"Selamat, ya!"
Tepat lima bukan yang lalu dia mendapat selamat pertama dari kakak tirinya yang sudah satu atap dengannya hampir tujuh belas bulan. Namun, Yangyang tetap tak bisa menjawab dengan cara apa pun, bahkan dia sendiri hanya tersenyum sembari mengangguk. Lidahnya selalu beku setiap kali Jaemin mengajaknya bicara, entah secara langsung maupun tidak.
Dia tahu ini bukan hal baik. Akan tetapi, mengingat dia masih menyimpan perasaan pada ayah tirinya, Yangyang selalu berusaha mengurangi kebersamaan mereka hingga sering kali ada anggapan jikalau laki-laki itu justru belum bisa menerima keluarga barunya. Padahal, dia hanya merasa canggung.
Seperti saat ini, tepat usai makan malam. Jaemin sengaja mengajaknya bicara di balkon karena kamar Yangyang tengah mengalami renovasi sementara waktu. Penuh tanda tanya karena mereka akan tidur di satu ruangan---terlebih lagi, di satu kasur yang sama karena kamar tersebut memang tak memiliki kasur cadangan sama sekali. Amat merepotkan jika kasur yang ada di kamar sebelah itu dipindahkan ke tempat ini.
"Masih ngerasa canggung sama aku dan ayah?" tanya Jaemin lebih dulu sembari melirik Yangyang lewat ekor matanya.
"Jujur, iya. Aku bukan nggak terima, cuma ... aku nggak bisa ngerasa biasa aja, jadinya kayak begini. Maaf, Kak."
"Nggak, nggak apa-apa."
Ada tepukan pelan di puncak kepala Yangyang, tak berlangsung lama meskipun laki-laki itu sebenarnya merasa amat nyaman. "Kamu bisa lakuin apa pun senyaman kamu. Lagi juga, kita saudara, kan? Kalau ada apa-apa, kamu bisa kabarin aku juga," imbuhnya tak lama dan ditutup dengan sunggingan senyum manis.
"Iya. Kalau ada apa-apa, aku pasti bilang."
Lentera di sepanjang jalan raya yang tak jauh dari rumah mereka sempat padam, kemudian kembali menyala. Diam-diam, keduanya sibuk dengan pikiran mengenai apakah pengendara di jalan sana akan merasa terganggu karena cahaya lampu yang terus berkedip?
Jaemin menoleh lebih dulu, tepat saat Yangyang memangku dagunya di atas pembatas seperti tembok untuk menikmati angin malam lewat balkon. Senyum manis yang tersungging kala dia memejamkan mata berhasil memacu gerakan detak jantung Jaemin hingga mesin di tubuhnya semakin memanas, menjalar ke mana pun sesampai dia yakin wajahnya sedikit merona sekarang. Alhasil, dia mengalihkan pandangannya sejenak untuk mengembuskan napas.
Walakin, dia merasa amat disayangkan jika tak kembali menoleh ke Yangyang, hal itu membuatnya membiarkan kedua mata yang tertarik kembali menoleh, melihat gerak tipis kepala laki-laki itu yang terarah ke kiri maupun ke kanan sembari bersenandung pelan. Dia ingin sekali mengusap pelan puncak kepala adik tirinya, tetapi itu akan amat menganggu nantinya hingga tangan kanannya terkepal erat.
Tahan, Jaemin .... Tahan ....
"Kakak nggak ngantuk?" tanya Yangyang sembari menoleh ke arahnya.
Sewaktu mata mereka bertemu dan memperlihatkan refleksi diri masing-masing, Jaemin tak tahu mengapa lidahnya tak bisa diajak bekerja sama hanya karena dia terkelu. Kepalanya menggeleng cepat hingga mendapat respon dari sang adik.
"Dingin juga, ya, kalau kita di balkon lama-lama begini," katanya setengah bergumam, tak lama pun mulutnya terbuka lebar, membuat perpotongan air di sudut matanya. "Tapi, kalau aja langitnya nggak segelap ini, pasti banyak bintang, jadi pemandangannya bagus."
"Kamu mulai ngantuk, ya? Tidur duluan aja."
"Nggak. Kan, yang punya kamar itu Kakak, bukan aku."
Jaemin mengerjap pelan mendengarnya. "Tapi, sementara waktu ini kamar kita berdua, kan? Kamu tidur duluan aja."
"Kalau aku tidur duluan, ada dua kemungkinan; Kakak tidur di sofa ruang tamu, atau Kakak nggak tidur."
"Secara nggak langsung, kamu kasih tahu aku kalau kamu bakal ngelakuin di antara dua hal itu."
Perkataan Jaemin memang tidak salah, dia masih merasa amat canggung dan takut mengganggu kakaknya jika dia berada di kamar yang sama dengannya, tetapi itu tak dapat dia katakan secara langsung sehingga Jaemin bisa membacanya sendiri. Raut wajah Yangyang yang tampak berusaha amat santai pun berubah drastis, kini bibirnya mengerucut sebal karena mengetahui jika rencananya terbongkar begitu saja. Dia bukan pembohong yang handal.
Dengan mengumpulkan segala keberaniannya, Jaemin menggenggam tangan sang adik, mengajaknya masuk dan melawan detakan yang amat berisik dari jantungnya, tetapi dia tak sadar jika suara detakan jantung Yangyang tak kalah cepat dengannya.
Hingga kala Jaemin menutup pintu geser untuk mereka ke balkon pun, Yangyang hanya terdiam di tempat sembari menunggunya, memainkan jemarinya sendiri sembari menggigiti kulit bibir atas dan bawahnya yang dirasa mengganggu. Jaemin mengusap sekaligus mengacak rambut laki-laki yang tingginya tak jauh darinya. Ada tawa pelan sewaktu Yangyang menatapnya dengan kernyitan di dahi, dia tampak menggemaskan jika seperti ini.
"Ayo, tidur," ajak Jaemin lebih dulu. Dia mengalihkan pandangan usai Yangyang mengangguk pelan, amat tipis hingga dia tak yakin jika ajakannya disetujui.
"Kakak mau dekat tembok, atau nggak?"
"Kamu mau di mana?" Jaemin mengembalikan pertanyaannya. "Atau, kepala kita dekat tembok aja? Biar sama-sama adil?"
"Em ... boleh."
Dia tak yakin jika posisi tidur mereka saat ini justru akan mengundang ketakutan Yangyang di malam hari. Namun, sewaktu Jaemin merapikan kasur dan meletakkan bantal empuk yang dingin itu ke tempat yang Jaemin maksud hingga secara tang langsung mereka tertidur diapit oleh kepala dan kaki ranjang yang terbuat dari kayu.
Sialnya, Yangyang tak bisa menahan diri kala dia merebahkan kepalanya, dengan sengaja dia memunggungi kakaknya yang juga melakukan hal sama. Penuh keraguan kala dia memperhatikan nakas yang rapi dan hanya memiliki jam digital serta kalender meja, tak ada lampu atau apa pun di sana. Dia ingin sekali memejamkan mata, tetapi rasanya amat menakutkan jika seperti ini.
"Kamu mau lampunya dimatiin?"
Suara Jaemin membuatnya menoleh, dia mengangguk pelan. "Kalau Kakak mau, matiin aja nggak apa-apa."
"Biasanya kamu tidur gimana?"
"Bisa dua-duanya, kok," katanya setengah berbohong. Yangyang kurang suka tertidur dengan cahaya penuh seperti saat ini, tetapi jika terlalu gelap pun cukup menyeramkan.
"Oke, aku matiin aja, ya?"
"Iya."
Tepat saat gelap menyapa penglihatannya, Yangyang berusaha mengatur napasnya supaya tak terasa tertekan oleh nuansa gelap yang menghantuinya. Sebisa mungkin dia memejamkan mata dan meremas kuat seprai putih yang mereka gunakan guna untuk mengurangi rasa cemasnya saat ini.
Namun, dia terdiam saat ada sesuatu yang melingkari pinggangnya, deru napas teratur di tengkuk membuatnya mengerjap beberapa kali. Dia sedikit menoleh, membenarkan posisi tidurnya hingga mendapati Jaemin yang tengah memejamkan mata masih dengan mendekapnya.
"Kamu seharusnya nggak perlu bohong kalau nggak bisa tidur pas gelap begini," katanya setengah berbisik. "Kalau begini, bisa tidur?"
"Mung ... kin?"
"Ya udah, ayo tidur. Nggak akan aku lepas, kok."
Andaikan Jaemin melihat jika adiknya diam-diam menahan senyum malu karena rengkuhan laki-laki itu terasa amat hangat, mungkin dia tidak akan tertidur malam ini. Dia cukup bersyukur gelapnya ruangan berhasil membuat tidurnya bisa dikatakan cukup untuk menyapa hari esok.
Semakin lama pun, Yangyang mulai terserang kantuk kembali, kedua matanya terpejam saat kepalanya tak memiliki jarak sama sekali dengan kepala kakak tirinya. Kecemasannya semakin berkurang karena rengkuhan di tubuhnya benar-benar tak terlepas.
"Nggak akan ada yang nyakitin kamu lagi, Yangyang," gumam Jaemin sembari mengeratkan rengkuhannya. "Nggak akan ada."

KAMU SEDANG MEMBACA
100 Stalks of Roses (JaemYang) ?
Fanfiction[Warn! B×B] Yangyang itu jatuh cinta dengan Jaehyun---guru pelajaran Matematika yang juga merupakan wali kelasnya kala bangku tahun pertama di SMA---tetapi, cinta pertamanya justru menikah dengan ayahnya. Lantas, rumahnya pun kini dihuni oleh empat...