rumah Ajeng dan menagih hutangnya sebesar satu juta ditambah dengan bunga yang ia buat sendiri. Sudah mencapai 5% untuk saat ini yang akan bertambah setiap bulannya. Kenan tidak habis pikir lagi dengan peraturan wanita tersebut jika berhutang. Kenan sendiri kewalahan dan segera menggeret kedua orang tuanya pulang. "Sudah, Pak, Buk. Tante kita mohon satu bulan lagi, ya, kita usahakan. Maaf menganggu waktunya, permisi."
Kana hanya diam di sana sambil merenung mengamati gerak gerik mereka dari teras sambil berdiri di sana. Banyak pikiran yang ia pikirkan saat ini, satu pertanyaan yang membuat pikiran rasanya ingin meledak. Cari uang gimana lagi, ya.
Sudah gagal menang kompetisi sekarang ditambah hutang yang lain. Kana rasa dulu tidak sebanyak ini hutang Ibu, sekarang justru banyak yang hampir sering datang. Lelah rasanya bergelut mulut dengan para rentenir tersebut. Bunga yang mereka berikan semakin naik, Kana yang sedang krisis ekonomi justru semakin dipersulit. Ia terus merenungkan beberapa opini, pertanyaan, ujaran orang lain yg sebenarnya tak perlu digubris itu terus terputar membuatnya masih termenung sampai disadari oleh sang Ibu.
Ajeng segera mendatangi Kana dengan senyuman yang selalu merekah di sana. "Astaga sayang, maaf nunggu, ya-" ucapannya terpotong oleh Kana yang menangis di hadapannya tanpa suara.
Kenan pun segera memeluk Adiknya itu. "Sstt, Maafin kita, ya."
Beribu maaf sudah Kana dengarkan dan terima, namun kenapa tetap tak ada perubahan dari hidupnya. Kenapa ia hanya terus dikasihani? Kana masih meratapi nasibnya.
•••
"Terus sekarang, ke mana, Mah?" Fier masih memandang ke arah luar jendela.
Agni tersenyum lalu menjawab, "Kos-an Mamah."
Fier mengernyit reflek menoleh. "Mamah? Punya kos-an?" Matanya terbelalak seketika.
Agni hanya menganggukkan kepala sekaligus menahan tawa akibat reaksi lucu yang diperlihatkan sang Anak. Mungkin ia kira, Agni akan pulang ke rumah orang tuanya dan masih bersedih. Nyatanya salah, Agni sama seperti Ajeng, selalu mempunyai berbagai cara yang pasti demi bertahan hidup dan menahan semua perasaan sedihnya di depan Anak gadis kesayangannya.
"Mulai sekarang, sama Mamah terus, ya?" tuturnya lembut yang membuat Fier melirik Ibunya sekali lagi.
Fier mulai menunjukkan senyumnya setelah hari yang berat di awal tahun ini. "Apapun yang kita terima, kita harus hadapi dan bertahan, ya, Mah?"
Agni mengangguk berkali-kali dengan pelan sebagai jawaban lalu disusul oleh kalimat lain. "Harus."
Kemudian Agni menambahkan lagi."Tapi, sebelum itu kita ke Budhe Ajeng dulu, ya?" tambah Agni membuat gadis itu terdiam sejenak seperti ragu untuk menerima.
Kejadian yang sangat tak diduga masih membekas antara keduanya, mereka belum mengerti kondisi masing-masing. Jika bertemu mungkin akan menimbulkan emosional yang tinggi, secara Fier memiliki kesehatan mental yang agak terganggu untuk saat ini setelah semua kejadian yang tak terduga.
"Yaudah." Jawaban Fier membuat Agni hendak bingung dengan ekspresi setengah pasrah dan setengah ingin layaknya berlari dari semua kenyataan. "Memangnya kenapa, sayang? Ada masalah sama Kana, ya?" Agni penasaran.
Semakin hari memang semakin banyak masalah dan kejutan, Fier merasa diberikan masalah yang sangat besar untuk kali ini. Ia merasa malu dan merasa bersalah karena sudah membuat Kana cedera dan membuat Kana harus tergeser dan hanya menjadi peserta final untuk tahun ini. Ia berpikir Kana akan membencinya.
"Lagi ga mau cerita?" Agni terdiam sejenak menunggu jawaban.
Fier masih tak menerima jawaban, Agni menambahkan. "Yaudah," tambahnya terakhir sebelum kembali agak memberi jarak antara sang Anak dan dirinya untuk memberi ruang berpikir dan istirahat sejenak.
Perjalanan naik taksi tetap berlanjut, untung saja Agni masih mempunyai pekerjaan alternatif yang gajinya juga lumayan untuk kehidupan sehari-hari. Untuk naik taksi dan kereta dari Jakarta ke Bandung tetap tidak masalah. Kehidupan baru untuk Fier mulai terbuka namun masih belum bisa rela dengan takdir yang ia terima.
Sampai kapan aku bisa bertahan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Red Strings (Family Edition)
Fanfiction"Kamu enak Fi, kebutuhan tercukupi." "Iya, Na. Tapi aku iri sama kamu yang kasih sayang lebih tercukupi." Kedua saudari gadis SMA yang selalu menempel layaknya permen karet walaupun Ibu mereka tidak sedarah. Saling membantu satu sama lain, berbincan...
what should i do?
Mulai dari awal