抖阴社区

Bagian 17

82 6 9
                                        

"Astaga! Kak Sonnya, kakak kenapa?!!"

"Ya Tuhan, mbak. Mbak kenapa?!!"

Pekikan itu seketika langsung terdengar ketika Sonnya baru saja membuka gerbang rumah milik Leon barusan. Dari tempatnya berdiri dia dapat melihat Jingga dan Mbok Jum -selaku ART rumah- berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wajah keduanya panik bukan main, apalagi ketika mendapati plester besar disalah satu lutut milik Sonnya.

"Kak, kenapa bisa gini? Kak Kav nggak anterin kakak pulang apa?" tanya Jingga bernada khawatir. Sonnya lantas menanggapi dengan senyuman tipis, terlalu sulit baginya untuk memberikan sebuah respon baik pada keduanya.

"Lutut kakak juga.. ya ampun, kak. Kakak nyusruk dimana, sih??" tanya Jingga masih bernada khawatir. Sungguh sedari tadi hanya Jinggalah yang heboh, berbeda sekali dengan Mbok Jum yang anteng disebelahnya sembari memperhatikan lutut berbalut plester itu ngilu.

Walaupun memang sudah diobati, namun nyatanya darah itu masih mengalir dari dalamnya. Membuat si empunya lutut mendesis menahan sakit kala luka itu terbuka kembali.

"Ya Tuhan, kak. Darahnya banyak banget, kita obati lagi ya didalam" ajak Jingga yang langsung dibalas gelengan pelan dari Sonnya.

"Nggak perlu Jingga, aku bisa sendiri. Nanti pas di kamar aku obati sendiri aja" tolak Sonnya secara halus, dia tentu tak mau merepotkan Jingga yang ada disini. Sebisa mungkin Sonnya harus melakukannya sendiri, dia juga tidak mau bergantung kepada siapapun yang ada disini. Termasuk Jingga, Mbok Jum dan tentunya.. Leon.

Kedua alis Jingga lantas menukik, arah pandangan matanya jelas terpancar sebuah ketidak setujuan. "Kak, tapi lutut kakak sakit. Lagipun kamar kakak ada dilantai atas, masa kakak nekat sih ke sana sendirian tanpa aku anter? Nggak papa ya, kak. Aku anterin aja sampe kamar, ya?" bujuk Jingga agar Sonnya mau untuk ditemani keatas, setidaknya sampai didepan pintu kamarnya.

Jingga jelas parno setengah mati, dia takut kalau-kalau terjadi sesuatu pada Sonnya. Terlebih lagi Sonnya adalah tunangan dari kakak angkatnya itu, ia tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada Sonnya. Orang pertama yang disalahkan atas semua kejadian itu sudah pasti dirinya.

Oleh karena itu, Jingga tetap bersikeras untuk membujuk Sonnya agar cewek itu mau naik bersama dengannya sekarang. "Cuma sampe depan kamar kakak aja, kok. Aku janji setelah itu mau langsung turun" kata Jingga, terdengar amat meyakinkan dikedua telinga Sonnya. Tapi lagi-lagi hanya penolakan lah yang Jingga dapatkan, Sonnya yang masih berdiri tegak dengan pendiriannya tetap ingin pergi keatas sendirian tanpa bantuan siapapun. Padahal lututnya sudah berdarah-darah kembali sekarang dan perlahan plester itu terlepas dari tempatnya.

"Nggak papa, Jingga. Nggak usah, aku bisa sendiri" kata Sonnya, tetap menolak seluruh bujukan milik Jingga barusan. "Kalo gitu aku ke kamar duluan, ya" pamitnya kemudian seraya menunjukkan senyum tipisnya.

Mau tak mau Jingga akhirnya pasrah, membiarkan Sonnya pergi sendirian masuk kedalam kamarnya dengan tertatih-tatih.

"Udah, nggak papa, mbak. Mbak Sonnya mungkin nggak mau merepotkan kita, jadi sebaiknya kita pantau saja dari sini" kata Mbok Jum ada benarnya juga.

Walaupun memang Jingga sudah menganggap Sonnya seperti kakaknya sendiri, mungkin bagi Sonnya situasi seperti ini masih terbilang canggung baginya. Bisa saja cewek itu masih memposisikan dirinya sebagai orang asing disini, itu semua memang bisa dimaklumi karena Sonnya juga baru satu hari tinggal di rumah ini bersamanya dan Leon.

"Iya, mbok" balas Jingga lesu sembari memperhatikan punggung kecil Sonnya dari sini penuh kewaspadaan. Takut-takut jika pijakan kaki cewek itu salah, maka bisa saja itu akan berakibat fatal bagi keselamatan Sonnya sendiri dan juga keselamatannya di rumah ini.

Don't Leave Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang