Ben tidak pernah seresah ini menghadapi malam. Berulang kali dia mengecek ke luar memastikan kedatangan Brian. Berulang kali mengirim pesan dan melakukan panggilan.
Mas Fajar dan Alif yang sedang main gitar sambil menyanyikan sebuah lagu bagaikan orkestra yang menjadi pengiringnya.
"Mas, Brian kabur lagi kali, ya?" celetuk Alif yang disusul dengan pukulan ringan pada lengannya.
"Jangan memperkeruh suasana, Lif. Kasian dia nanti cosplay lagi jadi patung di pinggir jalan."
"Brian janji bakalan tidur di sini malam ini tapi kok belum juga datang, Mas. Nomornya aktif tapi telepon gue gak diangkat," keluh Ben. Dia duduk bersila lalu menyeruput kopi hitam milik Mas Fajar tanpa permisi.
"Gue di sini," suara Brian dari ujung lorong bagaikan suara dari surga. Ben semringah dia langsung berdiri dan menyambut kedatangan Brian.
"Mas Fajar, Alif, ayo makan bareng," ajak Brian.
Bagi anak kos, ajakan makan gratis adalah hal yang paling membahagiakan. Alif buru-buru berlari sampai menendang gelas kopi Mas Fajar.
"Beresin gak?" sentak Mas Fajar.
"Makan dulu, Mas, biar ada tenaga. Abis makan janji deh aku beresin."
"Awas aja Lo kalau gak diberesin, gue laporin Pak Didi kalau Lo yang mecahin kaca di musola."
"Iya mas, tenang aja, yuk buruan."
Ben mengambil karpet plastik yang dia gulung dan disimpan di sudut ruangan. Mereka berempat duduk melingkar sambil membuka makanan yang dibawa Brian.
"Jir beli di hotel?" tanya Ben saat melihat packaging makanan yang bertuliskan logo hotel bintang lima yang terkenal di kota itu.
"Tadi abis makan malam sama nyokap sama bokap. Maaf gak hubungin Lo, ngedadak banget kudu ikut ketemu sama rekan kerja mereka. Tau sendiri, kalau udah ngobrol bareng gak boleh main hp."
Ben mengambil gelas dan menuangkan air putih untuk Brian.
"Minum dulu, Yang, Lo kayaknya capek banget."
"Makasih, kalian makan aja, gue udah kenyang. Gue pamit rebahan ya," pamit Brian setelah menghabiskan segelas air. Tanpa berganti pakaian Brian rebahan sambil menatap Ben dalam diam.
Sejak menjadi sahabat, tak terhitung berapa malam mereka tidur bersama, tetapi bagi Ben, malam ini adalah malam penuh emosi. Tak ada gairah di dalamnya, hanya ada sedikit rasa takut sampai-sampai lelaki itu enggan melepaskan pelukannya.
"Gerak-gerak mulu, tidur anjir udah malam."
Brian yang merasa terganggu dengan gerakan Ben yang tak beraturan, melayangkan protes.
"Bentar lagi subuh, bangun, yuk. Kita jogging," ajak Ben.
Brian berbalik lalu menopang wajahnya dengan kedua tangan, kedua siku rapat di kasur yang empuk, matanya berusaha melihat wajah Ben dalam kegelapan kamar.
"Gelap begini, gue masih bisa melihat betapa gantengnya Lo, Ben. Kadang gue iri kenapa gak bisa seganteng Lo."
Ben melambung ke udara, dia menutup wajahnya dengan satu tangan dan tertawa untuk menutupi salah tingkah yang sedang dia rasakan saat ini.
"Receh banget Lo, dipuji gitu aja udah GeEr." Brian terbahak-bahak, lalu bangun dan bersila di hadapan Ben.
"Lo suka gunung atau laut, Ben?" tanya Brian.
"Random banget sih, Yang," jawabnya tangannya mengelus-elus paha Brian yang tidak tertutup celana.
"Oh iya, Lo sukanya kota, kan? Jalan yuk, keliling kota. Lo mau ke mana?"
"Gue belum dapet kiriman nyokap, tau sendiri kemarin dia murka gegara Joey. Nanti kalau udah ada kiriman gue janji bawa Lo jalan."
"Gue ada duit, Lo gak usah mikirin itu. Kita bolos aja dua hari atau tiga hari juga boleh. Itung-itung kita siapin mental buat mengahadapi masalah besar yang ada di hadapan kita, Ben. Mau, ya."
Brian menyakinkan Ben, sampai lelaki itu mengangguk senang. Tanpa rasa canggung, Ben meraih kepala belakang Brian dengan tangan kanannya, membuat Brian membungkuk dan mereka berbagi Saliva.
"Mandi sana, gue siapin baju yang bakalan kita bawa."
"Bri, Lo udah pantas jadi bini gue," goda Ben sambil menepuk pantat Brian.
"Sekali lagi Lo ngomong gitu gue patahin juga masa depan Lo."
"Masa depan Lo juga kan itu, tanpa itu Lo gak bakalan mendesah keenakan."
Ben semakin menjadi, Brian berkacak pinggang murka, lalu Ben buru-buru ke kamar mandi sebelum istri tercinta ngamuk.
Istri, ah, suami kali ya. Batinnya bermonolog, Ben mengguyur tubuhnya dengan air dingin sampai dia rasakan kesegaran yang luar biasa.
Usai mandi, dua tas ransel sudah siap. Ada kotak makan berisi sandwich juga di sana.
"Tuh, kan, udah kayak istri," sekali lagi Ben menggoda, tetapi nahas, Ben harus puas dengan jitakan di kepalanya.
Ben mendengar suara samar senandung Brian di kamar mandi, setidaknya hal itu melegakan karena Brian menepati janjinya untuk selalu ada di sisinya. Meski kini di kepala Ben berbagai hal dia rasakan, bingung, sedih, takut dan sesal.
Sebagai balasan, Ben mengeluarkan Hoodie yang diberikan Brian terakhir kali, juga Hoodie baru yang dia beli untuk Brian. Dia tidak tahu cuaca seperti apa yang akan dia hadapi di perjalanan nanti.
"Yang, sarapan dulu, gak nih?" tanya Ben begitu melihat Brian keluar dari kamar mandi, Brian sudah bertukar pakaian di dalam. Celana pendek warna khaki dan juga kaos putih. Rambutnya basah memberikan kesan seksi.
"Gue bawa sandwich buat ganjel di jalan. Nanti mampir beli nasi kuning juga."
"Kita mau ke mana sih, masih pagi, loh ini."
"Bandung."
Ben yang sedang ngotak-ngatik helm Brian langsung menoleh, gak nyangka Brian bener-bener ngajakin dia keliling.
"Gak usah bawa helm, gue bawa mobil semalam," papar Brian, lagi-lagi membuat Ben semakin heran.
"Bri, seakan-akan kepergian kita ini adalah sebuah perpisahan. Gue gak mau pergi, ah."
Ben jadi tak enak hati, Brian senyum karena mungkin rencananya ketahuan.
"Gak apa-apa, jalan aja dulu. Kita gak akan pisah semudah itu sekarang. Gue pengen menikmati masa-masa indah jadi pacar Lo."
Ben mengangguk, semangatnya yang tadi berkobar kini padam seperti api tersapu air hujan.
Sepanjang perjalanan pun Ben lebih banyak diam. Hanya Brian yang terus bercerita, dia menyetir sambil berusaha menghibur Ben yang merajuk seperti anak kecil.
"Katanya Lo mau berjuang bareng, Bri," ucap Ben. Suaranya lemah, seperti dia putus asa dengan apa yang akan terjadi dalam hidupnya.
"Ini bagian dari perjuangan kita, Ben. Ayo kita nikmatin hidup, kita bersama-sama, setidaknya untuk saat ini sampai Tuhan yang pisahkan kita."
Ben diam lagi, baginya pemandangan di luar mobil lebih menarik hatinya, lelaki itu enggan membuka percakapan lagi dengan Brian.
Kita Bandung habis diguyur hujan seharian, aspal basah dan sejuk. Matahari yang muncul sehabis hujan membuat pantulan sinar yang begitu indah di atas trotoar.
"Ben, bangun, udah sampai hotel."
Ben menggeliat, dia melihat Brian tersenyum dan membawanya ke hotel itu. Brian udah mengurus semuanya dengan baik, mereka tinggal di kamar yang cukup mewah.
"Bri, gak salah nginep di sini?"
"Gue punya voucher, tenang aja. Gak ngabisin uang banyak," ucap lelaki itu.
Brian merebahkan tubuhnya di tempat tidur, pantatnya panas karena menyetir hampir seharian.
Ben melihat pemandangan di depannya menjadi terenyuh, lelaki itu berjongkok kemudian melepas sepatu Brian. Membuka Hoodie dan memberikan bantal yang nyaman.
"Peluk gue, Ben. Tidur dulu, nanti malam baru jalan."
Ben memeluk tubuh mungil Brian, aromanya selalu membuat dia gila dan mabuk. Tangannya menjelajahi lengan teman tidurnya, sesekali mengelus pipi dan memainkan rambut ikal Brian.
"Gue pengen selamanya begini sama Lo, Bri. Bisa kan?"
"Hmmm ...." Hanya itu yang Brian berikan sebagai jawaban. Brian merapatkan pelukan dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Ben.
Satu jam berlalu, Ben mendapatkan kesadarannya lebih dulu, Brian masih ada di pelukannya, matanya terpejam, bibirnya yang merah membuka sedikit terlihat begitu indah di mata Ben.
Dia dekatkan wajahnya, sebuah kecupan mendarat di belah bibir indah itu. Membuat si pemilik bibir mengerang dalam tidurnya.
Selepas dari bibir, Ben mulai menciumi pipi, leher bahkan tangannya tak segan untuk membelai perut dan dada Brian. Berada di dekatnya membuat Ben tak bisa mengendalikan hasrat.
Tangannya menemukan Cherry merah yang indah menggoda, lelaki itu menyingkap pakaian Brian sebatas dada. Terpampanglah keindahan yang membuatnya menelan ludah.
Ben menjilati puting kemerahan itu dan berhasil membangunkan Brian. Lelaki itu meraih kepala Ben dan mengerang menikmati gelenyar kenikmatan yang diberikan.
Ben bangkit dan membuka kaosnya, diikuti Brian yang melakukan hal yang sama. Mereka saling membelit, lidahnya saling menjilat, mengecap rasa yang sama yang pernah mereka rasakan sebelumnya.
Ben memperlakukan Brian dengan penuh kelembutan, belaian pada tubuhnya, kecupan di setiap jengkal kulit putihnya, dan dorongan kuat yang mengobarkan berahi.
"Tatap mata gue dan bilang kalau Lo sayang sama gue, Bri." Serak suara Ben memohon dan meminta kepada Brian.
"Gue sayang dan cinta sama lo, Ben."
Pancaran dari mata indah milik Brian itu penuh dengan kejujuran. Brian mencintainya, sangat cinta sampai-sampai dirinya tidak siap untuk menghadapi sebuah perpisahan.
Ben menjelma jadi sosok yang luar biasa, mengantarkan rasa yang indah sampai Brian bungkam tak sanggup berkata-kata. Dia terus mendesah, dia tersiksa dalam nikmat, dia terus menanjak sampai akhirnya Hujaman pada bagian belakangnya itu mengantarkan Brian tanpa bantuan tangan. Cairan putih beraroma khas itu membasahi perut keduanya.
Sebelum melanjutkan pergerakannya, Ben mengecup kening Brian lama sekali. Kemudian meledaklah apa yang dia tahan dalam dirinya, meledak bersamaan rasa takut karena dia melihat selaksa duka dari mata kekasihnya.
"Its okay, jangan nangis, gue di sini, gak akan ke mana-mana."
Bahu Ben berguncang hebat, napasnya tersengal dan tangisnya benar-benar tak terbendung. Benteng pertahanan yang dia bangun selama ini runtuh juga.
"Gue capek ledekin Lo terus saat nangis, Ben, sekarang malah Lo nangis lagi kayak bocah. Udah bangun cepet kita jalan-jalan."
Ben diam saja, air mata masih terus membanjiri pipinya, dia menjatuhkan diri di atas tempat tidur, meringkuk merasakan sakit yang dia sendiri tidak tahu apa obatnya.
Brian muncul dari kamar mandi, dia sudah segar dengan handuk melilit pada pinggangnya. Di tangannya ada sebuah handuk yang dia gunakan untuk menyeka tubuh Ben.
Setiap sentuhan yang Ben rasakan pada kulitnya terasa dingin. Dia pejamkan mata seraya menahan sesak yang makin lama makin mencekiknya. Bahkan untuk sekadar melihat wajah Brian pun dia tak sanggup. Tak sanggup karena takut ini adalah kali terakhir dia bertemu dengan Brian.
"Gue gak mau ke mana-mana, Bri. Gue mau di sini aja sama Lo."
"Rugi banget sih, ayo jalan, gue belum pernah dibawa jalan kaki sama Lo. Kata temen gue, sekitar sini ada soto Madura yang enak banget."
"Gue gak suka soto Madura," jawab Ben.
"Gue tau, tapi gue kan suka. Tapi masalahnya bukan itu," ucap Brian, dia memakaikan kaos bergambar abstrak kepada Ben.
"Apa?"
"Sebelah tukang soto, ada batagor. Batagor bersanding sama soto, sama halnya kayak Lo yang bersanding sama gue," rayu Brian.
Ben meraih tangan Brian lalu mengecup telapaknya. Menyimpan sejenak duka lara yang mereka simpan masing-masing di hati mereka akhirnya meninggalkan hotel dan jalan-jalan di kota Bandung.
"Kenapa lo suka kota, Ben, di saat orang lain milih lari ke gunung atau pantai."
"Karena gue gak suka kesepian, hidup gue sudah kesepian sejak kecil, Bri. Di kota ramai, apalagi kalau malam begini, lampu-lampu di pinggir jalan, lampu-lampu kendaraan, lalu lalang orang. Semuanya bikin rasa sepi yang gue rasakan hilang seketika. Kalau Lo, apa yang Lo suka?"
"Bebas sih, gue selalu suka tempat-tempat yang disukai orang yang gue suka. Papa suka sungai, gue jadinya kebawa suka. Mama suka sawah, gue juga jadinya suka. Ana suka laut, gue jadinya suka juga. Dan sekarang Lo suka kota, kesukaan gue kontan bertambah."
Ben meraih tangan Brian, namun lelaki itu segera menepisnya.
"Banyak orang, Ben. Di Bandung kita gak bisa sebebas itu." Ben mengerti, dia lalu merangkul bahu Brian sebagai gantinya.
Ada musisi jalanan yang membawakan sebuah lagu, semua orang berkerumun menikmati lantunan indah suaranya. Brian maju beberapa langkah, tetapi Ben buru-buru mencekalnya membawa lelaki itu menjauh dari kerumunan.
"Jangan ngide, deh, Bri." Lelaki itu berkacak pinggang.
"Lah ngapain?"
"Lo mau nyanyi, kan? Sok romantis macam di film?"
Derai tawa terdengar bagai nyanyian surga, Ben terpana melihat kekasihnya begitu rupawan.
"Gila aja, gue nyanyi auto ditimpuk botol air mineral."
"Lah tadi ngapain ke depan?"
"Nyari tempat duduk, kebetulan tadi depan penyanyi itu kosong," ungkap Brian.
"Enggak, gak boleh. Entar dia naksir," cegah Ben.
"Gila aja, gak semua orang homo kayak kita. Ya dah balik aja kalo gitu, kita cari jajanan."
Ben mengangguk, dia lebih setuju jalan daripada harus berhadapan dengan penyanyi jalanan yang terlihat genit. Lalu mereka menyeret langkah bersama. Ditemani temaram juga gerimis, tetesan air yang halus terlihat semakin jelas kala dilihat di bawah lampu jalanan.
Ben membiarkan Brian melangkah duluan, sejak awal lelaki itu mengajak nya pergi, dia tahu ada yang tidak beres. Lelaki itu terus mematung, melihat Brian menjauh, langkahnya seperti hampa, bahkan Brian tidak menyadari kalau Ben sudah tak ada di sisinya.
Lama Ben berdiri di sana, sampai akhirnya Brian menyadari ketiadaan Ben di sisinya.
"Ayo," ajak Brian dia menjulurkan tangan dan menunggu Ben, namun, Ben menggeleng dan memilih duduk di bangku taman pinggir jalan sembari melihat lalu lalang kendaraan yang makin lama makin padat.
"Hujan anjir, nyari tempat teduh, kek. Depan sana ada cafe, yuk ke sana."
Ben menggeser duduknya, memberi ruang kepada Brian untuk duduk di sebelahnya.
"Di sini aja, Bri."
Brian mengerti perlahan lelaki itu mendekat, dia tahu inilah saatnya bagi mereka untuk bicara.
"Rencana gue udah ketebak, kan, Ben?" tanya Brian. Matanya fokus pada batu bulat di hadapannya. Dia tidak berani menatap mata lawan bicaranya.
"Gue tau. Gue harus gimana biar Lo tetep di sisi gue?"
"Kalau saja itu hanya Joey, gue siap di sisi lo. Nepatin janji gue ke lo untuk berjuang bersama melawan kelicikan dia. Tapi itu bukan tentang Lo sama Joey lagi. Ada sosok tak berdosa yang kini hadir di antara kalian. Gue akan jadi cowok jahat kalau tetap dengan keegoisan gue mempertahankan Lo, Ben. Yang jadi korban bukan hanya gue, Lo, tapi Joey dan bayinya. Mumpung cinta Lo ke gue belum terlalu dalam, ayo kita sudahi semuanya di sini, Ben."
Telinga Ben rasanya berdengung, rasanya lebih baik ada petir yang menyambarnya saat ini daripada mendengar pernyataan Brian barusan.
"Lo bagaimana, Bri. Gue tahu, Lo cinta sama gue, kita bisa perbaiki semuanya dan kita bersama."
"Be realistic, Ben, Since the beginning my love for you has been wrong."
"Gak ada yang salah, Bri,"
"No, jangan potong dulu ucapan gue. Dengar baik-baik, gue baik-baik saja. Lo tahu di mana gue kuliah, Lo tahu di mana kos-kosan gue, Lo juga tahu akses buat berkomunikasi sama gue. WhatsApp aktif, Instagram aktif, bahkan Line sama tiktok gue juga bisa Lo hubungi, Lo punya akses terbatas buat hubungi gue kapan aja. Seperti dulu, hanya sebatas sahabat."
Air mata Ben sudah menggenang membuat pandangan memburam. Dia berusaha untuk tidak terlihat lemah karena dia tahu Brian gak suka.
"Terima kasih buat hari ini, Ben. Kita masih punya waktu dia hari lagi untuk tetap bersama. Habis ini, gue lepasin Lo untuk jemput kebahagiaan Lo yang baru."
Ben menggeleng, kali ini dia pegang tangan Brian dan tidak ditolak. "Enggak, Bri, enggak. Jangan."
"Ben, sebentar lagi Lo jadi ayah. Buktikan pada dunia Lo bisa jadi ayah yang baik buat anak Lo. Cerita kita biar jadi sejarah aja, Ben. Sejarah tentang kegoblokan kita berdua. Lo bener, hubungan antara kita ini ujung-ujungnya hanya seks saja. Kalaupun saat ini bertahan, akan ada kesakitan-kesakitan lain yang kita hadapi."
"Lo bagaimana, Bri. Gue tau cinta Lo ke gue itu besar banget. Lo kerasukan apa sih sampe bisa ngomong kayak barusan?"
"Gue tahu, gue juga sakit ngomong ini, Ben, gue juga gak bisa. Berhari-hari gue mikirin ini, tetap ujungnya kita harus pisah. Ben, gue cinta sama lo, dan mulai detik ini gue belajar untuk gak mencurahkan cinta gue ke Lo lagi. Dan Lo jangan khawatir, waktu yang bakalan nyembuhin rasa sakit kita. Gue yakin kita bisa melalui ini semua. Jangan kayak kemarin, jangan cosplay jadi ODGJ lagi."
Pegangan tangan Ben terlepas. Yang dia takutkan kini terjadi. Ben menatap sekeliling, kesukaannya melihat perkotaan kini berubah. Kota Bandung terutama, menorehkan luka karena harus melepas apa yang baru saja dia dapatkan dalam hidupnya.
"Boleh gue peluk buat yang terakhir kalinya?" tanya Ben.
Brian merentangkan tangannya lalu Ben menghambur ke pelukan Brian. Tidak ada isak tangis yang dramatis, tapi Ben tahu Brian menangis dalam diam. Karena kaos yang dia kenakan basah oleh air matanya.
"Gue pulang malam ini juga, Bri. Makin lama gue sama Lo, makin sakit hati gue."
"Barang-barang Lo masih di hotel, Ben. Atau kita pulang bareng aja, kita check out malam ini juga."
"Enggak Bri, gue pengen sendiri. Kalau gak keberatan bawain dulu aja barang-barang gue, nanti gue ambil sendiri ke kos kosan Lo. Jaga diri baik-baik, Bri. Kalau ada apa-apa gue siap bantuin Lo."
Ben menatap wajah yang sudah memerah karena tangisannya. Lalu tanpa minta izin lagi dia kecup kening Brian lama sekali. Tak peduli mereka di pinggir jalan, tak peduli beberapa pejalan kaki melihat kejadian itu.
Ben lalu melepaskan ciumannya, dia bahkan menahan diri untuk tidak mengecup bibir indah Brian.
"Gue balik, ya," pamitnya sekali lagi.
Ben melepaskan semuanya. Mimpinya, hidupnya, cintanya, dia berjalan menyusuri trotoar yang remang. Gerimis berubah jadi hujan deras seperti langit mengerti kedukaannya. Dia terus berjalan tanpa tahu ke mana tujuan sebenarnya.
Pulang pun rasanya percuma, Ben tidak punya tempat untuk pulang. Di perempatan jalan Ben bertemu dengan pos polisi, dia minta izin berteduh di sana.
Melalui kaca yang menggelap dia menatap hujan, sayup-sayup terdengar seseorang memanggil namanya. Lelaki kecil itu berlari di tengah hujan, memanggil namanya berulang kali. Namun, Ben menyadari bahwa apa yang Brian katakan tidaklah salah, dia harus bertahan, meski sakit yang dirasakan nyaris menghabisi jiwanya.
Ben lantas menumpahkan tangisnya, bahunya bergetar hebat. Suaranya tercekat.
Di kota Bandung, di tengah guyuran hujan kisah cintanya bersama Brian harus berakhir.
Tamat.
Guys 😭
Mungkin ada banyak orang yang kecewa dengan akhir kisah ini. Maafkan. Tapi jika aku paksakan Ben untuk tetap bersama Brian maka aku kan ciptaan Ben yang makin bobrok. Cowok yang gak ada tanggung jawabnya.
Brian Story' udah aku update ya, silakan mampir. Terima kasih untuk semuanya yang Sudi membaca kisah ini.
Semoga ada pelajaran yang bisa kalian petik dari kisah ini.
Jangan lupa mampir juga ke Enigma, I Love You Mas Fajar, dan yang paling sering update adalah Me and My Broken Heart Alias Brian Story'.
Sampai jumpa lagi. Terima kasih semuanya.