抖阴社区

Time

By kurangaqua

300K 59.4K 24.4K

Waktu adalah sebuah rahasia langit. Tapi yang pasti, waktu tidak akan terus berputar. Ada kalanya suatu saat... More

0. One Night
1. Saturday Night
2. Reason
3. Blue Rose
4. Distance
5. Curiosity
6. Complicated Case
7. Noisy Day
8. Refrain
9. Altruistic
10. Glimpse
11. Fix It
12. Precious
13. Pray
14. Bad Dinner
15. Beautiful Pain
16. Failed
17. Reject
18. Case
19. Threat
20. Talking
21. Gelato
22. Disappointed
23. Worried
24. Puddles
25. Bad Situation
26. Complicated
27. Evidenced
28. Problem Solving
29. Kneel
30. Warm Hug
31. Summer Rain
32. Ignore
33. Overtime Work
34. Lies
35. Negotiation
36. Uncomfortable
37. Need Each Other
38. Not Visible
39. Future
40. Coordinate Point
41. Doom
42. Exiled
43. Hard
44. Realize
45. Memories
46. Blood
47. First Snow
48. Begging
49. Severely
50. Regret
51. Downpour
52. Lean On
53. Chase
54. Priceless
55. Last October
56. End of Beginning
57. First January
58. Yellow
59. Revolving
60. Drowning
61. Afraid
62. Winter
63. Sincerity
64. Jeju Sky
65. Home
66. Achievement
68. Sweet April
69. Different
70. Get Away
71. Come
72. White Paper
73. Camcorder
74. Hallway
75. Revealed
76. Mountain
77. Same Sun
78. Best Place
79. Warm Day
80. Sand Of Jeju
81. Autumn Pain
82. Heavy Breath
83. Selfish
84. Almost
85. Lost
86. Meaning Of Life
87. Autumn Wind
88. Butterfly
89. Maple
90. Holding On
91. Let Her Go
92. Lilac
93. Two Skies
94. Falling
95. Difficult
96. Eyes
97. Know
98. Roof
99. Hope
100. Infinity
101. Arrived
102. Beside Her

67. Blame

2.2K 561 291
By kurangaqua

Matanya memerah, dengan sorot yang menusuk. Tangannya menyeret dua orang wanita dan mendorongnya dengan kasar memasuki sel penjara di kantor polisi itu.

Tidak segera mengunci pintunya, Lisa memilih ikut masuk. Dia berjongkok di depan dua wanita yang ketakutan setengah mati itu. Seakan sebentar lagi Lisa hendak menerkam mereka.

"Kalian sadar, siapa yang telah kalian perlakukan dengan buruk barusan?" Pertanyaan dingin Lisa tak mampu dijawab oleh dua wanita itu. Mereka sibuk menunduk dengan rasa takut.

"Dia adalah kakakku yang hebat. Dia adalah seorang anak yang begitu dijaga. Dia adalah berlian keluarga Hwang. Tapi kalian dengan tangan kotor ini menyakitinya." Lisa sangat marah dengan apa yang telah terjadi pada Jisoo.

Hari yang seharusnya membahagiakan untuk Lisa, kini justru berbalik. Amarah di dalam hatinya meledak-ledak. Jika di dunia ini tidak ada hukum, Lisa mungkin sudah membuat dua wanita itu tak ingin lagi berada di dunia.

"Kami berusaha keras untuk menghilangkan rasa sakitnya. Tapi kalian yang bukan siapa-siapa justru menciptakan rasa sakit untuk tubuh berharganya. Apa kalian tahu? Satu kali helaan napasnya bahkan lebih berarti dibandingkan hidup kalian berdua." Sorot hazel yang biasanya lembut itu kini menyimpan banyak dendam.

Kakaknya yang begitu ia sayangi dan jaga, dengan gampangnya mereka sakiti. Lisa sungguh berjanji untuk dirinya sendiri, tak akan membiarkan dua wanita itu lepas dari penderitaan. Walaupun dia tahu, hukuman penjara mungkin hanya akn mereka dapat sebentar.

"Aku akan memastikan, hidup kalian tidak akan tenang. Sekali pun sudah keluar dari penjara." Lisa harus memberi tahu bahwa mereka tengah mencari masalah dengan keluarga yang salah.

Bangkit berdiri, dia menatap beberapa rekan yang berdiri di luar sel. Seperti sedang menonton kejadian langka. Karena tak pernah sebelumnya Lisa memperlakukan seorang penjahat dengan amat kasar.

Lisa keluar. Mengunci sel penjara itu.
"Aku akan menyerahkan beberapa bukti terkait kekerasan mereka...."

Tangan Lisa seketika berhenti. Dia menghela napas ketika hampir saja menyebut Jisoo sebagai putri sulung Hwang Chanwook. Dia lupa bahwa mereka sudah tahu mengenai identitas dirinya.

".... Pada kakakku."

Myungsoo mengangguk kaku. Rasanya masih tidak bisa menerima bahwa Lisa adalah adik dari Jaksa Hwang yang cukup dia hormati. Tapi di samping itu, dia merasa sangat kasihan dengan Lisa. Anak itu sudah bekerja sangat keras untuk mencari pelaku perencanaan pembunuhan terhadap kakaknya.

"Hukuman yang mereka dapat mungkin tidak terlalu berat. Tapi aku bisa memastikan mereka akan menyesal setelah menyakiti kakakku." Kedua tangan Lisa mengepal. Kepribadian Lisa yang seperti ini sangat asing bagi mereka.

Menarik kesimpulan, Lisa bisa berubah menjadi sesuatu yang mengerikan jika bersangkutan dengan kakak-kakaknya. Myungsoo mulai ingat ketika Jennie mendapatkan masalah karena terjadi pembunuhan di toko rotinya, serta Chaeyoung yang mendapatkan tuduhan sebagai perundung. Lisa benar-benar melakukan segala cara untuk mereka.

Kemarin, Myungsoo banyak mendengar cerita tentang persaudaraan gadis Hwang melalui Luda dan Dawon. Lisa sesungguhnya begitu dicintai oleh ketiga kakaknya. Maka dari itu, rasa sayangnya pun sangat besar pada mereka.

"Pulang dan istirahat lah. Kami yang akan mengurusnya." Myungsoo mengusap bahu Lisa, sebelum gadis itu benar-benar pergi.

"Keluarganya lebih dari kaya. Kenapa dia harus repot bekerja sebagai polisi yang memiliki gaji rendah? Jika aku jadi dia, aku akan menikmati seluruh uang keluargaku." Seungcheol berkomentar. Tak paham dengan jalan pikiran Lisa yang memiliki hidup sederhana.

"Niatmu sudah jelek. Maka dari itu Tuhan tidak membiarkanmu berada di posisinya." Dawon mencibir.

Keluar dari kantor polisi, Lisa tampak terburu-buru. Tangannya mulai beekutat dengan ponsel untuk menanyakan keadaan Jisoo. Apakah mereka akan membawa kakaknya ke rumah sakit atau tidak.

"Un---Maskudku, Lisa-ssi!" Langkah Lisa terhenti. Dia mencari sumber suara yang memanggil namanya.

Sosok Hong Juyeon terlihat mensekatinya. Lisa bisa menebak kedatangan gadis itu kemari untuk menjenguk kakaknya di sel penjara.

"Hari ini kakakku akan dipindahkan ke lapas." Lisa mengangguk saja ketika Juyeon berujar. Dia sesungguhnya berasa tak enak mengabaikan gadis itu. Tapi Lisa harus segera pergi untuk memastikan keadaan Jisoo.

"Terima kasih untuk segalanya. Aku harap, kelak kita bisa bertemu di surga." Namun ucapan Juyeon mengurungkan niat Lisa untuk pamit. Ada yang tidak beres dengan kalimat gadis itu.

Tatapannya yang putus asa. Lisa bisa melihat tak ada sama sekali hasrat untuk hidup disana. Apakah gadis itu masih marah tentang Lisa yang membawa Hong Youngjae ke kantor polisi?

"Juyeon-ah, wae geure? Kau tidak perlu khawatir mengenai biaya pengobatan dan sehari-hari. Bukankah sudah ku bilang jika aku yang akan menanggungnya?" Lisa berusaha mengingatkan Juyeon.

Lisa tentu tak bisa melepas Hong Juyeon begitu saja. Dia merasa bertanggung jawab karena telah merenggut satu-satunya tulang punggung di keluarga Juyeon. Gadis itu tidak memiliki sanak saudara lain. Gadis itu juga tidak bisa bekerja karena penyakitnya.

"Tidak perlu. Aku sepertinya tidak sanggup menunggu Youngjae Oppa keluar dari penjara. Hukumannya terlalu lama." Lisa memang sempat mendengar bahwa Hong Youngjae telah melakukan sidang dan mendapatkan hukuman 7 tahun penjara.

Bagi sebagian orang, hukuman itu sangatlah sebentar dan tidak seimbang. Tapi bagi Juyeon yang waktunya di dunia terbatas, hukuman sang kakak tampak sangat lama.

"Kau akan menyerah begitu saja?" tanya Lisa memastikan. Dan Juyeon hanya mengangguk pelan.

Menghela napas kasar, Lisa merasa begitu kesal entah kenapa. Dia sangat tidak suka melihat orang yang dengan mudah putus asa.

"Kau egois jika begitu." Juyeon tak suka dengan ucapan Lisa.

Gadis dengan topi hitamnya itu tidak paham bagaimana perasaan Juyeon. Dia hidup dengan rasa sakit selama ini agar bisa terus berada di sisi kakaknya. Tapi jika keadaannya begini, Juyeon merasa sia-sia jika harus terus bertahan hidup.

"Kau tidak ada di posisiku---"

"Nde! Aku tidak ada di posisimu. Aku tidak mengerti apa yang kau rasakan. Geundae, aku mampu mengerti perasaan kakakmu. Karena aku juga ada di posisinya." Juyeon tertegun, saat melihat mata Lisa memerah.

"Kau tahu bentuk kaca yang pecah? Jika kau pergi meninggalkan kakakmu, perasaannya akan jauh lebih hancur dibandingkan kaca yang pecah." Lisa kini tengah mengepalkan tangannya erat.

Tidak. Dia sedang membicarakan perasaannya sendiri. Perasaannya akan hancur tak berbentuk jika sang kakak meninggalkannya.

"Hidupnya akan gelap karena tak ada lagi cahaya yang meneranginya. Apa kau ingin melihat kakakmu seperti itu?" Lisa membasahi bibirnya yang tiba-tiba terasa kering.

"Juyeon-ah. Bukan hanya dirimu yang membutuhkan kakakmu. Tapi juga sebaliknya. Kau merasa takut? Dia lebih dari itu." Bibir Juyeon kelu hingga tak berani menyanggah ucapan Lisa.

Kalimat Lisa nyatanya benar. Juyeon dan Youngjae hanya tinggal berdua. Mereka hidup satu sama lain. Kakaknya pernah berkata, jika dia bertahan hanya untuk berada di sisi Juyeon. Jika saja Juyeon tiada, mungkin Youngjae sudah melompat dari Sungai Han.

"Lagi pula, kau masih bisa mengunjunginya. Dia pasti masih membutuhkanmu untuk mendatanginya sesekali." Merasa sudah mulai tenang, Lisa mengusap bahu gadis itu.

"Hubungi aku jika kau sudah merasa tenang." Kali ini, Lisa benar-benar pergi. Meninggalkan Juyeon dengan pikiran yang berkecamuk.

..........

Napasnya tercekat. Matanya sudah basah. Dengan tangan gemetar Jennie berusaha meraih tangan kurus yang terasa panas itu. Membungkusnya dalam genggaman.

"Kenapa tidak ada yang bicara padaku jika kau meninggalkannya sendiri? Aku tidak tahu. Aku..." Jennie menggigit bibir bawahnya.

Dia tidak tahu jika hari ini adik bungsunya akan menerima penghargaan. Dia tidak tahu jika kedua orang tuanya memilih mendatangi Lisa dibandingkan menemani Jisoo. Dia tidak tahu, jika Chaeyoung pergi pagi-pagi sekali untuk mengikuti operasi.

Toko roti milik Jennie memang tengah mengalami masalah. Dia terlalu terburu-buru pergi untuk mengecek. Jika saja dia diberitahu bahwa tak ada yang menjaga Jisoo, mungkin Jennie akan mengabaikan masalah di toko rotinya. Gadis itu bisa meninggalkan apa pun di dunia ini hanya untuk sang kakak.

"Aku begitu mempercayai Eomma. Tapi kenapa Eomma bisa meninggalkan Unnieku dengan mudahnya bersama orang asing?" Mendengar kemarahan Jennie, kepala Haesun semakin menunduk.

Dia tidak tahu jika akan ada kejadian sebesar ini karena meninggalkan Jisoo selama 2 jam. Dia tak mau merepotkan kedua anaknya yang lain, karena mereka masih berhak menjalani masa muda di luar sana. Dia juga ingin menjadi ibu yang ada disaat hal-hal terbaik datang pada putrinya.

Haesun memang serakah. Dia ingin menjadi ibu yang baik untuk semua anaknya.

"Mianhae," dan hanya kalimat lirih itu yang mampu terucap.

Jisoo sendiri sudah mulai meraih kesadarannya. Dia mendengar kemarahan Jennie. Dia juga mendengar permintaan maaf Haesun. Tapi sesungguhnya yang salah disini bukankah dirinya? Dia yang tak bisa apa-apa, membuat orang dengan mudah menyakitinya.

"Kau seharusnya bisa memprioritaskan mana yang lebih penting. Kau---"

"Tunggu. Apa maksud Unnie dengan Lisa menerima sebuah penghargaan itu tidaklah penting?" Chaeyoung yang sedari tadi diam, kini mulai terpancing.

Kedua tangan Jennie terkepal melihat piagam penghargaan serta medali di atas meja nakas Jisoo. Itu milik Lisa yang semula tergeletak di lantai.

Sejak Lisa pergi ke Jeju, sebenarnya perasaan kecewa Jennie sudah tumbuh. Dia tidak tahu, bahwa Lisa akan meninggalkan Jisoo sejauh itu. Dia tidak tahu, jika Lisa membiarkan Jennie berperang dengan rasa takutnya sendirian. Karena hanya Lisa yang tahu semua rahasia Jennie.

Pikiran gadis berpipi mandu itu mulai kacau. Kekecewaan semakin menguasainya tatkala melihat kakaknya lagi-lagi terluka. Padahal, mereka bisa mencegah hal seperti ini terjadi pada Jisoo.

"Nde. Bukankah Eomma sudah berjanji untuk mengutamakan Jisoo Unnie? Jika saja Eomma tidak pergi, Jisoo Unnie tidak aka seperti ini." Semuanya terkejut mendengar penuturan Jennie, termasuk Jisoo yang sedang terbaring dengan ketidak berdayaannya.

"Aniya. Aniya Jennie-ya. Tolong jangan salahkan Lisaku." Jisoo hanya bisa menjerit dalam hati, ketika Jennie mulai menyalahkan Lisa secara tidak langsung.

Sangwoo yang juga ada disana melihat kegelisahan mulai terlihat dari sorot mata Jisoo. Dengan was-was lelaki satu anak itu menatap monitor yang terpasang di kamar. Detak jantung Jisoo mengalami srdikit peningkatan.

"Keadaan Jisoo sudah stabil, Jennie-ya." Sangwoo akhirnya bersuara. Walaupun dia sama kesalnya dengan Jennie, namun ia juga ingin membuat Jennie merasa tenang. Berdebat di depan Jisoo tidaklah baik.

Tapi Jennie seakan tak menerima. Dia menggeleng sembari mengusap kasar air matanya.
"Unnieku kesakitan karena kelalaian semua orang. Eomma seharusnya bisa berpikir lebih bijak. Meninggalkan Unnie tidak bisa ku benarkan."

"Jennie-ya, Appa dan Eomma memang salah. Tapi kami hanya merasa antusias untuk mendukung keberhasilan adikmu." Chanwook angkat bicara. Entah kenapa, Jennie harus mengajak mereka bedebat di saat seperti.

"Kalian bisa melakukannya di lain waktu. Tapi kondisi Jisoo Unnie---"

"Unnie, geumanhae!" Untuk pertama kalinya, Chaeyoung membentak Jennie.

Dia pikir kakaknya sudah keterlaluan. Dibandingkan berdebat, bukankah sebaiknya mereka menenangkan Jisoo? Hal seperti ini seharusnya tak pantas Jisoo lihat. Chaeyoung terlalu takut perdebatan mereka justru membuat kondisi Jisoo menurun.

"Aku tidak ingin bertengkar. Tolong jangan buat suasana semakin buruk. Jisoo Unnie tak akan suka dengan perkataanmu, terlebih saat kau menyalahkan Lisa." Chaeyoung harus mengingatkan Jennie, bahwa sampai saat ini Lisa masih menjadi adik tersayang Jisoo. Walaupun tidak bisa melakukan apa pun, Jisoo masih mampu merasakan sakit hati ketika adiknya disalahkan.

Jennie menghela napas kasar. Dia hanya ingin mereka tidak mengulangi kesalahan hari ini. Namun ketika hendak kembali bicara, mendadak Jennie seperti kehilangan seluruh suaranya. Tubuh itu mematung, saat mendapati Lisa sedang berdiri di ambang pintu sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menandakan gadis itu sudah sangat lama berada disana.

Tatapan Lisa benar-benar tak bisa Jennie baca. Tatapan yang terlalu samar. Entah dia sedang merasa tenang atau marah.

"Chae," panggilan itu membuat Chaeyoung tersentak. Dia segera menoleh ke ambang pintu. Sama terkejutnya dengan Jennie.

"Bisa kita bicara sebentar?"

Chaeyoung menurut. Dia mengikuti Lisa dan keluar dari kamar itu. Meninggalkan suasana tegang di kamar Jisoo. Termasuk Jennie yang pikirannya sudah begitu kacau.

"Ternyata Lisa benar. Manusia mudah sekali berubah." Jennie bergumam dalam hati.

Baru beberapa waktu lalu dia mewanti-wanti Lisa untuk tidak merubah sikapnya. Tapi lihatlah sekarang. Kini yang berubah adalah dirinya sendiri. Lisa pasti merasa sakit hati dengan ucapan Jennie.

...........

"No! Permainan masih terlalu jauh. Tuanku merasa kesal padamu. Dia tidak akan tinggal diam. Setelah berhasil membunuh Hwang Jisoo, siapa menurutmu selanjutnya? Hwang Chaeyoung? Atau Hwang Jennie? Kau akan kehilangan kakak-kakakmu."

Kedua mata cokelat itu terbuka perlahan. Lisa menatap jendela kamar yang masih menampakkan langit yang gelap. Dia baru bisa tertidur pukul 12 malam. Tapi ketika jarum jam menunjukkan angka 2, Lisa sudah terbangun.

Perkataan terakhir dari Go Chanwoo nyatanya terus menghantui Lisa. Saat ini yang dia tahu, keluarganya sedang tidak aman. Terlebih kakak-kakaknya.

Pembunuh itu pasti sedang mengincar Jisoo yang kini tengah melakukan masa pemulihan. Dia pasti menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan Jisoo.

Tapi yang membuat Lisa kebingungan, mengapa pembunuh itu hendak mencelakai kedua kakak Lisa yang lain? Atau itu hanya ancaman?

Lisa mengacak rambut cokelatnya frustasi. Satu-satunya cara agar terbebas dari ancaman itu adalah menangkap pelakunya. Dengan semangat menggebu, Lisa membuka laci nakas. Mengeluarkan buku catatan kecil dan ipad. Dibandingkan tidak bisa kembali tertidur dan hanya termenung, lebih baik Lisa mendalami bukti-bukti yang sudah ada.

Waktu berputar tanpa henti. Langit perlahan sudah berubah warna. Jendela Lisa yang memang sengaja tidak ditutup oleh tirai memperlihatkan pada gadis itu bahwa pagi telah menjelang.

Lagi-lagi helaan napas kasar keluar dari bibirnya. Di kepalanya masih saja menemukan jalan buntu. Bukti-bukti yang ada di tangannya masih samar.

Dentingan suara di ponselnya datang beberapa kali. Lisa mengeceknya. Dahi gadis itu mengerut. Nada pesan itu berasal dari group chat timnya. Mereka berencana pergi ke Gwangju karena mendapat laporan ada pembunuhan serupa disana.

Hal yang lebih menganehkan adalah Lisa tidak terdaftar dalam list anggota yang akan berangkat. Tentu saja hal itu membuat Lisa kesal dan segera mendial nomor kepala timnya.

"Timjangnim, apa maksudmu dengan tidak mengikut sertakanku dalam keberangkatan sore nanti?" Lisa tidak ingin berbasa-basi.

"A-Ah itu. Gwenchana, kau bisa libur---"

"Ani. Aku akan tetap ikut. Apa kau memperlakukanku seperti ini karena sudah tahu mengenai identitasku? Bukankah seharusnya kau lebih mengerti jika sudah tahu bahwa aku adalah adik dari Jaksa Hwang? Karena dibandingkan orang lain, aku lah yang paling ingin menemukan pembunuh biadab itu." Entah kenapa, emosi Lisa mudah terpancing. Dia merasa Myungsoo salah dalam melakukan tindakan setelah mengetahui identitas asli Lisa.

"A-Arraseo. Kau bisa ikut---"

Lisa mematikan sambungan itu secara sepihak. Detik berikutnya, dia mulai merutuki diri sendiri. Mengapa dia sangat tidak sopan? Myungsoo pasti mengira Lisa akan berlaku seenaknya setelah identitasnya terbongkar.

Gadis itu akan meminta maaf pada atasannya nanti. Dia memilih membereskan buku dan ipadnya. Beranjak untuk membersihkan diri dan setelah itu melihat keadaan Jisoo karena semalam dia hanya melihatnya sekilas.

Di kamar lain, Jisoo bangun dengan keadaan yang sama. Masih tak mampu bergerak banyak. Masih membutuhkan bantuan oksigen. Masih dengan ketidakberdayaannya.

Sebagai seorang manusia, ada kalanya kita harus menerima apa yang diberikan oleh Tuhan. Sebaik apa pun manusia berharap, Tuhan lebih tahu yang terbaik untuk hambanya.

Terkadang, jalan yang diberikan memang tidak pernah kita harapkan. Namun jika memandangnya dari arah lain, akan ada hal indah yang kita syukuri.

Berjalan bersama waktu yang berputar tanpa henti, Lisa mulai paham bahwa keadaan Jisoo kini memiliki kebaikan yang bisa ia pandang.

Selama mereka bersama, Lisa tahu bahwa Jisoo tidak pernah menerima banyak perhatian termasuk dari adik-adiknya. Tapi ini, Tuhan memberikan kesempatan kakaknya untuk menerima apa yang tidak pernah Jisoo raih.

Salah satunya adalah perhatian dari Lisa sendiri. Sejak dulu, bahkan ketika tinggal bersama Lisa hanya terus menerima perhatian kakaknya tanpa bisa memberikannya kembali.

Sekarang, Tuhan memberikannya kesempatan menjadi adik yang baik. Adik yang tidak hanya menerima kasih sayang tulus, namun juga memberikannya.

"Godmorgen, Unnie." Sapaan selamat pagi dalam Bahasa Denmark itu Jisoo terima bersamaan dengan kecupan di bibirnya singkat.

"Demamnya sudah turun. Paman bilang Jisoo Unnie sudah aman untuk mandi." Suara Chaeyoung terdengar di belakang Lisa.

Lisa, kedua kakaknya, serta Haesun membuat jadwal teratur untuk bergantian memandikan Jisoo dipagi hari. Ini adalah kesepakatan yang mereka buat sebelum Jisoo dipulangkan.

Hari ini adalah giiran Lisa. Dia tidak sendirian, namun ada Chaeyoung yang mengawasi. Biar bagaimana pun, kondisi tubuh Jisoo masih tidak bisa dibilang baik. Apalagi setelah kejadian kemarin. Lisa sendiri tidak mau melakukan kesalahan yang tak ia mengerti. Selain itu, kini kali pertamanya mempersihkan tubuh sang kakak.

"Apa tidak masalah dia tetap ada di rumah?" Lisa bertanya dengan khawatir. Dia mendengar Jisoo sempat mengalami kejang semalam.

"Samchon dan Dokter Kang sudah merawatnya semalam. Sekarang Jisoo Unnie sudah stabil. Disini juga ada banyak obat dan peralatan yang dibutuhkan Unnie, Lisa-ya." Mendengar penjelasan Chaeyoung, Lisa mengangguk.

Kamar tidur itu memang sudah tidak tampak seperti kamar pada umumnya. Ada banyak alat medis yang tersedia, serta aroma antiseptik begitu menyengat. Di mansion juga sudah ada Perawat Han yang diminta siaga. Dia kini tinggal di lantai bawah. Takut-takut terjadi hal darurat pada Jisoo. Sedangkan Dokter Kang masih menetap di paviliun.

"Chae, kau cukup memperhatikanku saja. Arraseo! Hari ini Jisoo Unnie adalah milikku." Lisa menunjuk Chaeyoung yang hendak menyentuh Jisoo, berniat membantu Lisa melepaskan pakaian kakak mereka.

Berdecak kesal, Chaeyoung memilih melipat kedua tangannya dan menatap Lisa tajam.
"Lihat saja. Besok adalah giliranku, dan kau tak akan kubiarkan menyentuh Jisoo Unnie."

Lisa menggeleng pelan. Kakaknya itu memang sangat pendendam. Tapi rasanya sangat menyenangkan selalu membuat Chaeyoung kesal.

"Silahkan. Karena besok aku tak ada di rumah." Bungsu Hwang itu menjulurkan lidahnya pada Chaeyoung.

Bukannya kesal, gadi berambut blonde itu merasa terkejut. Bukan hanya Chaeyoung, Jisoo pun kini merasakan hal yang sama. Hendak kemana adik mereka itu?

"Kau tidak akan pulang besok?" Mendadak ada perasaan khawatir di benak Chaeyoung.

Dia tahu, saat ini adiknya sedang berusaha keras mencari pelaku yang membuat kakak mereka dalam kondisi tidak berdaya. Melihat betapa tersusunnya rencana pelaku itu, Chaeyoung paham jika yang mereka hadapi adalah orang genius. Dia terlalu takut membiarkan Lisa masuk terlalu dalam. Dia takut Lisa juga akan terluka nantinya. Walaupun awalnya dia mengizinkan Lisa. Tapi semakin hari, ketakutan itu mulai terbentuk.

Chaeyoung tahu apa yang dialami adiknya saat berada di Jeju. Sang ayah menceritakannya semalam. Mendengar hal itu, Chaeyoung merasa begitu berat untuk tetap mengizinkan Lisa melakukan tugasnya sebagai polisi.

Melihat tatapan Jisoo yang terus tertuju ke arahnya, Lisa berusaha tersenyum tipis. Salah besar ia memberitahu kepergiannya esok di hadapan Jisoo.

"Chae, kau bisa siapkan air hangat untuk Jisoo Unnie?" Memilih tidak menjawab pertanyaan Chaeyoung, Lisa mulai melakukan tugasnya untuk membuka pakaian Jisoo.

Chaeyoung pun paham jika pembicaraan ini tak seharusnya mereka lakukan di hadapan Jisoo. Kakak mereka tidak bisa dibiarkan perbikir terlalu berat karena akan mempengaruhi kondisinya.

"Arraseo." Setelah perginya Chaeyoung ke kamar mandi, Lisa mulai membuka selimut yang menutupi tubuh kakaknya.

Pertama, dia membuka diapers yang digunakan Jisoo dan membuangnya ke tong sampah. Berlanjut pada piyama sang kakak, Lisa harus berhati-hati ketika membukanya agar tidak menyakiti Jisoo, serta takut menggangu jalannya fungsi beberapa elektroda dan kabel yang masih memenuhi tubuh kakaknya.

Sejak terbangun dan menerima dirinya tidak lagi sama, perasaan Jisoo selalu tercabik. Kini, dia mendapati fakta lain bahwa dirinya memang tidak bisa berguna dalam segi mana pun.

Untuk mendengar alasan kekhawatirannya terhadap Lisa saja dia tidak diberikan. Lalu, mereka ingin dia hidup seperti apa? Hanya berbaring tanpa bisa melakukan apa pun sudah sangat buruk. Kini dia pun tak bisa mengetahui apa pun tentang sesuatu yang terjadi pada keluarganya.

"Biasanya, Unnie yang selalu memandikanku. Unnie takut jika aku mandi tidak terlalu bersih. Padahal aku sudah dewasa." Lisa tertawa pelan, mengenang masa-masa dimana dia hidup berdua dengan Jisoo.

"Sekarang, aku yang akan memandikan Unnie seperti bayi." Perlahan, Lisa melepas bannie cokelat di kepala Jisoo dengan hati-hati. Rambut sang kakak sudah tumbuh cukup banyak. Lisa dengar, ibunya memang rutin memberikan obat agar rambut itu cepat memanjang.

Chaeyoung yang baru saja keluar dari kamar mandi terdiam. Matanya terasa panas melihat interaksi dua saudaranya itu. Kembali mengingat, bahwa mereka hampir kehilangan sosok sulung Hwang itu.

Di titik ini, Chaeyoung sudah tidak peduli lagi kakaknya akan bisa pulih atau tidak. Selama Jisoo ada bersama mereka, bukankah itu sudah cukup?

Tangerang, 29 Mei 2025

Note.

Tutorial biar ngga ngantukan dong? Gue ketiduran mulu setiap ngetik ini cerita. Kopi pun ga mempan. Makanya kemaren ga update😭

Continue Reading

You'll Also Like

651K 92.3K 75
Mereka hidup dengan seragam yang melekat di tubuh. Memiliki kewajiban atas apa yang ia topang di atas bahu mereka. Sebagian dari mereka saling meleng...
396K 47.8K 74
鉂滲ahkan waktu yang kita habiskan bersama, tidak cukup untuk menutupi luka ini.鉂 Lalisa Park - Park Jennie - Park Jisoo - Roseanne Park
571K 92.4K 49
Puzzle tidak akan pernah utuh jika salah satu hilang. Seperti mereka, yang tak akan bisa menjadi utuh jika terpisah. Mereka adalah Puzzle, yang sehar...
121K 9.5K 24
seorang putri bungsu keluarga choi diculik oleh pembenci ayah nya dan terpisahkan dari keluarganya dari kecil. ia dibesarkan oleh pemilik restoran k...