抖阴社区

11

222 30 12
                                        

Berbagai hal terjadi selama beberapa bulan terakhir, bahkan Yangyang tak tahu jika perasaannya semakin membesar. Buktinya, dia gelagapan setiap kali Jaemin membalas tatapannya setiap kali dia melirik lebih dulu. Wajah kelewat merah itu tentu Jaemin lihat dengan jelas oleh kedua matanya, lagi pula jarak mereka hanya terbentang tak sampai satu meter saat ini, kaki mereka saling bersentuhan dengan kepala yang terebah di atas bantal.

Angin lembut dari pendingin ruangan membuat Yangyang sedikit mengantuk, dia memejamkan matanya perlahan sebelum hendak pergi ke alam mimpi, tetapi guncangan kasur itu membuat pandangannya sedikit terbuka meski tak ada tenaga yang cukup untuk melakukannya. Dia tak menoleh ke arah Jaemin yang bangkit dari kasurnya, mengambil selimut dan menutupi sebagian tubuh adiknya yang mulai kehilangan kesadaran.

Usapan di pipinya terasa amat hangat, Yangyang yakin jika dia tidak bermimpi, sesampai adanya kecupan mendarat di pipi kemudian sepasang bibir itu berdiam diri di dahinya. Kini, dia tidak yakin jika itu adalah kenyataan, karena Jaemin tidak pernah---bahkan tidak mungkin melakukannya.

Hingga kapan pun, Yangyang yakin jika Jaemin tidak akan melakukan hal tersebut padanya.

Sewaktu pintu berdecit, dia mulai membiarkan alam bawah sadarnya mengambil alih seluruh tubuh untuk beristirahat, banyaknya fantasi menggemaskan masuk ke dalam pikirannya, berubah menjadi visual yang sulit dijelaskan oleh perkataan. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat tanpa dia ketahui, mungkin saja memang sebuah sihir dari Jaemin hingga dia dapat tertidur dan bermimpi indah jauh lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya.

Dalam hati, Jaemin hendak mencaci maki dirinya sendiri yang mengikuti keinginannya untuk memberikan ciuman sebelum tidur pada adiknya. Dia amat bahagia hanya dengan melihat dan menyadari Yangyang adalah bagian dari hidupnya dan tak akan tergantikan. Sayangnya, setiap kali laki-laki itu berusaha menenangkannya, Jaemin selalu mengingat raut wajah tak tega sang adik kepadanya.

Dia tahu dia jatuh cinta.

Namun, dia tak bisa menjauhkan diri dari adiknya, atau dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

Kriminal, Jaemin .... Ini tindak kriminal ....

Tak seharusnya dia menyertakan perasaannya yang memandang Yangyang lebih dari saudara.

~oOo~

"Kadang, gue suka heran sama lo yang milih buat denial begini," kata Renjun yang menunggu makalah tugas mereka selesai dijadikan fail dalam satu jilid.

"Dia adek gue."

"Adek tiri," koreksinya kemudian merogoh saku untuk membayar kepada penyedia jasa. "Makasih, ya, Mas." Pandangannya kembali lagi ke arah Jaemin yang terdiam karena kelimpungan dengan perasaannya sendiri. "Gue udah yakin kalau lo bakal begini, Jaem. Lo itu nggak pernah kuat sama yang gemesin gitu. Pas pertama kali gue lihat pun, gue yakin dia emang tipe lo banget. Gue yakin, lo sempat mikir kalau Yangyang bukan adek lo, pasti lo mau deketin, kan?"

Perlahan, Jaemin mengangguk, dia tak menyangkal sama sekali karena perasaannya memang selalu mengatakan ke arah sana. Belum lagi ejekan Haechan itu seperti doa nan harapan supaya dia jatuh cinta pada orang lain agar bisa menjalani kehidupan yang tak terlalu suram.

"Nggak semua orang bakal melakukan hal kayak nyokap lo," katanya sembari menepuk pelan punggung sahabatnya yang tampak lesu. "Ayolah, Yangyang nggak pernah lihat abang kesayangannya lesu, loyo, nggak jelas kayak sekarang. Lo buat dia sedih tanpa lo sadar, lho."

"Berisik."

"Lo nggak ada ngelakuin apa-apa ke dia, kan?"

Renjun melangkah lebih dulu sembari mengangkat tangan kanannya sedikit untuk memberikan perhatian jika dia hendak lewat kepada kendaraan yang ada di jalan raya. "Atau lo ada ngelakuin makanya lo bisa bilang ke gue, 'Jun, kayaknya gue suka sama Yangyang'?"

"Iya ...."

"Iya?"

"Iya ... ada."

Kala mereka berhasil melewati jalan raya, Renjun mengernyit dan menatap penuh permintaan pada Jaemin supaya dia menjelaskan lebih lanjut atau dia akan menyimpulkannya sendiri. Akan tetapi, itu justru membuat Jaemin mengalihkan pandangannya, enggan menjawab.

"Jaem, lo gila?"

"Gue cuma cium pipi sama keningnya doang, pas tidur pula. Gue nggak ganggu atau buat dia ngerasa risi, sama sekali nggak."

"Tapi, tetap aja! Dia masih adek lo!"

"Gue nggak pernah dapat perhatian kayak gitu, Jun. Gue tahu gue salah. Lalu, gue harus apa? Ngejauh secara tiba-tiba dan buat dia sedih? Nggak, kan? Gue ... gue sayang sama dia ...." Jaemin mendengkus frustrasi dengan perasaannya yang tak karuan saat ini. "Gue sayang banget sama dia ...."

Tanpa ucapan apa pun, Renjun hanya bisa merangkulnya, mengajaknya untuk mempercepat langkah dan menuntun supaya Jaemin tak merasa disalahkan lebih lanjut. Dia tak paham dengan konsep percintaan yang terjalin karena sentuhan yang tak pernah dia rasa. Jaemin yang selalu sendirian, kini justru merasa amat bahagia sebab memiliki adik dan belum lagi amat perhatian padanya. Meskipun Renjun yakin jika Jaemin sendiri hanya berusaha sebaik mungkin untuk menjadi orang yang dapat diandalkan.

Mereka berdua tak lagi berbicara, layaknya tidak membicarakan apa pun, wajah Jaemin kembali berseri dan menyambar semua pembicaraan temannya yang lain. Dia memang seperti itu sedari dulu, sisi rapuhnya mungkin hanya dia tunjukkan kepada keluarga, atau dirinya sendiri hingga dia lebih suka mengurung diri sembari menuliskan segala keresahan yang ada di pikirannya supaya dapat terbuang nantinya. Namun, sisi itu justru membuat Renjun tak tega melihat teman dari semasa SMP-nya justru menghadapi segalanya dengan seorang diri.

Haechan sadar jika wajah Renjun tak tampak baik, dia hendak mengajaknya bercanda, tetapi laki-laki itu lebih dulu angkat kaki agar menjauh dari sana. Hal itu membuatnya kembali menatap Jaemin yang masih sibuk berbicara dengan Jeno mengenai presentasi kelompok mereka nanti, semakin lama pun dia semakin yakin mengenai ada hal yang tidak beres.

"Jaem," panggilnya yang jelas Renjun juga mendengar. "Minta nomor adek lo, dong, gue mau deketin dia."

Sontak, tatapan mematikan itu dia dapatkan, tidak hanya dari Jaemin tetapi Renjun juga melihatnya seolah hendak menelannya hidup-hidup sekarang juga. Hal itu memberikannya kesimpulan singkat mengenai hal yang mereka berdua bicarakan tadi.

Lagi pula, dia sudah sadar sedari awal, tingkah Jaemin itu tak seperti kepada seorang adik, melainkan seorang yang ingin dia jaga dan nikahi di masa depan. Caranya menatap Yangyang pun amat berbeda. Dia memang tak mengerti jelas mengenai perihal hati, tetapi Haechan yakin jika penglihatannya tak mungkin salah.

"Nggak. Dia juga ogah sama buaya kayak lo," kata Jaemin sembari mendelikkan matanya, kelewat sebal dengan permintaan Haechan tadi.

"Lho, gue aja belum coba?"

"Jangan. Gue nggak mau adek gue dideketin orang modelan kayak lo. Lawan gue dulu kalau mau."

Hal itu mengundang tawa Haechan yang tak terlalu nyaring. Dia mengembuskan napas saat melihat wajah Jaemin yang serius dengan perkataannya. Mungkin saja memang hanya terkaannya, atau mungkin memang benar.

Dia yakin jika Renjun meminta izin mendekati adiknya, Haechan amat yakin!

100 Stalks of Roses (JaemYang) ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang