抖阴社区

10

215 28 0
                                        

Warn: cheating

~oOo~

Satu hal yang tak pernah mereka ekspektasikan selama berpergian; hujan deras di kala mereka sampai ke tempat tujuan.

Sebenarnya, bisa saja Jaemin mengajak Yangyang pergi dari toko buku yang tak jauh dengan tempat makan cepat saji, tetapi Yangyang justru meminta agar makan di sana saja sembari menunggu hujan reda. Jaemin pun hanya mengikuti keinginan sang adik, kemudian mereka masuk ke dalam untuk mencari tempat duduk di tempat makan yang tak terlalu ramai ini. Lagi pula, di hari Sabtu lebih asyik memilih waktu berdiam di rumah sebagai waktu istirahat, belum lagi sore hari justru hujan hingga menambah tingkat kemalasan untuk angkat kaki dari rumah.

Yangyang mengambil ponselnya dari saku celana, kemudian membuka media sosial dan digulirnya layar ponsel menggunakan ibu jarinya, dia masih menunggu Jaemin yang memesan makanan di lantai bawah tanpa berpikir apa pun. Kini, pandangannya teralih ke arah kaca yang terhantam oleh tetesan hujan yang terjatuh dari langit, amat banyak hingga tak ada celah bagi siapa pun untuk tak terkena hujan sewaktu mereka keluar tanpa pelindungan diri.

Sesampai Jaemin datang, Yangyang menyungging senyumnya, dia tak tahu jika pesanan mereka justru akan datang dengan waktu cepat, sesuai dengan namanya, restoran cepat saji. Keduanya tak berbicara apa pun selagi menikmati makanan bersama di tengah derasnya hujan. Terlalu sibuk dengan makanan sendiri hingga tak peduli dengan sekitar, memang paling benar mereka harus melakukan ini.

Jaemin menoleh ke arah adiknya yang sibuk mengunyah, sisa saus menempel di ujung bibirnya, itu tampak menggemaskan. Dia hanya tertawa pelan dan membiarkan Yangyang sibuk dengan makanannya, kemudian tersadar jika ada yang taj beres sehingga ujung jari telunjuknya mengusap pelan ujung bibir supaya menghilangkan jejak saus sambal di sana. Pandangannya teralih ke arah Jaemin yang sibuk dengan kopi di tangannya, kopi panas dengan asap tipis yang masih berterbangan. Mereka tak saling bicara kendati tatapan keduanya bertemu dalam waktu yang lama.

"Aku kadang suka takut kalau ngajak kamu jalan, Yang," kata Jaemin sewaktu dia mengetahui Yangyang selesai dengan makanannya. "Kayak, kamu suka atau nggak pergi sama aku, ke tempat yang aku mau, atau waktunya pas apa nggak. Jadinya, buat pertama kali aku beneran berusaha nggak peduli gimana respon kamu nanti, yang penting aku ajak keluar dulu."

"Aku nggak ribet, kok, orangnya. Kalau Kakak mau ajak aku ke mana pun, aku ayo aja. Aku nggak pernah mikirin aku bakal suka apa nggak, aku jalan aja anaknya."

"Bubu juga bilang gitu."

Ada tawa pelan yang keluar dari mulut Jaemin, Yangyang mendengarnya meski samar karena kebisingan hujan menghantam berbagai benda dan percakapan orang lain di ruangan yang mereka tempati. Samar-samar dia melihat jika ponsel Jaemin di atas meja menyala, menampakkan adanya pesan masuk, tetapi laki-laki itu tidak membacanya sama sekali, hanya melirik dan kembali fokus kepada adiknya. Kali ini Yangyang yakin, siapa pun pasangan Jaemin di masa depan, dia akan bahagia.

Entah mengapa dia selalu memperhatikan siapa pun yang tengah bicara dengannya akan terganggu dengan ponsel mereka, lalu mereka akan memilih ponsel sementara waktu sedangkan Yangyang tak akan melakukannya sebab hal itu terasa menjengkelkan. Lagi dan lagi, Jaemin membuat hatinya tersentuh dengan tindakannya, mungkin itu adalah hal wajar karena mereka berdua kurang suka berkomunikasi lewat ponsel.

"Nggak dibalas dulu, Kak?" tanya Yangyang yang mendapati gelengan pelan dari kakaknya. "Kenapa? Nggak takut kalau penting?"

"Hari libur, aku nggak ada janji sama siapa pun. Lagian, aku lagi sibuk sama kamu, kenapa harus mikirin orang lain sekarang? Mereka bisa nanti, aku mau habisin waktu sama kamu."

Yangyang tidak tahu, kategori kakak yang sebenarnya akan melakukan apa jika hal ini terjadi, tetapi mendengar jawaban Jaemin tadi, perasaannya menghangat dan membuat semua hawa dingin yang berusaha mengguncangnya pergi begitu saja. Ini amat membahagiakan.

"Oh iya, kalau kamar kamu udah selesai di renovasi, kamu mau pindah atau ... nggak?"

"Pindah aja, itu kamar Kakak, kan."

"Tapi, jadinya sepi banget kalau kamu pindah, Yang." Jaemin memangku wajahnya dan masih si uk menatap adiknya yang tampak gelagapan karena perkataannya tadi. "Aku senang banget waktu kita bakal sekamar, dan pas sekamar malah nggak kalah senang soalnya seru aja berbagi ruangan sama kamu. Kamu gimana? Risi, ya, kalau ada orang lain di kamar kamu?"

"Biasa aja, sih. Tapi, kadang aku ngerasa takut kalau aku yang justru ganggu nantinya. Kayak, kamar itu tempat paling nyaman buat pemiliknya, sedangkan aku malah ngerecokin, nanti Kakak malah nggak suka tinggal di kamar sendiri karena aku."

"Anehnya, aku malah suka kalau kamu keluar masuk kamarku."

"Kenapa?"

"Dulu, aku selalu sendiri," katanya memulai cerita hingga Yangyang memasang kedua telinganya dengan baik untuk mendengarkan. "Ayah sibuk, ibu sibuk juga ... ya, sibuk selingkuh sana sini. Aku sering lihat ibu bawa pulang cowok lain‐--kebanyakan lebih muda---aku mau bilang ayah, tapi sama aja hancurin keluarga sendiri. Aku ngerasa serba salah, nggak punya teman cerita juga. Pas tinggal sama kamu, aku juga takut malah ganggu, ternyata nggak."

Jaemin merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum melanjutkan cerita dengan mengingat masa lalunya. "Ibu aneh, aneh banget. Ayah udah sekeren itu  malah milih orang lain. Katanya karena kesepian, tapi itu salah. Aku nggak terima gitu aja. Makanya, dulu aku sempat berantem besar sama ibu karena nggak setuju masalah bawa orang lain terus kalau pulang dan malah ngelakuin hal yang nggak-nggak. Sampai, akhirnya aku bilang mendingan mereka berdua cerai aja.

"Aku nggak nyesal sama sekali habis bilang itu. Aku beneran ngerasa mendingan aku belajar terus-terusan buat diri aku sendiri, buat cepat pergi dari rumah, buat nunjukin kalau aku juga bisa berkembang meski dapat perlakuan dari materi aja. Cuma, hal itu malah buat ibu makin jadi, Yang. Ibu malah nggak mau pulang sama sekali, alasannya kerja, padahal main sana sini sama selingkuhannya. Aku benci banget lihatnya."

Cerita panjang itu membuat Yangyang menggenggam erat tangan kakaknya, dia menyungging senyum manis untuk menenangkan. "Kalau nanti aku balik ke kamar dan Kakak mau tidur sama aku, boleh, kok. Kakak boleh masuk ke dalam dan peluk aku kayak biasa. Kakak nggak akan sendirian lagi."

Dia tertawa pelan mendengar perkataan adiknya yang tampak berusaha membuatnya merasa membaik. Jaemin mengangguk pelan karenanya, dia juga tak mengerti mengapa sang adik justru amat peduli padanya, padahal dia bisa saja hanya peduli dengan dirinya sendiri hingga kapan pun.

Andaikan saja mereka bukan saudara, mungkin Jaemin akan mendekati Yangyang untuk dijadikan kekasihnya.

100 Stalks of Roses (JaemYang) ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang