Tentu saja dia tak akan pernah lupa bekas luka yang ada di bahu serta perut bagian bawah setiap kali melihat cerminan diri sebelum keluar dari kamar mandi. Yangyang mengembuskan napasnya pelan, dia selalu berpikir jika ayahnya tidak akan mudah menerima orang lain, tetapi jika ini sudah menjadi pilihannya untuk menikah kembali, pasti hal itu adalah yang terbaik. Jadi, seharusnya dia tidak perlu amat khawatir seperti saat ini.
Kala dia keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan mengusapkan handuk yang menggantung di kepala, Jaemin baru keluar dari kamarnya, mereka hanya saling memandang sejenak dan mengerjap. Hingga saat Yangyang mengingat kejadian malam tadi sebab dia tertidur tepat di dekapan sang kakak, wajahnya berpaling lebih dulu untuk menenangkan diri. Mana mungkin dia bisa seenaknya melihat wajah Jaemin dengan jarak dekat seperti ini?
"Mau berangkat bareng?" tanya Jaemin lebih dulu hingga Yangyang mengangguk. "Bentar, ya, aku mandi dulu."
Ditepuknya pelan puncak kepala sang adik sebelum dia melewatinya, Jaemin tidak tahu jika Yangyang berusaha menahan napas setiap kali dia merasakan kasih sayang sang kakak padanya. Belum lagi, di setiap cerita yang dia tahu, saudara tiri cenderung jahat dan ingin sekali mengambil harta dan kebahagiaan tokoh utama, tetapi Jaemin tidak terlihat seperti itu. Apakah itu hanya topeng belaka, dia juga tak ingin berpikir jelek mengenai kakaknya.
Yangyang menghentikan langkah kakinya saat melihat ayah tirinya naik ke lantai atas, menyungging senyum manis hingga kedua lesung di pipinya tampak amat indah. Dia membalas senyum itu, tak bisa ditahan panas yang menjalar di tubuhnya hingga dia mematung, hendak meleleh di tempat melihat wajah tampan Jaehyun saat ini. Cepat-cepat dia membuang pikiran tersebut, mana mungkin dia bisa mengambil suami dari ayahnya yang juga merangkap sebagai guru matematikanya? Namanya bisa langsung menghilang dari kartu keluarga.
"Jaemin udah jalan, ya, Yang?"
"Lagi mandi, Yah," jawabnya berusaha sesantai mungkin.
Jaehyun mengangguk pelan. "Kamu turun duluan aja, Bubu udah masak di bawah."
"O-oh, iya ...."
Sungguh, dia ingin sekali mengutuk dirinya sendiri yang terus gelagapan selama bertemu Jaehyun di rumah ini. Belum lagi, banyak kejadian yang berlangsung hingga perasaannya sering dihinggapi keraguan yang mendalam, meskipun dia amat yakin Jaehyun adalah orang yang bisa menjaga ayahnya, tetap saja dia khawatir.
Perlahan, kakinya kembali melangkah melewati satu per satu anak tangga hingga sampai ke ruang makan yang berhadapan langsung dengan dapur. Yangyang mengerjap pelan saat memeriksa jika tidak ada siapa pun di sana. Dia pikir, dia yang justru ditinggalkan saat ini, tetapi rasanya amat tidak mungkin.
"Adek?" Taeyong baru saja keluar dari kamarnya, kemudian menyungging senyum ke arah anaknya yang tengah menoleh. "Ayah sama Jaemin? Masih di atas?"
"Iya, tadi Ayah bilang ke aku kalau ke bawah duluan aja."
Taeyong mengangguk pelan mendengar jawaban anaknya. "Hari ini kayaknya Bubu pulang agak malam, deh. Nanti, kalau kamu mau pulang saya ayah, pulang bareng aja, ya? Atau mau sama kakak aja?"
"Em ... sama kakak aja, deh. Atau, aku pulang sendiri juga nggak masalah, kok!"
"Jangan pulang sendiri, kita nggak tahu di jalan nanti kamu justru ketemu sama siapa, kan?"
Sejujurnya, Yangyang yang justru takut jika sewaktu-waktu Taeyong yang justru bertemu dengan sosok yang mereka selalu hindari sedari dulu. Namun, dia hanya bisa mengangguk tanpa mengutarakan apa yang dia rasakan.
Mereka berdua duduk lebih dulu, berhadapan di meja makan yang cukup dengan empat orang, sesuai dengan keramaian keluarga mereka saat ini. Pandangan Yangyang teralih ke arah magnet kulkas dengan bentuk papan selancar dan ikan di sana, magnet kuat yang selalu menjadi saksi bisu bagaimana keadaan rumah ini dalam jangka waktu yang lama.
Sebetulnya, mereka bisa saja pindah dari tempat ini, sayangnya Taeyong mengatakan jika rumah ini penuh akan kenangan yang selalu ingin dia jaga sedari dulu. Yangyang sering kali merasa amat ragu untuk keluar dari kamarnya kecuali di waktu tertentu, itu pula yang membuatnya terus ketakutan sewaktu malam dengan lampu yang padam. Dia tak dapat melihat apa pun, hingga dia merasa hidupnya penuh dengan mata yang mengawasinya secara diam, itu adalah hal menyebalkan yang pernah dia rasakan selama hidup.
Jaemin sampai lebih dulu di bawah, tak tahu jika ayahnya sedari tadi menunggu di atas hingga dia hanya tertawa canggung mendengar celotehan Jaehyun yang menanti sedari tadi di depan kamarnya untuk mengajak turun. Akan tetapi, suasana tak lagi canggung atau penuh dengan rasa khawatir, tepat saat Jaemin mengajak adiknya berbicara hingga mereka justru tertawa. Duduk bersebelahan sembari mendengar cerita panjang lebar dari mimpi yang Yangyang lewati, Jaemin mengangguk dan menanggapi sesekali, membuat adiknya senang sendiri.
Dia memang menginginkan seorang adik yang berisik, dia yakin suatu saat nanti dia akan membutuhkan adiknya untuk bertahan hidup, tetapi dia diberikan sosok adik dengan cara seperti ini, dia sudah merasa amat bahagia. Bahkan, Taeyong sempat terkejut karena melihat kedekatan mereka, belum lagi raut bahagia dengan senyum lebar dari anaknya amat jarang dia tangkap dengan pandangannya sendiri. Perlahan, dia membuka diri, memang benar meninggalkan mereka dalam satu ruangan supaya dapat berbicara berdua.
Sesi sarapan hari ini dipenuhi dengan kehangatan, meskipun Yangyang masih merasa gugup setiap Jaehyun melontarkan pertanyaan padanya, hal itu tak mengundang curiga dari siapa pun, hanya berdasarkan pengetahuan mereka mengenai besarnya rasa tidak percaya yang ada di diri Yangyang, mereka hanya menyimpulkan jika dia takut untuk kembali membuka hati dengan ayah yang baru. Jaemin sering menggenggam tangannya untuk menenangkan, menyungging senyum manis yang tak lama menular pada adiknya, bahkan kembali sibuk dengan makanan mereka di tengah perbincangan hangat.
"Kelas aku kebanyakan pagi sampai UAS nanti," kata Jaemin kemudian kembali menyuap makanan yang menggunung di sendoknya.
"Yangyang persiapan buat ujiannya gimana?" tanya Jaehyun penasaran, mengabaikan Jaemin yang mengerucutkan bibir ke arahnya.
"Aman, Yah."
"Nanti aku antar," tawar Jaemin padanya. "Tempatnya lumayan jauh. Kamu dapatnya yang pagi, kan? Nanti kita berangkat subuh sekalian cari kue basah," imbuhnya yang mengundang tawa Yangyang.
"Iya, nanti kita jalannya subuh."
"Kalian mau berangkat subuh, ini udah mau jam setengah tujuh aja belum berangkat," kata Taeyong menginterupsi kegiatan minum kedua anaknya yang kini tertawa pelan.
Yangyang menyambar tasnya lebih dulu, kemudian Jaemin mengikuti dari belakang. Mereka berpamitan untuk pergi lebih dulu, berbeda dengan kedua orang tua mereka yang menatap haru punggung kedua anak remaja yang sibuk dengan dunia sekolah.
Andaikan sedari dulu hidupnya semanis ini, mungkin Yangyang tidak akan menutup dirinya hingga seperti ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
100 Stalks of Roses (JaemYang) ?
Fanfiction[Warn! B×B] Yangyang itu jatuh cinta dengan Jaehyun---guru pelajaran Matematika yang juga merupakan wali kelasnya kala bangku tahun pertama di SMA---tetapi, cinta pertamanya justru menikah dengan ayahnya. Lantas, rumahnya pun kini dihuni oleh empat...