Derap langkah Jaemin semakin menyapa gendang telinga Yangyang yang baru saja bangun dari tidurnya, dia hendak bersiap membantu adiknya siang nanti, untuk saat ini dia pun harus mengajak sang adik sarapan di bawah. Namun, melihat bagaimana Yangyang dengan pakaian kebesaran hingga bahu kirinya sedikit terekspos, cepat-cepat dia menggeleng kuat demi menjaga kewarasannya.
"Adek, makan dulu," katanya sembari bersandar di pintu yang tengah terbuka.
"Iya ... sebentar ...."
Jaemin tak tahu jika perasaannya semakin senang setiap kali wajah Yangyang yang baru bangun tidur adalah hal pertama yang datang di setiap hari berganti. Kini, rambut acak-acakan itu tampak menggemaskan, dia tak sanggup untuk menahan diri lebih lama dan tidak mengusap puncak kepala sang adik seperti biasanya.
"Kakak masak apa?" tanyanya sewaktu dia bangkit, masih tampak berantakan dan menggemaskan, usai mengusap mata secara asal hingga pandangannya tak lagi memburam. "Baunya enak, kecium sampai di sini."
"Yang kamu cium itu bau aku kayaknya, Yangyang ...."
"Aku mau makan Kakak aja, boleh?"
"Nyawa kamu kayaknya ketinggalan di mimpi."
Yangyang tertawa pelan mendengar respon dari kakaknya, kemudian dia kembali melanjutkan langkah gontai nan pelan menuju kamar kecil untuk mencuci muka supaya nyawanya kembali datang dan tertarik dari dunia fantasi atas perintah otaknya. Dia harus mengisi perut sebelum waktunya meminum obat yang telah kakaknya sediakan sedari kemarin.
Pandangannya mengawang ke langit-langit kamar mandi, menampakkan warna lampu yang selalu menyala kecuali saat listrik padam. Yangyang kembali membuka mulut amat lebar, memotong air mata yang hendak keluar karena bendungan matanya tak sanggup menahan volume dari cairan tersebut. Dia tak tahu jika air di kamar mandi amat dingin sesampai kedua tangannya sedikit membiru hingga ungu usai mengenai air dari keran.
Sebelum sampai ke depan tangga, dia melingkarkan kedua lengannya di perut sang kakak, membiarkan Jaemin terkesiap dan memilih untuk terdiam di tempat. Tinggi mereka tak berbeda amat jauh sehingga Yangyang bisa merasakan langsung hidungnya menghirup segala aroma yang ada di tengkuk kakaknya. Laki-laki itu tertawa pelan sewaktu Jaemin mengusap punggung tangannya sembari tersenyum manis meskipun Yangyang tak dapat melihatnya secara langsung.
"Makan dulu, Yangyang. Kamu manja banget kalau lagi sakit begini. Untung aja ada aku di rumah, kalau nggak? Kamu mau manja ke siapa?"
"Kalau aku sendirian, aku cuma tidur sampai besok, nggak makan sama sekali cuma minum aja, terus juga ... aku nggak akan nyalain lampu, datang ke dapur, buka kunci pintu, atau panasin mobil sama motor," jelasnya panjang yang kembali mengundang geli yang menyeruak di perut kakaknya. "Makasih udah milih diam di rumah buat jaga aku, ya, Kak? Nanti, gantian. Aku yang jagain Kakak sampai Kakak ngerasa baikan."
"Iya, iya. Udah, yuk? Aku tetap buatin kamu bubur, jadi dihabisin, ya?"
"Kayak kemarin?"
Jaemin mengangguk pelan, dekapan Yangyang tak kunjung lepas dari perutnya. "Iya, kayak kemarin. Lepas dulu, ya? Nanti kamu jatuh, kita mau turun tangga soalnya."
"Oh, iya."
Perlahan dekapan itu melonggar hingga Jaemin dapat berbalik untuk mendaratkan kecupan singkat di pipi adiknya sebelum turun lebih dulu, meninggalkan Yangyang bergeming di sana dengan kedua mata yang mengerjap heran karena tengah memposes yang baru saja terjadi padanya. Akan tetapi, dia langsung menggeleng kuat dan mengikuti langkah kakaknya untuk turun ke bawah.
Nuansa hangat yang diciptakan Jaemin tak pernah membuatnya tidak takjub setiap harinya, bahkan kini dia justru terdiam di salah satu kursi, memperhatikan kakaknya yang menyendoki berbagai makanan untuknya, dia hanya menunggu karena Jaemin tak ingin adiknya melakukan apa pun untuk sementara waktu. Dia hanya perlu istirahat hingga merasa lebih baik entah kapan usainya hal itu.
Kedua tangannya kini memangku wajah, siku menumpu di atas meja beralaskan kain biru gelap yang sama dengan karpet yang kini dia pijak, tak berbeda dengan wana karpet beludru di kamar Jaemin. Yangyang masih membiarkan netranya sibuk menelaah gerakan kecil yang Jaemin lakukan meskipun itu bukan tertuju untuknya. Dia tersenyum sendiri kala Jaemin merenggangkan tubuh, membuat pakaiannya sedikit terangkat dan menjiplak bentuk tubuh sang kakak yang indah.
"Kamu udah enakan, Yang? Atau masih pusing?" tanya yang lebih tua untuk membuyarkan pikiran sang adik mengenai dirinya. "Muka aku ada sesuatu sampai kamu ngelihatinnya begitu?"
"Nggak, kok, aku cuma senang aja lihat muka Kakak. Aku udah enakan, tidur seharian emang obat paling manjur."
"Baguslah. Makan, Dek."
"Kakak sering kepikiran gimana hidup kalau ayah nggak ambil keputusan begini?"
Jaemin menelan makanan yang selesai dia kunyah, kemudian menaikturunkan kepalanya hingga Yangyang menaikkan kedua alis penuh dengan rasa ingin tahu.
"Aku sering kepikiran, mungkin aku udah gila kalau nggak ketemu kamu atau bubu. Biasanya aku ngerjain apa-apa sendiri, dan cuma aku yang paham aku ngapain dan mau dapatin apa. Pas ketemu kamu, rasanya beda. Aku nggak berjuang sendirian. Aku juga nggak akan bertahan sampai sini."
Kini, dia mengambilkan segelas air hangat untuk adiknya, diletakkan di sebelah piring yang belum Yangyang sentuh sedari tadi. "Sekarang, kamu makan. Nanti malah telat minum obatnya, terus nggak sembuh-sembuh. Ngerti, kan?"
Yang lebih muda hanya dapat mengangguk pelan, kemudian beralih memberi seluruh atensinya kepada makanan yang ada di atas piring. Tak ada suara dari mulut mereka, sesekali pun hanya ada suara denting antara alat makan yang mereka gunakan. Tanpa kecanggungan, pikiran mereka terbelah menjadi dua bagian, tetapi kini Yangyang tak kunjung angkat bicara mengenai hal yang menjanggal di dalam hidupnya saat ini.
Melihat Jaemin dan dapat menuaikan semua kasih sayangnya sebelum kedua orang tua mereka kembali, sebenarnya itu adalah keputusan buruk, dia yakin jika suatu saat perasaannya tak akan memudar sehingga pikirannya justru beralih ke segala kemungkinan yang akan menyakitinya. Meskipun begitu, Yangyang tak pernah menyesali apa yang dia putuskan saat ini, memperhatikan sang kakak sedari dekat, merasakan afeksi yang berbalik kepadanya dalam waktu singkat yang kini menjadi alasannya untuk bahagia.
Jaemin membalas tatapannya, persis menuju ke netra adiknya, teramat indah untuk diabaikan. Seolah dirinya yakin tak akan ada tatapan yang sama di orang berbeda.
"Yangyang?" panggil Jaemin sehingga lamunan adiknya melebur begitu saja. "Kenapa? Nggak enak? Kamu mau makan yang lain?"
"Nggak. Enak, kok. Aku cuma mikir aja tadi. Mukaku aneh, ya?"
Dia menggeleng pelan. "Biasa aja, cuma kamu bengong. Kupikir ada apa."
Yangyang mengangguk pelan sebagai jawaban, tetapi dia tak lagi bersuara sehingga Jaemin tak bisa melepas pandangannya dari sang adik. Setiap penuturan katanya terdengar berbeda, dia yakin jika ada hal yang menjanggal di pikiran sang adik dan itu memiliki dampak yang besar.

KAMU SEDANG MEMBACA
100 Stalks of Roses (JaemYang) ?
Fanfiction[Warn! B×B] Yangyang itu jatuh cinta dengan Jaehyun---guru pelajaran Matematika yang juga merupakan wali kelasnya kala bangku tahun pertama di SMA---tetapi, cinta pertamanya justru menikah dengan ayahnya. Lantas, rumahnya pun kini dihuni oleh empat...