抖阴社区

14

198 29 0
                                        

Dia tak mengungkitnya sama sekali setelah beberapa hari usai kejadian itu, ciri khas adiknya. Jaemin tahu hal itu, tetapi dia tetap menunjukkan jika dia biasa saja, hebat dalam menutupi perasaannya sendiri sehingga saat tatapan mereka bertemu pun, Yangyang hanya menyungging senyum manis yang tak pernah berubah sedari dulu. Dia bisa gila sebentar lagi. Jaemin hanya tak sanggup untuk melanjutkannya lebih dari ini, belum lagi beberapa hari lalu dia tak sengaja mengungkapkan apa yang dia rasa.

Hanya gemas. Jaemin awalnya percaya dia hanya merasa gemas dengan adiknya saat itu, hingga setiap harinya dia tak pernah memikirkan hal ini akan terjadi, menimbulkan kembali kecanggungan di antara mereka di kala memiliki waktu berdua. Namun, rasa tak enak hati membuat Jaemin tak bisa terus menatap mata adiknya, meskipun raut Yangyang tampak memperlihatkan kesedihan, tetap saja dia tak memiliki keberanian.

"Kalian berantem?" tanya Jaehyun yang sedari tadi memperhatikan keduanya yak kunjung bicara, bahkan Jaemin meminta untuk duduk di sebelah Taeyong, berhadapan dengan Jaehyun supaya dia tak perlu melihat Yangyang tanpa disengaja.

"Nggak, Yah," jawab Yangyang lebih dulu. "Aku mau pergi hari ini sama temenku, mau main aja, paling jam sembilan aku pulang." Dia masih tersenyum, menunjukkan dengan jelas kepada sang ayah jikalau kedua anaknya memang dalam keadaan baik-baik saja.

"Malam banget? Jauh?"

Yangyang menggeleng pelan. "Nggak, kok. Udah lama juga nggak main dari kelas dua belas kemarin, soalnya sibuk sama ujian juga."

"Hati-hati, ya? Kamu mau bawa motornya?"

"Eh? Nggak apa-apa, Yah?"

Jaehyun mengangguk. "Nggak apa-apa. Bawa aja. Tapi, ingat, kamu harus hati-hati, lho, ya."

Merasa diberikan lampu hijau untuk meninggalkan rumah cukup lama, Yangyang tersenyum bahagia dan mengangguk antusias, dia tak lagi merasa amat khawatir untuk mencari cara agar dapat keluar sementara waktu demi menyegarkan kepalanya.

Percakapan di meja makan selagi mereka menunggu Taeyong usai dari kamar mandi membuat Jaemin terdiam penuh pertanyaan di kepalanya. Yangyang tidak ada mengatakan apa pun jika dia ingin pergi dengan temannya, sama sekali, itu tidak biasa. Perlahan, embusan napas Jaemin membuat Yangyang kembali menoleh ke arahnya dengan harapan agar sang kakak membalas, tetapi hingga Taeyong datang pun hal itu tak kunjung terjadi.

Yangyang sadar jika Jaemin amat berbeda dengannya, mungkin saja kejadian yang sempat terjadi saat itu benar-benar merenggangkan mereka berdua nantinya. Atau mungkin pula tidak. Dia masih memperhatikan setiap gerakan kakaknya saat sibuk menikmati makanan lezat tanpa memberi ekspresi apa pun, tatapan kosong tertuju ke arah gelas bening berisikan air mineral yang tak terisi penuh. Gerakan mulutnya amat pelan, tak bersemangat sama sekali.

Gue sengaja nggak cerita ke dia karena gue mau sendirian sebentar ....

Dia menyerah untuk mencari celah tatapan Jaemin yang tak kunjung dia dapatkan sedari tadi. Yangyang tidak tahu jika Taeyong justru memperhatikan mereka berdua, menatap secara bergantian karena hal menjanggal di antara mereka berdua belakangan ini terlalu nyata.

"Aku duluan, ya, Bubu, Ayah."

Kala Yangyang berdiri dari duduknya pun, Jaemin tetap enggan melihat ke arahnya. Setiap kali suaranya terdengar, sayatan di hatinya semakin dalam hingga diam-diam dia mengatur napasnya untuk membiarkan derap langkah adiknya tak lagi terdengar. Kini, dia terdiam menatap piringnya yang semakin lama tampak samar karena netranya memanas, menitikkan air yang terpaksa terbendung di kelopak matanya, sembari mengatur napas yang seketika sukar untuk dihela, sukar pula diembuskan.

Jaemin, mungkin dia tak sadar mengenai luka amat dalam yang berasalkan dari cinta pertamanya, adik tirinya sendiri, sosok yang selalu tersenyum dan memperlihatkan jikalau tidak ada apa pun di antara keduanya. Menyingkirkan segala perasaan yang menurutnya tak wajar, dia berusaha bangkit dari duduknya, membiarkan kedua pasang mata yang tertuju saat ini tampak merasa iba. Amat yakin dengan kedua tangannya yang kini gemetar masih sanggup mengangkat piring, langkahnya justru terhuyung sehingga Taeyong bangkit untuk menariknya.

Dia tak mungkin langsung terjatuh begitu saja, dia paksakan kedua sudut bibirnya terangkat getir, menyuguhi pemandangan yang menusuk sanubari kedua orang tuanya saat ini, tanpa suara dia hanya melangkah menuju tempat cuci, dibiarkan air wastafel menangis deras untuk menemaninya saat ini. Di tengah kepalan tangan erat yang melukai telapaknya sendiri, Jaemin tak peduli jika isaknya yang lolos justru terdengar jelas, menggetarkan punggung yang sesaknya menjalar hingga puncak kepalanya.

Tuhan, dia ingin adiknya. Dia hanya ingin adiknya. Sosok cinta pertama yang kabarnya muskil untuk dilepaskan dari akal, disanggupi untuk melebur perasaannya, bahkan rumit diikuti jalan pikirannya. Sosok cinta pertama yang membuatnya amat dijadikan figur berguna di masa kini, menghilangkan segala cemas yang menggerogoti hati hendak hancur.

Tergerak hatinya oleh sang buah hati, Taeyong lebih dulu mengusap pelan punggung anaknya sebelum laki-laki itu masuk ke dalam dekapan hangat, dekapan penuh kasih sayang tiada tara untuk menuntun perasaannya menjadi lebih baik, di keluarkannya segala sesak yang berkabung akan tolakan dari pernyataan bodoh sebab terlontar begitu saja. Jaemin meraung di sana, sembari meremas kuat pakaian yang Taeyong gunakan, bersembunyi di bahu sang ayah yang kini terasa amat basah.

Namun, mereka tidak tahu, sosok yang tengah menyakiti anak sulung mereka pun mendengar ungkapan rasa sedih lewat jerit, ketakutan, serta derai air mata yang tak kunjung henti. Yangyang memejamkan matanya sembari menarik kasar rambut yang kini mengisi sela jemarinya. Kakinya tak sanggup menopang tubuh hingga dia duduk di dekat tangga, menahan isak tangisnya sendiri dengan harapan tak ada satu pun yang menyadari luka yang juga dia rasakan.

Hendaknya dia bicara dengan Jaemin saat ini, mengungkapkan segala keluh kesah di pagi hari seperti biasa, tetapi sudah beberapa hari dia tak sanggup bicara, bahkan Yangyang tak ingin masuk ke kamar karena hubungan mereka yang lebih canggung dari biasanya. Hatinya tertohok ratusan kali, dia sanggup menahan diri meski detakan jantungnya berbohong, tetapi dia tak pernah sanggup melihat sosok yang dia sayangi sepenuh hati juga tersayat oleh ratusan lara yang sama dengannya.

Indahnya kebahagiaan sementara yang dia rasakan, sakitnya kenyataan yang dia terima. Keduanya hanya perlu belajar, mereka pun tahu akan hal itu. Tak perlu ada yang harus menyatakannya kembali pada mereka.

"Kakak ... maaf ...." Suara lirih itu tidak akan terdengar, suara yang keluar di tengah isak tangis yang menggetarkan punggungnya amat hebat. Sebisa mungkin dia meredam suaranya, ketakutan hebat menyeruak sanubarinya tanpa mengucap permisi. Yangyang di tengah lara tak bisa berpikir.

Dia jatuh cinta, dan dia tahu perasaannya terbalas.

Namun, Yangyang merasa jika luka ini lebih dalam dibanding melihat Jaehyun menikah dengan Taeyong saat itu.

100 Stalks of Roses (JaemYang) ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang