"Astaga! Kak Sonnya, kakak kenapa?!!"
"Ya Tuhan, mbak. Mbak kenapa?!!"
Pekikan itu seketika langsung terdengar ketika Sonnya baru saja membuka gerbang rumah milik Leon barusan. Dari tempatnya berdiri dia dapat melihat Jingga dan Mbok Jum -selaku ART rumah- berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wajah keduanya panik bukan main, apalagi ketika mendapati plester besar disalah satu lutut milik Sonnya.
"Kak, kenapa bisa gini? Kak Kav nggak anterin kakak pulang apa?" tanya Jingga bernada khawatir. Sonnya lantas menanggapi dengan senyuman tipis, terlalu sulit baginya untuk memberikan sebuah respon baik pada keduanya.
"Lutut kakak juga.. ya ampun, kak. Kakak nyusruk dimana, sih??" tanya Jingga masih bernada khawatir. Sungguh sedari tadi hanya Jinggalah yang heboh, berbeda sekali dengan Mbok Jum yang anteng disebelahnya sembari memperhatikan lutut berbalut plester itu ngilu.
Walaupun memang sudah diobati, namun nyatanya darah itu masih mengalir dari dalamnya. Membuat si empunya lutut mendesis menahan sakit kala luka itu terbuka kembali.
"Ya Tuhan, kak. Darahnya banyak banget, kita obati lagi ya didalam" ajak Jingga yang langsung dibalas gelengan pelan dari Sonnya.
"Nggak perlu Jingga, aku bisa sendiri. Nanti pas di kamar aku obati sendiri aja" tolak Sonnya secara halus, dia tentu tak mau merepotkan Jingga yang ada disini. Sebisa mungkin Sonnya harus melakukannya sendiri, dia juga tidak mau bergantung kepada siapapun yang ada disini. Termasuk Jingga, Mbok Jum dan tentunya.. Leon.
Kedua alis Jingga lantas menukik, arah pandangan matanya jelas terpancar sebuah ketidak setujuan. "Kak, tapi lutut kakak sakit. Lagipun kamar kakak ada dilantai atas, masa kakak nekat sih ke sana sendirian tanpa aku anter? Nggak papa ya, kak. Aku anterin aja sampe kamar, ya?" bujuk Jingga agar Sonnya mau untuk ditemani keatas, setidaknya sampai didepan pintu kamarnya.
Jingga jelas parno setengah mati, dia takut kalau-kalau terjadi sesuatu pada Sonnya. Terlebih lagi Sonnya adalah tunangan dari kakak angkatnya itu, ia tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada Sonnya. Orang pertama yang disalahkan atas semua kejadian itu sudah pasti dirinya.
Oleh karena itu, Jingga tetap bersikeras untuk membujuk Sonnya agar cewek itu mau naik bersama dengannya sekarang. "Cuma sampe depan kamar kakak aja, kok. Aku janji setelah itu mau langsung turun" kata Jingga, terdengar amat meyakinkan dikedua telinga Sonnya. Tapi lagi-lagi hanya penolakan lah yang Jingga dapatkan, Sonnya yang masih berdiri tegak dengan pendiriannya tetap ingin pergi keatas sendirian tanpa bantuan siapapun. Padahal lututnya sudah berdarah-darah kembali sekarang dan perlahan plester itu terlepas dari tempatnya.
"Nggak papa, Jingga. Nggak usah, aku bisa sendiri" kata Sonnya, tetap menolak seluruh bujukan milik Jingga barusan. "Kalo gitu aku ke kamar duluan, ya" pamitnya kemudian seraya menunjukkan senyum tipisnya.
Mau tak mau Jingga akhirnya pasrah, membiarkan Sonnya pergi sendirian masuk kedalam kamarnya dengan tertatih-tatih.
"Udah, nggak papa, mbak. Mbak Sonnya mungkin nggak mau merepotkan kita, jadi sebaiknya kita pantau saja dari sini" kata Mbok Jum ada benarnya juga.
Walaupun memang Jingga sudah menganggap Sonnya seperti kakaknya sendiri, mungkin bagi Sonnya situasi seperti ini masih terbilang canggung baginya. Bisa saja cewek itu masih memposisikan dirinya sebagai orang asing disini, itu semua memang bisa dimaklumi karena Sonnya juga baru satu hari tinggal di rumah ini bersamanya dan Leon.
"Iya, mbok" balas Jingga lesu sembari memperhatikan punggung kecil Sonnya dari sini penuh kewaspadaan. Takut-takut jika pijakan kaki cewek itu salah, maka bisa saja itu akan berakibat fatal bagi keselamatan Sonnya sendiri dan juga keselamatannya di rumah ini.
~~°~~
Setelah sekian lama Sonnya menaiki anak tangga rumah dengan penuh kehati-hatian, cewek itu akhirnya sampai juga masuk kedalam kamarnya. Sonnya lantas melempar tas sekolahnya asal dan langsung berjalan menuju salah satu rak disebelah meja belajarnya, yang dimana dalam salah satu laci rak tersebut tersimpan sebuah kotak P3K untuk mengobati luka di lututnya ini.
Perlahan Sonnya berbalik, menuju ke arah ranjang miliknya. Gadis itu lantas mendudukkan dirinya penuh perkiraan, karena salah sedikit ia bergerak, rasa sakit di lututnya sungguh tidak main-main. Sonnya mendesis kala kapas yang sudah ia beri dengan alkohol itu bertemu lukanya, ini menyakitkan tapi sebisa mungkin Sonnya tahan.
Dalam diamnya, pikiran Sonnya malah berkelana pada kejadian beberapa jam lalu. Tepatnya dimana ketika Putra tengah serius mengobati lukanya. Lelaki itu hanya diam, enggan mengeluarkan sepatah katapun pada dirinya, Putra begitu telaten mengobatinya pada waktu itu.
***
"Lo kok hobi banget diem, sih?" tanya Sonnya pada cowok itu. Alih-alih menjawab, Putra masih saja diam ditempatnya. Ia hanya fokus dengan luka di bagian lutut milik Sonnya.
"Putra" panggil Sonnya, membuat kepala Putra yang tadinya menunduk menjadi mendongak, guna menatap mata cewek itu. "Kenapa lo suka bawa kamera kemana-mana?" tanyanya kemudian. Pasalnya tidak pernah sekalipun Sonnya melihat laki-laki itu melepaskan kamera yang mengalung pada lehernya, mau di manapun itu sepertinya Putra tidak akan melepaskan kamera kecil itu dari lehernya.
"Suka aja" balas Putra sepantasnya. Sonnya hanya bisa mengangguk setelahnya, ia juga bingung ingin berbicara apalagi pada cowok itu.
Putra lebih dingin daripada Leon, cowok itu juga lebih datar daripada Leon. Membuat dia bingung sendiri ingin memulainya seperti apa terlebih dahulu.
Menit demi menit terus berlalu, Putra selesai dengan aktivitasnya. "Selesai, tapi gue nggak yakin kalo plesternya bisa awet. Luka lo dalem banget ternyata" ucapnya sedikit ragu.
Sonnya mengangguk, tidak mempermasalahkan hal itu lebih lanjut. Senyuman gadis itu mengembang setelahnya, menatap Putra dengan binar mata cerahnya itu.
"Nggak papa. Makasih, Putra" ujar Sonnya, masih mempertahankan senyum diwajahnya.
Putra balas mengangguk, ia lantas mengeluarkan ponsel yang membuat salah satu alis Sonnya terangkat bingung. "Lo lagi ngapain?" tanya cewek itu bingung, karena Putra nampak serius sekali dengan ponsel dalam genggamannya.
"Cariin lo taksi online. Gue nggak mungkin anterin lo pake motor" jelas Putra cepat dan Sonnya hanya bisa mengangguk samar.
"Itu taksi online lo" Putra berujar setelah sebuah mobil sedan berwarna hitam itu mengarah menuju ke arah keduanya.
"Dengan mas Putra Anggara?" tanya pria paruh baya itu, langsung dibalas anggukkan dari Putra.
"Iya, pak" balasnya ramah, beda seratus delapan puluh derajat ketika cowok itu berbicara pada Sonnya barusan. "Anterin teman saya ya, pak. Arah tujuannya ngikut dia aja, pak, biar saya yang bayar" ucap Putra pada pria itu.
"Siap, baik mas kalo kayak begitu"
"Makasih ya, Putra" kata Sonnya, mengucapkan terimakasih kepada Putra karena kebaikan cowok itu padanya.
****
Senyuman Sonnya lantas mengembang kala kejadian itu terputar lagi dalam otaknya. Cewek itu tidak bisa mendefinisikan bagaimana seorang Putra dengan baik, namun satu yang baru Sonnya sadari. Putra itu memang cueknya luar biasa, tetapi hatinya begitu lembut bak kapas.
"Andai aja gue tunangannya sama Putra, pasti bahagia banget" gumam Sonnya. Berkali-kali gadis itu berpikir, jika saja yang menjadi tunangannya adalah Putra. Hidupnya pasti akan jauh lebih bahagia daripada sekarang, hidup dengan Leon baginya hanyalah sebuah kesengsaraan.
Selesai dengan aktivitasnya, Sonnya lalu menidurkan dirinya diatas kasur. Dia menatap langit-langit kamarnya menggunakan tatapan menerawang jauh. Entah kenapa ketika ia kepikiran dengan Leon, pikirannya malah balik tertuju pada laki-laki itu.
Dalam diamnya, Sonnya dibuat bertanya-tanya. Sampai waktu kapan dia akan keluar dari rumah ini?
Karena sungguh, Sonnya sebenarnya tidak tahan kalau harus berlama-lama disini. Entah kenapa saat melihat wajah Leon setiap hati, hatinya mendadak nyeri. Dia sakit dan juga takut secara bersamaan.
Lama termenung, perlahan kantuk mulai datang mendatanginya. Sonnya mengantuk sekarang. Membuat kedua matanya memberat dan kemudian menutup rapat, pada akhirnya Sonnya hanya bisa menjemput mimpinya sekarang.
~~°~~
Arah jarum jam kini menunjukkan pukul 19.00 WIB dan sekarang Leon bersama Jingga sedang berada diruang makan rumah. Mereka berdua sedang makan malam sekarang, hanya ada mereka berdua tidak ada Sonnya sama sekali. Leon jelas tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena menurutnya itu bukan urusannya sama sekali. Jadi Leon hanya perlu abai untuk keberadaan cewek itu.
Ditengah-tengah bunyi antara sendok dan piring yang saling bertemu, Mbok Jum dengan nampan yang ada ditangan datang kearah mereka. Wanita paruh baya itu lantas mengambil piring dan diletakkan diatas nampan, dilanjut dengan kegiatan mengisi piring tersebut menggunakan nasi beserta lauk pauknya.
Leon yang melihat itu lantas menaikkan salah satu alisnya bingung. Untuk siapa Mbok Jum menyiapkan semua itu?
"Buat siapa?" tanya Leon datar setelah ia berhasil menelan sempurna nasi dalam mulutnya.
"Buat mbak Sonnya, mas" kata Mbok Jum memberi tahu.
Mendengarnya kerutan di dahi Leon terukir jelas. "Kenapa sama dia?" tanya Leon kembali, dari nada suaranya jelas terdapat sebuah keheranan. Pasalnya ketika disekolah tadi, cewek itu baik-baik saja.
"Lututnya luka, kak. Tadi sepulang sekolah mungkin kak Sonnya jatuh" jawab Jingga cepat. Kepala Leon menoleh, menaruh pandangan sepenuhnya pada Jingga.
"Baru luka dilutut, kan?" lagi-lagi Leon bertanya, namun kali ini suaranya terdengar berbeda. "Panggil dia ke sini kalo dia mau makan" katanya tegas.
"Hah? Nggak bisa gitu dong, kak Sonnya masih kesakitan. Lututnya berdarah" bantah Jingga, tidak menyetujui ucapan kakak sambungnya barusan.
"Gue nggak mau tahu, panggil dia kalo dia memang mau makan malam sekarang. Di sini nggak ada yang manja!" tukasnya tak kalah tegas dari yang sebelumnya.
"Tapi kali ini beda, kak. Kak Sonnya bener-bener sakit, lututnya tadi berdarah. Dia nggak bisa ke sini, makanya itu gu-"
"Lo nyuruh dia buat ngebawain makanannya ke sana, kan?" potong Leon tepat sasaran. "Lututnya baru berdarah, bukan misah dari tempatnya. Kakinya masih berfungsi dengan normal, belum lumpuh sepenuhnya. Jadi nggak usah lebay, seolah dia nggak bisa ngapa-ngapain sekarang"
Tatapan tajam itu jelas membuat nyali Jingga menciut seketika. Dia kalah beradu argumen bersama Leon, sebagai orang asing dimata kakaknya itu Jingga tentu tak ada hak di rumah ini. Menentang pun itu sepertinya adalah hal sia-sia. Leon itu keras kepala, hampir seluruh omongannya tak pernah terbantahkan oleh siapapun.
"Panggil dia sekarang dan suruh dia ke sini sendiri buat ambil makanannya" perintah dingin Leon pada pembantunya itu.
Tak ada pilihan lain bagi Mbok Jum sekarang selain menurut. Wanita berusia sekitar 66 tahun itu mengangguk samar dan kemudian berjalan pergi ke arah kamar milik Sonnya.
Selepas kepergian Mbok Jum, Leon dengan santai mulai menyuapkan nasinya kembali kedalam mulut. Berbeda dengan Jingga yang kini sedang menatap kakaknya dengan tatapan tak terbaca, dia marah dan kecewa dalam satu waktu yang bersamaan. Leon begitu kejam karena tidak bisa mengerti sedikit saja penjelasannya barusan. Tetapi apa boleh buat, berdebat bersama Leon jelas tidak ada artinya. Semuanya akan sia-sia, waktunya hanya akan habis tanpa memiliki makna yang berarti.
Beberapa menit berlalu, Sonnya yang dibantu berjalan bersama Mbok Jum akhirnya datang juga ke ruang makan rumah ini. Pandangan Leon lantas langsung bertemu dengan manik indah gadis itu, tidak ada artian berarti dalam sorot mata yang Leon berikan. Semuanya hanyalah kehampaan, cowok itu memandangnya datar tanpa makna yang jelas sama sekali.
"Liat kan, dia masih bisa berdiri. Lantas kenapa Mbok Jum harus lo suruh buat ngebawain makanannya ke sana? Mau minta dimanja dia, hah?" tanya Leon sinis kepada Jingga.
"Nggak, kak. Gue cuma mau mempermudah kak Sonnya, susah bagi dia untuk jalan ke sini, dia harus nahan sakit dulu" yang dikatakan oleh Jingga memang benar. Untuk dapat berjalan kemari tentu membutuhkan waktu yang begitu banyak, juga energi. Rasa sakit pada area lututnya akan sangat terasa ketika dia mencoba mengayunkan kedua kakinya untuk berjalan.
"Cih, hanya orang-orang lemah yang mikir kayak gitu. Di sini, nggak boleh ada siapapun yang lemah. Termasuk elo" jari telunjuk Leon terangkat kearah Sonnya, tatapannya kian sinis membuat seluruh tubuh Sonnya meremang. "Lo cuma orang asing di sini, jadi jangan pernah lo mengharapkan sebuah perlakuan istimewa di sini" tandas Leon begitu kejam. Dia seakan tak memperbolehkan seseorang untuk merasakan sebuah kesakitan.
Kalimat panjang itu jelas membuat hati Sonnya teriris nyeri, dia tidak bisa berbuat apapun selain mengangguk. Mengiyakan semua yang Leon ucapkan barusan, seharusnya memang seperti itu. Dari awal kedatangannya kemari, atau sebelum kedatangannya kemari, Leon sudah menolak secara habis-habisan dirinya. Seharusnya pula Sonnya paham jika hadirnya memang tak diterima disini, lebih tepatnya dihadapan mata Leon. Maka Sonnya juga seharusnya paham, bahwa semua perlakuan yang ditunjukkan di rumah ini tak sepantasnya pula ia terima.
"Maaf Leon" cicit Sonnya lirih, tak ada kata lain yang bisa gadis itu suarakan kepada Leon, dirinya hanya bisa pasrah tanpa bisa berucap apapun lagi.
~Tbc~