Waktu yang selama satu tahun terbuang karena pertengkaran dingin memang tidak bisa dikembalikan. Mereka telah membuang satu tahun hanya untuk menelan keegoisan masing-masing.
Namun tidak ada yang menyesalinya. Karena dari pertengkaran itu mereka bisa belajar lebih mengerti satu sama lain. Kini, keempatnya tampak lebih dekat dibandingkan biasanya.
Tadi malam mereka menghabiskan waktu sampai larut malam dengan cemilan dan beberapa botol soju serta obrolan tentang satu sama lain yang sempat mereka simpan karena pertengkaran itu.
Hingga pukul 2 dini hari mereka memilih tidur di satu ranjang. Berniat untuk bangun lebih siang lalu pergi menghabiskan waktu di luar sepanjang hari.
Tapi niat untuk bangun terlambat sepertinya tidak bisa Jisoo lakukan ketika dia sangat terganggu dengan suara dering ponsel di meja nakas. Karena posisinya yang ada di pinggir ranjang membuat Jisoo terkena dampak dari suara benda pipih itu dibandingkan ketiga saudaranya yang lain.
Membuka matanya dengan terpaksa, Jisoo meraih ponsel itu dan berusaha melihat siapa si penelepon. Ketika melihat nama yang tertera, Jisoo baru menyadari bahwa itu bukan ponselnya.
Lee 팀장님👮 is calling...
Mendadak rasa kantuk dalam diri Jisoo hilang sepenuhnya. Di kepala gadis itu penuh akan pertanyaan mengapa hari libur adiknya harus di ganggu.
Jisoo paham jika panggilan itu tentu akan merusak hari libur adiknya. Ingin sekali Jisoo menjadi egois dan berniat mematikan ponsel milik Lisa. Tapi jika Lisa tahu, mereka pasti akan kembali berdebat. Terlebih Jisoo sudah berjanji akan mendukung Lisa sepenuhnya dalam kasus kali ini.
Menghela napas kasar, Jisoo beranjak bangun dan mulai menyentuh lengan Lisa. Berusaha membangunkan adiknya dengan lembut.
"Lisa-ya, bangunlah."
Tidur Lisa mulai terusik. Melihat kakaknya yang menyerahkan ponsel, Lisa berusaha terbangun dan menerima panggilan itu dengan mata masih memejam.
Ketika mendengar kalimat yang ketua timnya lontarkan, Lisa mulai mengerutkan kening. Seakan Lisa tidak setuju dengan ucapan itu.
"Tapi Timjangnim---" Suara Lisa tampak terputus. Dia kembali mendengarkan dengan seksama kalimat yang Lee Myungsoo berikan melalui sambungan telepon itu.
"Arraseo." Tidak ada bantahan, Lisa seperti menerima dengan paksa sebuah perintah.
Dengan lemas dia menurunkan ponselnya, lalu menatap Jisoo yang sedang melipat kedua tangannya di dada.
"Unnie, aku harus pergi ke kantor polisi sekarang. Timjangnim ingin membahas sesuatu mengenai kasus itu." Benar dugaan Jisoo, jika hari libur adiknya akan diganggu.
"Kita sudah berjanji akan pergi bersama, Lisa-ya." Jisoo tidak bisa menerima bahwa janji mereka harus batal.
Setelah sekian lama tidak menghabiskan waktu di akhir pekan bersama, ini adalah hal bahagia yang sudah Jisoo nantikan sedari lama. Seharusnya Lisa paham dan perintah atasannya sekali saja.
"Lagi pula itu hanyalah rapat. Kenapa dia memerintahkanmu seakan tidak da hari esok?" Jisoo mulai mendumal.
Lisa sendiri merasa bersalah pada Jisoo dan kedua kakaknya yang lain jika membatalkan janji mereka. Namun ketua timnya bilang bahwa rapat ini tidak bisa ditunda karena esok mereka harus turun ke lapangan secara langsung. Mereka sudah bertekad untuk menyelesaikan kasus rumit ini lebih cepat.
"Mianhae, Unnie. Tolong sampaikan maafku pada mereka jika bangun nanti." Dan kali ini, Lisa memilih tugasnya dibandingkan menghabiskan waktu bersama ketiga kakaknya. Lisa hanya bisa berdoa, jika dia tidak akan menyesalinya di kemudian hari.
..........
Penjelasan-penjelasan yang Lee Myungsoo lontarkan nyatanya seperti angin berlalu untuk Lisa. Dia tidak terlalu menyimaknya karena sedari tadi sibuk merasakan sakit pada perutnya.
Sepanjang hari kemarin dia memang belum memakan sesuap nasi pun karena harus berangkat pagi-pagi sekali ke kantor polisi dan pulang di sore hari ketika dia dan ketiga kakaknya hendak pergi ke rumah orang tua mereka.
Saat malam tiba, dia hanya memakan beberapa suap ramyeon dan minum terlalu banyak soju. Kini dia mulai menyesali perbuatannya yang tidak menjaga kondisi tubuh dengan baik. Padahal akhir-akhir ini dia sangat sibuk dan harus tetap sehat.
"...... Dari keenam mayat, semuanya kehilangan jari kelingking mereka." Barulah saat kalimat itu terdengar, Lisa mulai tertarik dengan penjelasan Lee Myungsoo.
Bukan lagi sakit pada perutnya, Lisa kini merasa kepalanya yang berdenyut. Mereka baru saja mengambil alih kasus pembunuhan berantai itu. Tidak banyak yang mereka tahu karena belum mencari tahu terlalu dalam. Setiap hal baru yang mereka ketahui, tentu membuat rasa terkejut tidak bisa terelakkan.
"Jika dilihat dari pekerjaannya yang sangat bersih, aku curiga bahwa dia bukan dari kalangan biasa." Celetuk Lee Dawon dan di angguki oleh semua anggota.
Lisa juga berpikir demikian. Pembunuh yang mereka hadapi pasti bukan penduduk kalangan biasa. Mengingat orang itu bisa menghilangkan barang bukti dengan begitu baik. Termasuk semua kamera pengawas yang dia rusak melalui program.
Semakin dalam mereka menggali, Lisa bisa menyimpulkan bahwa kasus ini memanglah amat berat. Jika benar bahwa pelaku pembunuhan berantai itu adalah bagian dari orang penting di negara ini atau bukan dari kalangan biasa, bisa dipastikan bahwa mereka mencari petaka sendiri.
Lisa mulai paham mengapa Jisoo sampai marah besar saat mengetahui bahwa Lisa mengambil alih kasus ini.
Dia bisa mengerti perasaan Jisoo, karena saat ini pun dia memiliki ketakutan itu dalam dirinya.
Bukan tentang seberapa bahaya kasus itu untuk dirinya sendiri. Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu pada Jisoo? Biar bagaimana pun, kakaknya lebih lama menangani kasus ini. Pelaku itu pasti sudah tahu bahwa perbuatannya telah tercium dan menandai Jisoo sebagai Jaksa penyidik kasusnya.
"Dugaanku untuk sekarang, pelaku itu memiliki pekerjaan di dunia medis. Karena jahitan pada luka korban cukup rapih." Lee Myungsoo mulai mengambil kesimpulan.
Berbeda dengan Lisa yang tidak bisa mengambil kesimpulan apa pun. Karena petunjuk yang mereka miliki masihlah abu-abu. Jika menyimpulkan melalui ciri-ciri mayat, bukankah tidak terlalu akurat? Lagi pula siapa saja bisa belajar menjahit luka dengan benar. Lisa sendiri pernah belajar melalui Chaeyoung.
Lisa mulai sakit kepala dengan kasus ini. Bisakah mereka menyelesaikan kasus ini dengan cepat? Lisa menjadi tidak yakin karena dia dan ketiga rekannya tidak memiliki pengalaman seberat ini. Mereka hanya bergantung pada Lee Myungsoo sebagai pemandu.
"Aku permisi ke toilet sebentar." Lisa hendak bangkit, namun lengannya dengan cepat di tahan oleh Han Luda.
"Waeyo? Kau sakit perut lagi?" Luda bertanya dengan khawatir.
Hanya menjawab dengan anggukan singkat, Lisa melepaskan tangan Luda dengan lembut dari lengannya dan melanglah pergi.
"Dia sakit?" Choi Seungcheol bertanya.
"Dia memang sering seperti itu. Aku pikir dia memiliki gangguan pencernaan. Terlebih setelah kita mendapatkan kasus ini dan tidak bisa makan dengan benar." Ucapan Luda membuat ketiga pria disana mengangguk paham.
Belakangan memang mereka tidak bisa makan dan tidur dengan baik. Kadang kala, bahkan mereka hanya memakan mie instan dan pernah sekali tidak sempat memakan apa pun selama satu hari.
Mungkin untuk Lee Myungsoo, ini adalah hal biasa mengingat dia menjadi polisi sejak puluhan tahun lalu. Tapi bagi bawahannya, ini adalah hal baru.
Sedampainya di toilet, Lisa mulai mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi bergetar di saku celana. Lisa pikir yang menghubunginya adalah salah satu gadis Hwang. Maka dari itu dia memilih tempat yang sedikit tenang untuk menerima telepon. Tapi pemikirannya salah.
Krystal 언니 is calling...
Lisa sempat ragu untuk menjawab panggilan Krystal. Sudah lama sekali dia tidak berhubungan dengan kakak sepupunya itu. Hubungan mereka memang tidak bisa dibilang baik, karena pernah bertengkar cukup hebat. Setelahnya, mereka menjadi canggung satu sama lain.
Meletakkan ponsel itu di samping wastafel, Lisa merogoh sesuatu yang lain di dalam jaketnya. Dia membuka sebuah tabung kecil dan mendapatkan satu pil dari sana lalu menelannya tanpa bantuan air.
Mata cokelatnya masih terus memandangi layar ponsel yang kini telah mati karena panggilan dari Krystal sudah berakhir. Namun tidak bertahan lama karena panggilan itu kembali muncul.
Krystal tidak pernah menghubunginya sebanyak ini. Lisa pikir ada hal penting yang hendak Krystal sampaikan, maka dengan ragu dia memilih menerima panggilan itu.
"Nde." Lisa menyapa dengan singkat.
"Apa kau sibuk? Bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku sampaikan." Krystal bicara seakan mereka tidak pernah memiliki masalah.
"Kau bisa bicara melalui ponsel."
Lisa bisa mendengar bahwa kini Krystal tengah membuang napasnya dengan kasar. Apakah Lisa sudah keterlaluan terhadap kakak sepupunya itu?
"Aku akan menemuimu nanti malam di toko bungamu." Ucap Lisa akhirnya dan memutuskan panggilan itu secara sepihak.
Meletakkan ponselnya dengan kasar, Lisa mulai menyalakan kran wastafel dan membasuh wajahnya. Semoga ssja tidak ada lagi pertengkaran di antara mereka seperti beberapa tahun silam.
.........
Keraguan kembali hinggap pada hati Jisoo. Apakah keputusannya untuk menyetujui keikut sertaan Lisa pada kasusnya memang sudah benar? Karena belum genap satu bulan saja, waktu adiknya sudah terkuras begitu banyak. Bahkan Lisa berani membatalkan janji mereka untuk pergi jalan-jalan hari ini.
"Aku tidak melihat Lisa. Kau menyuruhnya membeli sesuatu di luar, Unnie?" Jennie datang ke dapur dengan masih memakai piyama tidur. Hanya saja wajahnya sudah lebih segar dan ada sedikit tetes air.
"Aniya. Dia pergi bekerja." Jisoo menjawab sembari membawa beberapa makanan untuk diletakkan pada meja makan.
"Mwo? Kita ingin pergi, mengapa dia bekerja? Lagi pula ini hari minggu." Sudah Jisoo duga, bahwa Jennie akan melayangkan protes itu.
Jisoo sendiri masih merasa kesal dengan Lisa. Janji ini lebih dulu ada dibandingkan jadwal rapat dadakan yang Lisa hadiri. Haruskah Jisoo kembali menggunakan namanya sebagai Jaksa untuk mengatur jadwal Lisa? Ah, jika Lisa mengetahui ini pasti adiknya itu akan marah.
Sekarang, Jisoo bingung harus menggunakan alasan apa agar Jennie tidak marah pada Lisa. Jika saja Jennie tahu Lisa kini sedang terlibat dengan kasus rumit, apa kira-kira reaksi gadis itu?
"Jennie-ya, kita pergi bertiga---"
"Unnie!" Teriakan itu hadir bersama dengan Chaeyoung yang tampak terburu-buru memakai mantelnya.
Jisoo dan Jennie yakin bahwa adik mereka itu baru saja selesai mandi. Tapi bukannya pergi menuju meja makan, Chaeyoung justru melangkah cepat meraih sepatunya yang ada di rak.
"Mianhae, aku tidak bisa pergi bersama kalian. Temanku kecelakaan dan aku harus menggantikannya bertugas di IGD karena kekurangan orang. Sampaikan maafku juga pada Lisa, eoh?"
Tanpa menungu jawaban dari kedua kakaknya, Chaeyoung pergi begitu saja dengan penampilan berantakan. Jennie dan Jisoo hanya bisa menghela napas kasar.
"Kita pergi lain kali saja, Unnie." Jennie terduduk di meja makan dengan lesu.
"Hm. Kau benar." Jisoo menanggapi.
Sulung Hwang itu meletakkan semangkuk nasi di hadapan Jennie lalu duduk di samping adiknya. Entah apa yang akan mereka lakukan hari ini, Jisoo tidak memiliki ide.
Hubungannya dan Jennie baru saja membaik tadi malam. Jujur saja, masih ada rasa canggung pada diri Jisoo karena sudah lama tidak memiliki hubungan baik dengan Jennie.
Baru saja hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, sebuah tangan mulai mengusap pipi Jisoo yang sejak pagi terasa nyeri.
"Benar. Pipimu menjadi memar." Jennie berujar dengan suara lirih.
Rasa sesak yang semula hilang, kini mulai hadir kembali menemaninya. Jennie sendiri merasa tidak berguna sebagai adik, karena semalam tidak mampu melindungi kakaknya.
"Jennie-ya, tidak apa---"
"Unnie, bisakah untuk berhenti berkata kau baik-baik saja? Aku ada disini. Kembali bersamamu, bukan untuk melihat sandiwaramu! Tidak bisakah kau mengeluh sedikit saja?" Napas Jisoo tercekat saat Jennie mulai membentaknya.
Di antara ketiga adik Jisoo, memang Jennie yang sering memperlihatkan emosinya secara langsung. Terakhir kali mendapat bentakan Jennie, Jisoo sangat ingat kejadiannya adalah satu tahun lalu.
Namun bentakan kali ini berbeda. Jika dulu Jennie melontakan amarah karena merasa Jisoo ikut andil dalam luka yang di dapat Lisa, tapi kali ini bentakan itu berupa kekhawatiran Jennie terhadap Jisoo.
"Jika kau berkata jujur, dunia tidak akan hancur. Jadi untuk apa kau berbohong?" Jennie sesungguhnya sudah muak dengan ketegaran yang Jisoo tampilkan.
Selama 1 tahun dirinya memang berusaha tidak peduli pada Jisoo. Tapi usaha itu tidaklah membuahkan hasil. Dia terlalu menyayangi Jisoo hingga hanya bisa menahan kepedulian itu tidak mencuat keluar.
Selama ini, dia tahu bahwa sesungguhnya Jisoo pun sakit dengan perlakuan orang tua mereka. Tapi dengan bodohnya Jisoo selalu berkata baik-baik saja di depan ketiga Hwang.
"Dunia memang tidak hancur. Tapi hati ketiga adikku yang akan hancur ketika melihatku terpuruk." Ucapan Jisoo mampu membuat bibir Jennie mengatup.
Benar. Ketiga gadis Hwang memang sangat menyayangi kakak mereka walau tidak begitu terlihat. Mendapati Jisoo terpuruk sama saja meghancurkan hati mereka.
"Jennie-ya, aku bisa menerima semua rasa sakit. Asal itu bukanlah kesakitan adikku sendiri." Meraih tangan Jennie, ia mengusapnya dengan lembut.
"Seribu pedang tidak apa-apa jika ingin menusukku. Asal kau tetap disini dan aku bisa menggenggammu."
Jennie mendongak, ketika air matanya berusaha keluar. Gadis itu tidak bisa berkata apa pun karena saat ini merasa merah pada dirinya sendiri. Kenapa dia bisa pergi dari Jisoo selama 1 tahun ini? Ucapan Chaeyoung malam itu nyatanya benar. Dibandingkan mereka, luka milik Jisoo jauh lebih besar.
Tangerang, 15 Desember 2024
Note.
Sesuai janjiku karena minggu kemarin rame.
Btw, jangan semangat ya. Besok hari senin soalnya.🌪