"Terus?" Kenan mendengarkan seksama.
"Terus, aku sempet cedera waktu itu. Aku sempet cedera, tapi gapapa... justru itu jadi membekas sih. Hasil kerja keras selama ini, dan pertama kalinya cedera se hebat itu. Setelahnya aku bangkit dan bisa lanjut ikut lomba sampe provinsi kemarin," jelas Kana
"Gila, dikit lagi tingkat nasional, kutemenin asli," ujar Fier.
"Amin, semoga sih ya. Ketat banget soalnya. Jadi peserta provinsi aja udah bangga, apalagi nasional."
Kana pun terdiam sejenak sebelum berdiri. "Sebentar mau ambil sesuatu."
Fier mengangguk, sedangkan Kana bergegas ke kamar untuk mengambil sesuatu yang sangat ingin ia tunjukkan kepada gadis yang baru saja ia kenal pagi hari.
Sembari menunggu, Fier menarik napas panjang dan menghembuskannya seperti sedang melepas penat, namun nyatanya ia melakukan hal tersebut untuk menikmati apa yang Tuhan berikan lewat udara segar di pedesaan yang sedang ia datangi sekarang. Duduk di bangku teras rumah sederhana Kana, mengangkat satu kaki layaknya makan di warung kaki lima dengan udara sejuk yang senantiasa menerpa hidung serta kulit halusnya. Jika ditanya ingin kembali ke kota atau menetap di sini, mungkin Fier akan menjawab di desa hanya untuk menikmati pemandangan indah yang ia lihat pertama kali. Di kota, Fier hanya disuguhi beberapa gedung pencakar langit dan beberapa rumah yang berhimpitan bahkan gang-gang yang berisi rumah kecil terdapat insan yang menghuni di sana. Kehidupan di Jakarta sangat berbeda dari desa di daerah Bandung ini.
Keheningan terpecah saat Kana kembali duduk di depannya sembari membawa beberapa foto masa lalu yang ia punya. Ia mulai bercerita selengkap-lengkapnya dari pagi sampai sore bersamanya. Layaknya teman yang bermain ke rumah, ia lupa waktu saat bertukar cerita denganku. Fier pun mulai mengira, akankah Kana jarang ada yang mendengarnya? Karena sejak pagi ia terus bercerita seperti ia tak pernah menceritakan pengalamannya ke orang lain. Memang benar manusia itu tidak peduli dengan cerita atau hal lain tentang manusia yang tak ia kenal, bahkan yang dikenal pun belum tentu bisa memahami atau dekat.
"Ini foto aku pas masih rambut panjang."
Sontak mata Fier terbelalak dan segera mencondongkan badan melihat dengan penuh rasa penasaran dalam matanya saat Kana mulai memperlihatkan foto yang sangat ingin dilihat oleh Fier.
Sangat berbeda, gaya rambutnya saat ini dengan yang di foto Fier pegang saat ini sangat berbeda, namun tetap sama cantiknya. Tetap anggun walaupun gaya rambut seperti laki-laki.
"Ini pas SMP, ya? Ih cantik pas rambut panjang tahu, rambut kamu juga lurus," puji Fier.
"Makasih," ucap Kana sembari tersenyum dan tersipu malu memperlihatkan foto–fotonya.
"Kok yang di rak itu udah potong? Masih SMP juga," tanya Fier sembari terus memperhatikan foto Kana tanpa melihat sang pemilik foto di depannya.
Kana tersenyum dan mengingat alasan mengapa ia memutuskan merubah gaya rambut dan hampir saja merubah pribadinya. "Iya. Waktu itu ekonomi keluargaku pas rumit-rumitnya. Tahu ga sih, hair hold memories. Aku memilih potong rambut sependek ini karena merasa terbebani aja. Untungnya Ibuk ga marah kalau aku potong sependek ini. Justru dengan potong pendek, semua urusan aku dipermudah. Apalagi kalau latihan fisik, ga perlu nutupin rambut atau rambut jadi lepek banget. Membawa keberuntungan juga," jelas Kana.
Fier pun mulai memahami kondisi Kana lewat penjelasan Kana tersebut.
"Aku paham kok capeknya, banyak temenku yang ekonominya kurang memadai, memang rumit, capek. Sayang sih rambut kamu kepotong, cantik loh... tapi, ga ada bedanya sama yang sekarang, tetep cantiknya kok," balas Fier sembari tersenyum.
Kana tersenyum kemudian menambahkan. "Asal kamu tahu, gara-gara rambut ini ada orgil yang suka aku. Cewe woi masalahnya," ungkap Kana sembari menghela napas kasar.
Sedangkan Fier justru menahan tawa di depan Kana yang merasa jijik mengingat tingkah aneh Mbak Sri kadang kala saat pulang sekolah.
"Cie." Kata yang dilontarkan Fier membuat Kana melirik Fier dengan tatapan tajam.
"Eh, aku normal woi. Enak aje," timpal Kana kesal.
Fier tertawa puas melihat raut wajah kesal yang terbentuk di wajah Kana saat ini. Gelak tawa tersebut seiring dengan sinar matahari oranye yang terus menerangi kulit mereka di sudut teras rumah sederhana milik Kana tersebut.
Baru saja pertemuan satu kali di antara mereka, tapi Kana sudah bisa berbagi cerita dan berkeluh kesah seharian bersama Fier yang umurnya berbeda satu tahun lebih muda darinya. Fier baru saja masuk SMA tahun ini. Maka dari itu, ia bertanya lebih jauh soal Kana saat tahu bahwa gadis yang bersamanya itu sudah menginjak kelas sebelas di bangku SMA. Tentunya ia perlu sisi pandang orang lain dari sekolah yang berbeda juga. Selain itu, Fier juga mencoba berani bertanya lebih lanjut karena ketertarikannya seperti menandakan bahwa Kana adalah seseorang yang memang ditakdirkan bertemu di kehidupannya kali ini.
"Eh, udah sore, kalian mandi sana," tegur Kenan saat keluar ke teras dan menyadari keberadaan Adiknya dan Sepupunya di sana.
Kana pun spontan menoleh ke belakang dan kembali menatap Fier dan berkata, "Duluan aja Fi."
"Gapapa aku dulu?"
Kana pum mengangguk meyakinkannya sebagai jawaban.
Melihat anggukan Kana, ia segera melangkah masuk untuk membersihkan diri setelah dari pagi belum mandi sama sekali karena berkeinginan lari pagi sekaligus berkenalan dengan Kana. Jika Fier tidak nekat untuk bertanya, mungkin sampai sore ini rasa penasarannya hanya ia bungkam sampai pulang. Namun, nyatanya ia bisa mengenal jauh dan bertukar cerita bersama Kana. Ia cukup puas dengan hari liburnya kali ini. Sebelum tahun baru, ia sudah mendapat kenangan terindah yang belum ia dapat sebelumnya.
Keadaan tersebut berubah saat Fier memasuki kamar yang niatnya untuk menunggu Kana sampai selesai mandi sambil bermain ponsel, nyatanya disambut oleh pemandangan Agni yang sudah duduk menatap ponsel lebih dahulu dengan kerutan di kening menandakan rasa frustrasi oleh masalah yang hendak di tatap oleh Agni dari layar ponsel.
"Mamah kenapa?" Fier mendekat ke sebelah Agni.
Sontak Agni mematikan ponsel dan meletakkan di sampingnya tanpa bisa dengan mudah dijangkau oleh mata Fier.
"Gapapa," jawabnya berusaha terlihat tenang.
"Tapi mamah kelihatan ada masalah, ada apa?" Fier mencoba memastikan.
Namun, Agni berusaha tenang dan tidak menceritakannya sedikitpun pada Fier."Ga ada apa-apa sayang... cuma pusing aja."
"Pusing kenapa?"
Agni harus sabar menjawab berbagai pertanyaan yang tak terduga dari Fier terkhususnya saat ini. Ia terus bertanya, namun Agni berusaha sabar."Mungkin kecapean, Mamah kira dengan nonton video lucu di HP bisa bikin happy, ternyata malah bikin pusing," jelasnya sambil terkekeh dengan harapan Fier tak menyadari ungkapan palsunya.
Fier hanya tersenyum tipis namun diselingi dengan firasat yang aneh di antara Fier sendiri dan sang Ibu. Entah apa firasat aneh itu, tapi firasat tersebut terus berlanjut sampai malam hari tiba.
Saat hendak duduk di teras rumah, Kana mulai mengganti topik. "Fi, mending kamu tidur sama aku deh, biar Ayah kamu bisa tidur di kamar. Dari kemarin begadang, aku jadi ga enak," saran Kana.
Teras rumah yang terang ditambah dengan cahaya rembulan yang lumayan terang malam hari itu, membuat Fier tak takut untuk menjawab, "Ayo!"
Fier diam sejenak. "Tapi, emang boleh?"
Kana dengan cepat menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Bahwasanya ia merasa tidak nyaman, jika tamunya menginap namun ada satu yang justru memilih keluar tanpa tidur. Kana sebagai yang mempunyai rumah justru merasa sungkan.
Ajakan Kana membuat Fier beranggapan sesuatu. "Kamu pasti takut setan, ya?" ucap Fier dengan enteng sambil terkekeh.
"Atlit kayak aku, ga setakut itu sih," timpal Kana dengan bangga.
Seketika Fier memperhatikan satu sudut yang ia lihat dengan intens dalam diam saat Kana sedang melihat ke arah sawah yang Fier tatap sebelumnya. Namun, Kana tersadar dari ekor matanya, Fier diam di sana seolah sedang melihat sesuatu yang sangat menarik matanya.
"Kenapa Fi?"
Fier hanya diam dengan wajah datar bak sedang melihat sesuatu yang begitu membuat Kana bingung. Sebelum Kana menoleh Fier menyela gerakannya.
"Kamu pernah lihat setan ga sih?"
Kana mengernyit dan mulai merasa bulu kuduknya berdiri tanpa alasan sebelum menjawab, "Ah apasih, ga tahu ah."
Fier hanya diam tertegun di sana seolah benar melihat keberadaan makhluk yang sangat langka atau bahkan susah dilihat dengan mata telanjang.
"Udah deh Fi, ga usah bercanda." Kana mendorong pelan bahu Sepupunya itu.
"Coba aja lihat belakang," perintah Fier membuat Kana semakin merasa tak enak.
Kana menoleh dan benar saja ada sesosok makhluk yang posisinya terbalik dengan bungkusan kain, berdiri di samping pohon pisang dengan kain putih yang bergerak seiring dengan hembusan angin.
Sontak Kana dan Fier pun berteriak dan segera masuk ke rumah dan menutup pintu tanpa berpikir atau mengamati sedikitpun.
•••
Seorang gadis berteriak di belakangnya dan Kenan pun segera menoleh.
"Siapa sih?" Ia menyingkirkan rambut yang menganggu pemandangannya.
Kegiatannya yang sedang mencari daun salam sesuai perintah dari Ajeng sempat terhenti namun ia hiraukan lalu mengendikkan bahunya sebelum kembali fokus dengan pekerjaannya.
•••
"Masih bilang aku bercanda?" Fier terengah–engah.
"Kok bisa ada sih di rumahku, biasanya ga ada deh." Kana juga terengah–engah namun merasa heran juga dengan kejadian yang baru saja ia alami.
Mereka berdua terengah-engah dari lari sebelumnya yang membuat kedua jantung mereka berdebar kencang dan sesak akibat makhluk yang entah apa wujudnya dalam kain putih tersebut. Bulu kuduk mereka tetap berdiri sampai di kamar walaupun sudah ia kunci.
"Aduh kebelet pipis," keluh Fier.
Kana melirik Fier dan berdecak. "Ah, kenapa ga dari tadi," balas Kana kesal.
Dengan enggan Kana membuka pintu perlahan dan segera keluar lebih dahulu dengan tatapan waspada melihat sekitar sambil mengendap-endap. Seiring matanya memperhatikan sekitar, suara pintu belakang terbuka menjadi pusat perhatian Kana dan Fier dengan spontan untuk melihatnya.
Sosok kain putih mulai memasuki dapur dengan cahaya rembulan yang menyinari dapur yang lumayan gelap karena sudah malam hari.
Mereka terbelalak dan berteriak bersama saat sosok tersebut mulai berjalan masuk.
"AAAAAAA!!"
Sontak Kenan tersentak dan justru menyusul teriakan mereka. "AAAA!!" Kenan berhenti berteriak."Apasih!" sentak Kenan.
Saat hendak ingin kembali ke kamar, Kana terhenti dan melihat seksama siapa orang tersebut.
"Oh dirimu?" Kana terambang di gawang pintu antara lorong ke ruang tamu dan dapur.
"Bukan, setan," balasnya kesal. "Lagian kenapa teriak malem-malem sih." Kenan melepas sarung putihnya dari badan dan meletakkan di bahunya.
Menyadari Kana tak berada di sisinya, Fier pun kembali keluar dan melihat siapakah sosok putih tersebut karena suara di dapur bertambah satu orang selain Kana.
"Oh kak Kenan...," ujar Fier malu.
Kana menoleh ke arah Fier. "Kamu jadi pipis, ga?"
Fier pun mengangguk dan segera berlari ke kamar kecil untuk segera menuntaskan hajatnya berupa air kecil.
"Terus kakak ngapain malem-malem keluar, aku tadi lihat putih–putih juga tuh di bawah pohon pisang, akhirnya aku teriak aja. Tapi, ternyata dirimu setannya," ujar Kana sambil menyandarkan punggungnya di dinding dekat meja makan.
Kenan mengernyit. "Loh, yang teriak tadi kamu sama Fier?" tanyanya sembari berjalan ke selang dekat bak cuci piring untuk mencuci tangannya.
Kana mengangguk cepat dengan kesal. "Lagian kayak pocong di bawah pohon pisang," sindirnya kesal.
"Ya maap, lagi cari daun salam, tadi disuruh Ibuk." Kenan segera masuk dan meletakkan daun salam sebelum kembali ke kamarnya setelah mencuci tangan.
Kana mendengus mendengar jawaban tersebut dan segera duduk sambil memakan kerupuk sisa saat hendak menunggu Fier yang ternyata sudah ia tunggu sampai 5 menit belum keluar.
"Kamu masih lama, Fi?" Kana meninggikan suaranya.
"Maaf Na, kelepasan berak."
Kana menghela napas kasar namun tetap menjawab Fier dengan nada tenang. "Yaudah, nanti kalau udah selesai langsung kamar, ya. Aku mau duluan ke kamar."
"Ya." Itu jawaban terakhir dari Fier sebelum Kana kembali ke kamar.
•••
"Pak, ini bayarnya pakai apa?"
"Bapak juga ga tau buk harus lunasin pakai apa, panenku sudah habis, cuma segitu yang bisa Bapak dapetin."
Isak tangis perlahan keluar seiring dengan jawaban Ajeng. "Aku ga tahu harus ngapain lagi, pak...."
Percakapan tersebut terdengar jelas saat Kana hendak ingin minum air putih di dalam kamarnya. Merasa tak bisa apa-apa, Kana hanya merenung di sana dan segera berbaring di kasur kapuknya.
Dengan kegiatan sibuk di sekolah disertai taekwondo dan mengikuti lomba berkali-kali sampai mendapat juara serta hadiah uang tunai berkali-kali, rasanya juga masih kurang untuk membantu melunasi hutang kedua orang tuanya yang masih tak kunjung selesai hingga sekarang. Ingin marah, tapi dirinya sendiri yang membuat kondisi semakin tak terkontrol pengeluarannya. Merasa frustrasi dan hampir melepas emosi, Kana memejamkan mata sejenak namun tanpa tertidur. Ia mencoba menenangkan pikirannya.
Tak selang lama, Kana merasakan kehadiran seseorang yang tak asing baginya dari cara berjalan dan wangi khas dari kejauhan.
"Udah selesai aku-" katanya terpotong melihatku berbaring di sana.
Fier kira Kana sudah tertidur namun nyatanya belum. Dengan pelan, Fier perlahan penuh hati-hati menutup pintu kamar agar tidak membangunkan Kana.
"Fier, kan?" Kana membuka salah satu matanya untuk mengintip siapa orang yang menutup.
Fier tertegun dan menoleh. "Kukira belum tidur, kaget ah," ucapnya sembari menurunkan bahunya yang tegang dan berbaring santai di sampingnya.
Kamar sederhana dengan sprei hello kitty yang sepertinya sudah dari kecil Kana pakai, membuat hal tersebut tak perlu dihiraukan untuk Fier karena suasana sejuk di dalamnya yang membuat segala tampilan kamarnya teralihkan.
Keheningan tersebut berlanjut sampai Kana mulai memecah keheningan di antara mereka.
"Kamu pernah denger teori red string, ga?"
Spontan Fier menoleh dan menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Apa itu?"
"Kepercayaan dari Tiongkok kalo tiap orang punya benang merah tak terlihat yang terikat di jari kelingking atau telunjuk setiap orang yang biasanya akan terikat atau berhubungan penting dengan kita," jelas Kana.
"Hm, kalo ternyata udah ga terikat, putus gitu?" Fier mendengarkan seksama.
"Katanya ga Fi, cuma sekedar kusut aja sesuai kehidupan dan akan terus memanjang tanpa terputus," imbuh Kana.
Merasa bahwa Kana sepertinya banyak membaca buku ia pun bertanya lagi. "Kamu percaya?" tanya Fier sembari menatap Kana.
"Kalo segi teori untuk kehidupan atau takdir sekadar menarik aja." Kana kembali memejamkan mata.
"Kalo memang iya, kira-kira kita ditakdirkan dengan siapa, ya?" Fier menopang kepalanya dengan kedua telapak tangan di belakang kepala saat hendak menyusul Kana untuk berbaring di atas kasur.
"Entahlah, tapi pasti seseorang yang akan berpengaruh besar." Kana mencoba meyakinkan.
"Masa?" canda Fier.
"Beneran, nying," ucap Kana kesal sambil menyikut bahu Sepupunya tanpa izinnya.
Fier meliukkan badannya karena geli sebelum keduanya tertawa terbahak–bahak menikmati candaan yang mereka buat. Terkhususnya Kana yang gampang kesal, ia semakin senang menjahilinya.
Namun, Kana mencoba menghentikan kejahilan Sepupunya dengan mengganti topik pembicaraan. "Diam, aku punya dua gelang..."
Fier berhenti tertawa dan memperhatikan Kana yang berusaha mengambil benda yang ia maksud dari laci kecil di seberang kasurnya.
"Nih."
Dua gelang merah dengan dua tali yang bersatu di tiap gelang membuat kesan indah dengan manik-manik bintang kuning di tengahnya. Pupil Fier membesar menandakan rasa senang dan segera menyentuhnya pelan di salah satu gelang tersebut.
"Ih lucu..."
"Satu buat kamu. Habis kubeli dari pasar malem minggu lalu sama temen-temen." Kana memasang gelang tersebut di pergelangan tangan kirinya.
Sedangkan Fier memasangnya di pergelangan tangan kanannya. "Lah kebalikan."
Mereka berdua terkekeh geli dan segera membuat tos ala sahabat karib yang sudah dekat sebelumnya dengan berbagai variasi yang menyenangkan dan keren tentunya.
•••
"Nak, ini ada uang sepuluh juta dari rekening Agni, dia gajian lagi?"
Eko mengernyit dan menjawab, "Engga mah, kan gajiannya awal bulan."
"Sudah Mamah bilang, Agni itu tidak lihai dalam mengatur keuangan, dia saja masih hutang padahal bisa bilang Mamah kalau ada perlu."
Eko pun menghela napas sebelum menjawab lagi. "Iya Mah, nanti aku bicarain sama Agni."
Panggilan tertutup.
"Sudah Mas. Biar dia rasakan setelahnya."