Tak ada yang menyangka akan menghadapi momen ini.
Cahaya pagi lembut menyapu seluruh ruang makan dari balik jendela-jendela berdebunya. Di sini berantakan oleh barang bekas pesta. Di tengah Revan bersama para sentinel dan petinggi-petinggi Benteng mengadakan rapat.
Ditemani suara HT di meja yang—sejak pagi buta—masih bergantian membunyikan kepanikan di luar. Salah satunya Gading yang terakhir bilang, sejak subuh buzz berterbangan di atas Benteng dan pasukan nampak berbaris di kejauhan.
Menunggu warga keluar.
Diara menuruni tangga kayu, disambut tatap semua orang. Tubuhnya sudah bugar setelah empat jam pingsan. Dengan tegap ia melewati para warga yang duduk di sisi ruang makan. Tersenyum ke mereka.
Dia melangkah ke meja tengah. Tak mau ketinggalan rapat penting itu. Saat sampai, ia disambut peluk Val, Prama dan yang paling erat adalah Revan. Ada Rigel juga yang melambai padanya.
"Hai," kata Revan. Wajahnya berpendar terkena cahaya pagi. "Gimana keadaanmu?"
Diara menghela napas. "Siap bertempur."
"Aku suka itu, Diara!" Rigel memberi jempol. "Rigel pun siap."
Prama menepuk punggung Rigel. "Santai, Baymax, kita perlu cari cara evakuasi dulu ya baru berantem."
Peta Benteng membentang di atas meja, disinari cahaya pagi. Revan dan Diara memelototi semua garis di sana, mencari jalan. Sementara Val mengarahkan beberapa orang untuk mengemas persediaan untuk kabur. Elena bersama dua orang lainnya menenangkan warga yang semakin panik.
Neo dan Skandar hanya diam di pinggir kerumunan. Bersyukur Revan belum punya waktu untuk menghajar mereka.
"Sudah kubilang tak mungkin lewat pintu belakang, ada pagar besi." Revan menyeka keringat di kening. "Lagipula pasukan itu mengitari kita."
"Pintu depan juga mustahil," sahut sentinel lain.
Diara berpikir keras, menatap lantai di dekat kakinya. "Lorong bawah tanah," katanya, kaget sendiri. "Semua gedung di sini punya lorong... semacam saluran air bawah tanah. Pasti tembus ke tengah kota."
Revan mengerutkan kening. "Tak ada petunjuk lorong di denah ini."
Seseorang berdehem. Itu Skandar, mendekat perlahan dengan wajah menahan panik. "Umm... aku tau lorong itu, ada—"
"Oh tidak, kau mau menjebak kami lagi?!" sahut Val di belakangnya. "Bedebah."
Skandar menghela napas. "Aku tau gedung ini melebihi kalian pendatang baru. Setidaknya, biarkan aku mencoba."
Meski kesal, Revan mengangguk. "Dua menit. Kalau tidak berguna, kulempar kau ke para Viator."
Lelaki kekar dan gondrong itu maju menuju denah Benteng. Dia menjelaskan dimana saja lokasi lorong dan jalan tembusnya. Dia melakukannya sambil menunjuk garis-garis hitam di peta yang menyebar ke berbagai arah.
Benteng dilalui lima lorong yang masing-masing menjauhi satu sama lain dan terus memanjang sampai keluar daerah Bundaran HI. Dia bilang tiga lorong memungkinan untuk dilewati karena dua lorong lainnya ditutup permanen, akibat runtuh di beberapa titik.
"Aku sempat berpikir menjadikan lorong-lorong ini jalan keluar darurat," tambah Skandar. "Tapi aku tak menyangka akan secepat ini membutuhkannya. Sudah kucoba tiga lorong itu. Agak sesak dan licin, tapi warga hanya perlu berjalan sekitar lima ratus meter lalu memanjat keluar. Itu cukup jauh dari pasukan."
"Boleh juga," sahut Diara tanpa melirik Skandar. "Tapi kita tak boleh menggiring warga di satu lorong yang sama. Agar tidak banyak korban kalau... ketahuan."
Dengan cepat ia melakukan simulasi evakuasi di otaknya. Menghitung berapa sentinel yang diperlukan, senjata yang perlu dibawa dan memperkirakan situasi terburuknya.
"Bagaimana di luar sana?" tanya Revan ke HT.
"Umm... mereka masih di posisi sama, tak mendekat," balas Gading dengan logat medok. "Buzz masih lewat. Mereka menunggu kita keluar."
Ting! Diara selesai mengatur semua di kepalanya. "Aku ada ide."
Semua orang di sekitar meja makan pun mendekat, termasuk Revan dan Skandar. Mendengarkan Diara, berharap ia bisa menyelamatkan semua.
***
Rasa takut seakan mencekik sampai ke dasar pikiran.
HT yang diletakkan di meja membunyikan laporan dari luar Benteng. Droid berbaris mengitari di kejauhan, seperti pagar supaya tak ada yang keluar hidup-hidup. Nampak pasukan Viator mendekat. Tiga puluh lebih alien putih bersisik itu membawa senapan, didampingi sederet wujud yang membangun kembali mimpi buruk.
"Ada robot aneh itu! Jumlahnya... belasan," kata Gading. "Capit mencuat dari punggung mereka."
Vixtron. Ya, Diara harus berhadapan dengan mereka lagi.
Sementara tim-tim yang sudah dibagi bersiap, Revan menghampiri Diara. Agak canggung saat Diara menatapnya balik. Keanehan yang sebelumnya terjadi masih terasa, tapi mereka akan bertarung seharian, Diara pun tak ragu memeluk Revan.
Revan langsung memeluk balik, memejamkan matanya. Merasakan hangat tubuh gadis itu. "Tenang saja, nanti sore kita sudah jauh dari sini."
"Oke." Dia mengusap tengkuk Revan. "Jaga diri. Kumohon."
Revan melepas pelukan. Menatap Diara dalam, tersenyum sedikit. "Kau juga."
"Kita bertemu kembali di titik aman. Janji?"
"Tentu." Revan mencium tangan Diara. "Ini tak akan lama."
Sekarang Prama menghampiri Diara, bertosan dan berpeluk sedetik. "Dee, kau baru saja mengirim empat puluh orang jalan lewat got. Semoga tak banyak tikus. Sampai jumpa di luar!"
Diara melihat tiga kelompok warga berjalan ke tiga arah berbeda, menuju pintu lorong berbeda. Masing-masing didampingi seorang sentinel dan dua orang bersenapan.
"Mereka mendekat," kata Gading. Terdengar suara kokangan senapan di sekitarnya. "Dua ratus meter."
Neo bersama sebagian sentinel dan warga yang mampu bertarung berkumpul di dekat tangga kayu, mempersiapkan senapan masing-masing. Tak lupa mengencangkan rompi anti peluru dan memasang granat di sabuk. Kemudian Diara bergabung dengan lima sentinel—Revan, Prama, Val dan dua lainnya. Mereka tak mengenakan pengaman apapun, hanya berbekal sepatu bot dan untuk Diara tentu saja dibalut jaket serta celana leather anti api miliknya.
Srrk! "Tim satu sudah masuk lorong."
"Tim dua juga."
"Tim tiga mulai menyusuri lorong. Air hanya semata kaki."
"Baiklah. Jangan membuat banyak suara," balas Revan. "Tetap dalam formasi dan setelah sampai di luar, berlindunglah di balik reruntuhan. Semoga berhasil. Kami akan berusaha sebaik mungkin di sini."
"Revan," panggil Neo. "Timku siap bergabung dengan tim Gading di luar."
Revanmengangguk lalu bicara ke HT. "Kita mulai. Sesuai rencana."
---
HI MY AWESOME READERS!! Akhirnya aku kembali dengan kelanjutan After The Third. Maaf yaa menunggu lama dan makasiiih banget kalian semua sudah bersabar :D
Warga Benteng sudah siap menghadapi para Viator. Mau tau gimana kelanjutannya? Scroll ke chapter selanjutnya yaa!! Cheers :D

KAMU SEDANG MEMBACA
After The Third
Science Fiction(Completed) Bumi tak menduga yang terjadi setelah Perang Dunia III. Spesies asing bernama Viator mendarat kembali di Bumi yang kini teradiasi dan penuh virus. Mereka memburu penduduk yang tersisa untuk memiliki Bumi sepenuhnya. Padahal dahulu merek...