Benteng, 2058
Aku Diara. Lama juga tak menulis seperti ini.
Apabila aku tak selamat, setidaknya kisah kami bisa dikenang.
Entah bagaimana memproses semua ini. Valerie bisa jalan lagi, Revan pulang dan kami selangkah lebih dekat untuk mengusir Viator. Aku tak pernah sebahagia sekaligus setakut ini. Kami akan membawa pertempuran ke penjajah.
Hari ini kami akan bersiap. Rencana dan senjata. Beberapa hari ke depan akan menjadi hari yang panjang.
Kalah atau menang, kami punya satu sama lain.
Diara bersama tiga sentinel andalannya—tak lupa Rigel—rapat pagi ini. Ditemani cahaya pagi yang perlahan meninggi, menyinari parkiran luas. Semua berkumpul mengitari meja.
Peta Jakarta membentang di atasnya dengan coretan-coretan silang merah, petanda menandakan kapal induk Viator. Prama dan Revan sedari tadi beradu argumen mengenai mana kapal induk yang memancarkan sinyal paling kuat.
"Kapal induk di Manggarai punya lebih banyak menara sinyal. Itu hanya sejam dari Benteng lama. Kurasa itu yang paling kuat di Indonesia," kata Revan. "Sanggup mengirim pesan ke semua kapal induk di dunia."
Prama menggaruk kepala. "Iya, Clark Kent, tapi seperti yang Rigel bilang tadi kapal itu memakai kubah blokade, yang merupakan..." Dia menepuk Rigel.
"Perisai energi yang mencegah benda tidak dikenal serta pihak yang tidak berwenang mendekati kapal induk," kata Rigel, melanjutkan. "Dikendalikan oleh menara penjagaan."
"Apa yang terjadi kalau ada yang mendekati perisainya?" tanya Val.
"Minimal terpental," balas Prama. "Paling fatal bisa... boom!"
Diara melipat tangan di dada. "Kita bisa hancurkan menara penjagaannya dulu."
"Sist, kita bicara soal kapal induk. In-duk! Ada alasannya ia disebut induk."
"Pram, kita tak selemah kelihatannya." Dia membaca daftar senjata. "Kita punya lebih dari selusin C4, dua 50 cal, senjata rahasia Prama dan lainnya. Neo bersama Levi sedang mencari jet curian. Gading dan Kindrax sedang membuat granat konvensional. Kita tidak super, tapi cukup."
"Btw, Kindrax jago banget," sahut Val. "Granatnya akan keren."
Prama menghela napas. "Kalau gitu kita butuh banyak eskplosif."
"Tentu." Diara tersenyum. "Kita akan ajak Viator berpesta."
***
Ada sesuatu yang berbeda.
Terasa pancaran emosi yang berbeda dari para warga saat Diara meminta mereka berkumpul di aula tengah. Seakan mereka sangat takut, sangat takut Bumi sungguhan direbut, membuat mereka justru ingin bertarung.
Diara berdiri tegap, meski jantungnya berdegup secepat jet. Dia tak percaya akan berdiri di sini, sebagai pemimpin Benteng yang akan mengumumkan pertarungan besar. Tak sampai setahun lalu dia hanya gadis penakut, berlarian di kota mati mengais makanan, menangis setiap malam. Hanya bermimpi bisa melawan musuh sekuat Viator.
Sekarang ia bisa mengubah mimpi menjadi sebuah rencana.
Semua berdiri di aula, menghadap Diara yang berdiri di atas meja pendek. Rambut merahnya berkilauan disapu cahaya dari barisan jendela. Semua warga ada, bahkan bayi berpipi merah muda di pelukan Elena itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
After The Third
Science Fiction(Completed) Bumi tak menduga yang terjadi setelah Perang Dunia III. Spesies asing bernama Viator mendarat kembali di Bumi yang kini teradiasi dan penuh virus. Mereka memburu penduduk yang tersisa untuk memiliki Bumi sepenuhnya. Padahal dahulu merek...