Bangunan bergetar lagi diiringi suara ledakan dari bawah.
Diara sampai terhempas ke samping, menubruk dinding loronh. Dia kembali berlari walau lantai mulai retak. Sesekali meringis sambil memegang luka di pinggang, terasa sakit ketika ia berlari terlalu cepat. Dia pun memelan ketika sampai di sebuah aula bundar berpagar.
Jalan penghubung ke lorong di depan sudah runtuh, memperlihatkan lubang sedalam belasan meter. Diara pun mengambil ancang-ancang lalu berlari dan melompati celah sepanjang lima meter lebih itu, rambut auburnnya nampak berkibar. Bruk! Dia mendarat berlutut di lantai, meringis melihat darah menembus kain putih di pinggangnya.
Dia menarik napas dan kembali melangkah. "Ini mulai terasa seperti ide buruk."
Semenit menyusuri lorong, ia sampai di ujung. Terlihat jembatan logam menggantung di atas jurang sedalam dua puluh meter lebih berujung lantai semen di bawah. Dinding jurangnya berupa dinding kaca hitam.
Jembatan ini penghubung ke pintu besi raksasa di depan. Dia pun melangkah sambil berpegangan, terintimidasi ketinggian. Semakin ngeri saat bangunan bergetar membuat jembatan berayun di ketinggian. Matanya melebar melihat seluruh kaca dinding jurang meledak, menyemburkan api yang seketika menyeruak ke atas, menyapu jembatan. Dalam sepuluh detik api memenuhi sekeliling, bagai dikurung dinding api.
"Dee, kau dimana?" tanya Revan melalui HT di saku dalam jaket. "Kami sudah bersama Prama, hendak keluar."
"Kau tak akan percaya yang berhasil kudapatkan!" sahut Prama, girang.
"Duluan saja!" teriaknya. "Nanti ya bicaranya, HT milikku meleleh."
"Hati-hati, Azula!"
Diara lanjut melangkah, menembus kobaran api sampai ke pintu raksasa itu. Pintu hanya menyisakan celah kecil. Masih dinaungi api, Diara mendorong kedua sisi pintunya sambil mengerang. Ngik! Pintu membelah terbuka dan ia menyelipkan tubuhnya. Segera menepuk api di pundak dan sepatu bot sampai padam.
Ini adalah hangar. Luas beratap tinggi didominasi warna putih. Jet berbaris di kiri dan kanan. Jauh di kanan terlihat satu jet besar, beberapa Viator bergegas naik dari pintu samping. Semua berpelindung kepala logam.
Yang terakhir adalah panglima itu. Dia menatap ke Diara sedetik lalu naik, diikuti pintu jet yang menutup. Lalu jet meluncur perlahan disusul pintu hangar di depannya terbuka.
Sambil memegangi luka di sisi perut, Diara berlari mengejar jet itu. Menatap kedua knalpot raksasanya yang menembakkan asap seiring maju lebih cepat. Sambil menahan perih, Diara mempercepat lari sambil meraba granat terakhir di sakunya.
"Pram!" teriaknya ke HT. "Kalau aku lempar granat ke knalpot jet, apa yang akan terjadi?"
"Hah? Umm... mesin meledak, tapi protokol darurat menyala dan penumpang terlontar keluar. Kenapa?!"
"Gimana supaya jetnya langsung meledak?"
"Letakkan granat langsung di mesinnya, tapi itu berarti kau harus—"
"Oke, aku mengerti! HT milikku akan mati. Tunggu aku di luar ya!"
Bersama tatapan setajam parang ia terus berlari. Memejam sejenak untuk mengumpulkan energi lalu melompat setinggi tiga meter ke knalpot jet. Hap! Dia hinggap di mulut knalpot, segera memanjat masuk, berpegangan di tengah deru asap yang menghalangi pandangan. Sambil berpegangan dengan dua tangan, ia melangkah melawan asap.
Mata superiornya melihat dinding ujung knalpot hanya dua puluh meter di depan. Terdapat lubang sebesar ban di tengahnya yang menghubungkan ke mesin utama. Itu tujuan Diara.
"Ayolah, Dee!" katanya, mendorong tubuh maju. Sesekali terbatuk karena paru-paru penuh oleh asap.
Keadaan memburuk. Wush! Api berkobar ganas dari lubang mesin di depan, memenuhi seluruh knalpot sampai berhembus keluar. Terasa tekanan yang sangat kuat mendorong tubuh Diara sampai tangannya gemetar dan ia menjerit melawan dorongan. Api nampak menyapu seluruh tubuhnya, menjilati wajah membuat matanya berpendar berkat pantulan cahaya api.
Masih sambil menjerit, dia maju. Mengerahkan seluruh energinya melawan dorongan mesin jet dan api. Terasa semakin kuat, membuat tubuhnya mulai kelu. Kemudian pesawat lepas landas, meluncur di udara dan menukik ke atas. Meninggalkan kapal induk lima puluh kaki di bawah.
Cengkeramannya ke dinding knalpot semakin kencang, membuat tangan nyeri. Kakinya tergelincir sedikit karena jet menukik ke atas, tapi ia mantapkan langkah. Terus maju bersama tatapan setangguh api dan rambut yang merah berkibar.
Tak lama kemudian ia hanya beberapa meter dari lubang mesin. Yang terlihat hanya nyala api yang mencuat keluar dari sana. Diara menarik granat magnet dari saku sementara satu tangannya berpegangan sampai urat menyembul. Dia lepas pengaman granat dengan gigi. Lalu menyelipkan tangan melewati lubang mesin. Menahan rasa perih di seluruh tangan dan menempelkan granatnnya di dinding bagian dalam. Tut! Lampu merahnya berkedip.
Diara tersenyum tipis. "Enyahlah kalian dari galaksi."
DAR!
Seketika dentuman mengguncang langit saat mesin belakang jet meledak. Ledakan merambat cepat ke bagian tengah jet sampai melahap habis jet. Menghamburkan seluruh badan besi putih itu bersama api dan asap pekat yang meluas di ketinggian.
Sementara di daratan...
Revan terhenti mendengar ledakan itu. Segera menoleh ke sumber suara, yaitu jet yang kini berupa bulatan api yang membara di langit biru.
Dia bersama lainnya sudah keluar, menjauhi kapal induk yang meledak di berbagai sudut. Kini berada di jalan yang diapit sisa bangunan, hendak menuju Tim Neo. Nampak bongkahan besi terhempas dari kapal, menghujani jalan. Namun, fokus Revan berada di jet itu.
"Itu jet terbesar yang lepas landas," kata Prama yang repot membawa berbagai mesin di pelukannya. Dia melotot menyadari sesuatu. "Diara di sana!"
Val tercekat, menutup mulut dengan tangan. "Oh tidak."
Gading melihat melalui teropong keker. "Tinggi ledakannya seratus kaki lebih. Andaikan ia jatuh pun badannya... tak akan kuat menahan pendaratan."
Mata Revan melebar oleh rasa takut. Dia merebut teropong Gading, fokus sampai mata pegal. Dengan bantuan mata superiornya terlihat sebentuk tubuh, berasap terhempas dari ledakan dan meluncur turun di udara bebas. Rambut auburn-nya berpendar terkena cahaya matahari.
"Aku melihatnya!" Revan jatuhkan teropong dan bergegas. "Kalian pergi duluan!"
Wush! Revan melompat setinggi tiga meter ke atas tumpukan puing, berlari dikejar waktu. Sesekali ia menoleh, ke tubuh yang meluncur turun dari ledakan di kejauhan. Hap! Dia lompat turun ke aspal, larinya tak memelan meski puing menghujani. Setiap detiknya Diara semakin dekat dengan daratan. Matanya mulai tergenang oleh bayangan tak cukup cepat untuk menangkap Diara. Itu mempercepat larinya. Sangking cepatnya, seiring ia berlari nampak dorongan tak kasat mata yang terhempas darinya, mendorong semua benda di pinggir jalan.
Sementara di atas sana Diara terjun bebas, telentang, menjauhi ledakan di atasnya. Nampak potongan-potongan benda berapi jatuh di bersamanya.
Tubuhnya mati rasa dan mata membuka lemah. Suara seakan teredam dari telinganya, berganti suara alam bawah sadarnya. Dia mendengar suara lembut ibunya, mengatakan ia lebih tegar dari kehidupan. Mendengar ayahnya bilang ia sanggup sejauh ini, maka ia mampu mengarungi hidup lebih jauh.
"Aku tak bisa lagi," bisiknya.
"Diara, kau lebih tangguh dari galaksi." balas suara dalam pikirannya. Leburan dari suara kedua orang tuanya. "Lawanlah."
Namun, ledakan sudah jauh di atas yang berarti ia mendekat ke daratan. Kecepatannya belum memelan. Dia pun memejam pasrah.
Wush! Seseorang melompat setinggi belasan meter dan menangkap Diara, mendekapnya dari belakang. Membawa tubuhnya ke samping, berputar di udara beberapa kali. Kemudian melesat turun dengan cepat.
"Bertahanlah," kata suara bariton itu di tengah ricuh angin.
Revan memejam dan bruk! Punggungnya menghantam darat begitu keras dan melesat di atasnya sampai membelah aspal. Mereka terpental tapi Revan melindungi Diara di dekapannya. Dug! Punggungnya kembali menghantam darat, membelahnya sampai aspal melipat naik di kiri dan kanan. Revan menggeram merasakan pedih di seluruh tulang, tapi kemudian tubuhnya memelan.
Beberapa detik kemudian dia berhenti. Terengah dan terpejam, masih mendekap Diara erat. Ketika ia membuka mata terlihat lipatan aspal meninggi di kiri dan kanan bahkan di belakangnya.
"Dee?" Dia Merebahkan Diara di pahanya, gadis itu masih terpejam. Dengan ibu jari ia mengusap wajah Diara yang pucat, comeng oleh abu. "Dee, ini aku." Dia mencium kening yang masih terasa panas itu, memejam, menyentuhkan sisi wajahnya dengan Diara.
Untuk sejenak tak terjadi apapun, hingga kemudian Diara terbatuk. Perlahan kedua matanya membuka. Yang pertama ia lihat adalah kedua mata biru itu menatap lembut padanya. Tenaganya pun berangsur kembali, membuatnya bisa merasakan tubuhnya lagi, termasuk nyeri lukanya.
"Revan," katanya, tersenyum lemas.
"Hai," balasnya, mengusap wajah Diara. "Kau akan baik-baik saja."
"Terima kasih selalu menyelamatkanku."
"Tak perlu berterima kasih, sudah tugasku."
Perlahan Diara bangkit duduk, menatap bekas ledakan di langit. Masih ada gumpalan api berasap hitam yang melontarkan potongan besi.
"Kau berhasil, Dee," tambahnya.
"Tidak," balasnya. "Kita semua berhasil."
***
Diara dan Revan bergabung dengan yang lainnya, tak jauh di luar gerbang.
Prama langsung memeluk Diara. "Aku tak pernah sesenang ini memelukmu!" Dia melepas pelukan. "Meskipun baumu seperti bolu gosong."
"Nanti aku mandi sejam." Lalu Diara diam sejenak, tersenyum. "Aku sangat bangga padamu. Terima kasih ya. Kau mekanik terhebat di Bumi."
Bruk! Val menyambar memeluk Diara. "Ya ampun, kau membuat jantungku berderum! Please, jangan masuk ke mesin jet lagi!" Dia melirik luka di perut Diara. "Kau harus rebahan dan... luka itu perlu dijahit!"
"Santai, Mamih, aku tak apa hanya... perih sedikit. Terima kasih."
Kemudian ia menghampiri petarung lainnya. Mereka mengerubungi Jeep—hanya satu Jeep yang tersisa. Sebagian nampak mengompres luka mereka dengan kain, kebanyakan adalah luka laser. Sebagian lainnya hanya duduk berselonjor di aspal. Hati Diara seakan berbunga melihat Rigel. Robot itu diam bersandar ke Jeep dengan mata menyala lemah.
Saat sadar diperhatikan, Rigel mengangkat tangan sedikit. "Halo, Diara. Sedang... pemulihan manual. Tidak bisa... berdiri."
"Duduklah sepuasmu, Rigel."
"Diara! Senang kau kembali." Pria berpenutup mata itu datang menjabat tangan Diara. "Terima kasih mengajakku bertarung. Aku merasa muda lagi."
"Aku yang berterima kasih, Baron."
Ceia datang memeluk Diara lalu memberi selembar kain. "Aku senang kau selamat."
"Terima kasih, Ceia," balasnya. "Mana Kindrax?"
Baron dan Ceia bertatap sejenak seakan bertukar kesedihan. Lalu menoleh, tak jauh dari Jeep terlihat sekelompok tubuh yang tergeletak di jalan. Gading dan Neo sedang menutupi mereka dengan kain. Diara menghitung ada sebelas tubuh, seketika wajahnya menegang dan ia bergegas ke sana.
Matanya tergenang melihat kesebelas temannya yang gugur. Bahkan hatinya seakan tergerus melihat Dero dan Levi ada di sana, terpejam pucat, sedang ditutupi kain oleh Gading dan Neo. Tak jauh darinya, ada lelaki berkulit merah itu. Ceia mengusap keningnya lalu menutupnya dengan kain.
"Tak apa, Dee, kami akan carikan kendaraan untuk membawa mereka." Gading menepuk pundak Diara. "Mereka semua gugur sebagai pahlawan."
Diara mengangguk, menahan air mata. "Pahlawan yang akan dikenang Bumi."
Dar!
Terdengar dentuman yang menggema sampai jauh, bersahutan dengan dentuman dari kapal induk dan markas lainnya.
Nampak ledakan-ledakan besar di sudut kapal induk, membuat seluruh kapal perlahan runtuh ditelan api dan asap pekat. Untuk sejenak semua diam menyaksikan momen bersejarah ini. Revan nampak menggandeng tangan Diara, Val bersandar ke pundak Prama. Kerja keras dan pengorbanan mereka terbayarkan oleh pemandangan di depan. Kapal induk yang runtuh ditelan api memantul dari mata para petarung yang tergenang air mata.
"Dengan runtuhnya penjajah," kata Diara. "Kami akan bangkit dari abu, membangun kembali tanah yang merdeka."
Revan menoleh. "Darimana kau mengutipnya?"
"Ayahku sering mengatakannya di kamp dulu." Lalu ia teringat sesuatu. "Pram, bagaimana kita tau kapal induk dan basis Viator lain juga hancur?"
Dia mengambil sebuah layar sentuh dari tumpukan mesin yang ia curi. Dia sambungkan ke HT miliknya untuk sumber listrik. Ding! Layarnya menyala berbahasa Viatrish. Dia tekan beberapa tombol, munculah peta Jakarta dengan puluhan titik biru. Satu persatu berubah menjadi merah, termasuk kapal induk ini. Keterangan berbahasa Viatrish muncul di pinggir layar, semacam peringatan kalau destruksi sedang berjalan.
"Merah berarti fase destruksi selesai," kata Prama. Lalu ia zoom out, menampakkan peta pulau Jawa lalu zoom out lagi menjadi peta Indoensia hingga menjadi peta dunia. Nampak titik-titik biru di seluruh penjuru dunia satu persatu berubah menjadi merah.
"Tanpa kapal induk jet tak bisa isi bahan bakar, senapan laser tak bisa dicas, droid tak bisa direparasi dan lainnya," lanjutnya. "Ditambah, lelaki cerdas ini berhasil meretas sistem portal. Para kadal tak bisa kirim bantuan kemari. Viator sangat melemah."
"Aku tak tau harus bilang apa." Diara tersenyum. "Kau yang terhebat."
"Kau lebih hebat! Idemu berhasil membebaskan planet ini. Kujamin kau bakal viral sampai galaksi lain."
Diara tak sanggup berkata, hanya tersenyum dan perlahan menitikkan air mata. Tak bisa membendung segala yang ia rasakan. Prama pun memeluknya, disusul Val dan Revan. Mereka berempat berpeluk di hadapan runtuhnya para penjajah Bumi.
"Mulai besok kita bangun semuanya kembali," kata Diara.
---
Hi lovely readers!! Terima kasih sudah baca dan vote. Semoga suka!!
WAAAAA SUDAH HAMPIR ENDING NIH. Aku akan update satu chapter akhir + epilog ya untuk selanjutnya. GIMANA MENURUT KALIAN? Petualangan kita setahun lebih ini sudah mau selesai :D
Tunggu kelanjutannya!! Rencananya aku update lagi Minggu ini. See you!!