Duduk di bangku dengan pakaian putih biru, dia ingat jelas mengenai hujan yang datang dan dia saksikan lewat jendela. Yangyang memangku wajahnya, melihat langsung kilat yang tak lagi menyeramkan baginya. Dia tak takut apa pun, kecuali pulang ke rumah sebelum ayahnya kembali. Hanya saja, hal itu mengganggunya, tepat kertas di atas meja yang menunjukkan nilai tertera di sana.
Sungguh, dia tidak ingin kembali.
Yangyang tidak peduli akan dimarahi seperti apa, entah mendapat perlakuan buruk secara fisik ataupun verbal, tetapi jika dikunci selama satu hari penuh di dalam gudang rumahnya yang gelap, penuh debu, diikat di sana agar tidak menyentuh apa pun dan tak berpikir keluar secara diam-diam, dia tidak bisa. Mulutnya pun selalu terkunci setiap kali ayahnya bertanya apakah dia baik-baik saja atu tidak.
Hawa yang dikeluarkan ibunya, dia bisa mati di tempat tanpa persiapan apa pun.
Tempat gelap bukanlah hal buruk baginya, hanya saja setiap kali dia diam di sana, terpaksa menerima dinginnya ruangan hingga tubuhnya tak sanggup bergerak, atau bahkan hanya harus belajar di ruangan dengan pencahayaan minim, dia takut jika sewaktu-waktu kepalanya tak sanggup menerima apa pun. Kejadian yang berlangsung sedari dia berusia delapan tahun terasa menyakitkan, tidak sampai enam tahun lamanya hukuman itu selalu didapatkan, ketakutannya semakin menjadi.
Perlukah dia menyalahkan ibunya karena mendapatkan perlakuan seperti ini? Atau dia harus menyalahkan diri sendiri karena masih tak bisa meraih nilai sempurna di setiap mata pelajaran?
Entah bagaimana, dia justru merasa bersyukur karena ayahnya pulang lebih cepat, menemukannya yang tertimpa barang-barang di dalam gudang itu. Tanpa berpikir panjang dengan luka di sekujur tubuhnya, Taeyong membawa anak semata wayangnya untuk pergi ke rumah sakit sebelum terlambat. Dia tak mengingatnya dengan jelas, bagaimana semua luka itu dia dapatkan, atau bagaimana sakit yang menusuk beberapa bagian hingga dia hampir mati kehabisan darah. Semua itu tak ingin diterimanya untuk masuk ke dalam kenangan.
Kini, suara monitor itu terdengar lebih berantakan dari biasanya, dia menangkap beberapa orang yang sibuk membantunya untuk tetap sehat. Ayahnya tak menampakkan diri sama sekali, matanya hanya menjelajah ke segala arah hingga menemukan Jaemin yang merebahkan kepalanya di pinggir ranjang, duduk di atas kursi dengan kedua tangan yang terlipat sebagai bantal kepalanya.
Dia mengangkat tangannya, mengusap pelan puncak kepala Jaemin yang tak kunjung membuka matanya. Ventilator yang masih terpasang mulai mengeluarkan embun lebih banyak dari biasanya, dia bisa bernapas lebih bebas di tengah rasa sakit yang ada di tubuhnya saat ini. Untung saja dia dapat kembali istirahat dengan tenang, tak perlu memikirkan apa yang telah terlewati saat itu.
Pandangan Yangyang teralih ke arah kalender meja. Rentetan tanggal dan tahun di sana berhasil membuatnya mengerjap pelan, kebingungan sendiri dengan kelalaian besar yang terjadi di rumah sakit. Namun, di sana terlihat jelas jika ada tanggal yang dilingkari dan menunjukkan kalau dia masuk dan menempati ruangan ini, kemudian tanda silang sepanjang dua kolom.
Dua pekan ...? Ini di rumah sakit? Tapi, kenapa bisa?!
"Yangyang?"
Jaemin bangkit dari tidurnya, melihat wajah adiknya secara langsung dan melihat netra bercahaya itu kembali menatapnya lurus saat ini, merasa terpanggil oleh sosok itu. "Yang ... yang?"
Dia tak menjawab, tenggorokan gersangnya sulit menarik napas untuk menggetarkan kembali pita suaranya. Hal itu membuat Jaemin berdiri dari dusuknya, mengusap pelan peluh yang ada di pelipis laki-laki itu sembari menyungging senyum. Tangannya terasa bergerak, tak seperti biasanya yang dia tunggu selama ini.
"A-aku panggilin dokter sebentar, ya?" katanya kemudian meninggalkan ruangan tersebut secepat yang dia bisa.
Keheningan kembali terasa untuknya, dia benci saat semuanya hampa begitu saja. Jika kenangan yang sempat tersimpan di kepalanya merupakan hal yang justru bermain di alam mimpinya, seharusnya Jaehyun dan Taeyong belum memiliki ikatan pernikahan, tetapi hal itu akan terjadi sebentar lagi. Memang pada dasarnya dia tidak boleh merasakan kebahagiaan yang telah terjadi di mimpinya.
Yangyang mengembuskan napas panjang, diterawangnya langit-langit putih polos penuh dengan aroma obat dan cairan pel khas sekali seolah mengangkat semua kuman yang bersinggah di tempat ini. Dia tak lagi ingin peduli dengan apa yang telah terjadi, lagi pula jika itu bukan kenyataan dia seharusnya bersyukur begitu saja, bukan berpikir ketakutan lebih dalam karena tidak akan mendapat kesempatan menerima cinta dari kakaknya.
Tidak, calon kakaknya.
Tak lama, Jaemin datang bersama dengan dokter serta perawat yang menggunakan pakaian rapi, tetapi mata mereka jelas tampak kewalahan dengan besarnya kantong di sana, Yangyang yakin itu bisa menampung uang koin. Wajah Jaemin tampak kaku, Yangyang menangkapnya dengan jelas, tetapi dia tak kunjung mengerti apa yang sebenarnya terjadi hingga dia berada di tempat ini.
Benarkah dia kewalahan saja dan terbentur kemudian tak sadarkan diri? Atau justru ada hal yang lebih daripada bayangannya sendiri?
"Kamu ingat dia siapa?" tanya dokter itu saat menunjuk ke arah Jaemin yang berdiri tak jauh darinya.
"Jaemin ...?"
Ada embusan napas lega dari laki-laki itu, dia menyentuh dadanya sendiri untuk menenangkan gemuruh jantung yang degupannya berantakan dari luar. Mengetahui hal jika Yangyang tak lupa dengannya, dia sudah amat bahagia hingga saat ini dia tak sanggup menahan diri karena kedua kakinya amat lemas.
"Hal terakhir yang kamu ingat?"
"Nggak bisa napas, terus gelap," jawabnya kelewat jujur.
Perbincangan dokter tadi dengan Jaemin tidak dapat Yangyang mengerti sepenuhnya, dia kembali memandangi langit-langit untuk menenangkan diri, kemudian membiarkan kenangan berputar jelas di kepalanya mengenai apa yang benar-benar terjadi sebelumnya. Sayangnya pula, Yangyang tidak dapat menemukan apa pun, dia benar-benar merasakan jika ingatan dan mimpinya bersatu, bercampur padu hingga dia tak tahu yang mana yang dapat dia sebut sebagai kenyataan atau halusinasi belaka. Jika saja dia berdiam diri tanpa perlu berpikir, mungkin dia akan merasa baikan sebentar lagi.
Dia melihat Taeyong datang, begitu pula dengan Jaehyun, tetapi tidak ada tanda-tanda jika keduanya menggunakan cincin yang sama di jari manis mereka, tampak berbeda dengan keseharian yang dia tangkap saat itu. Bahkan pembicaraan mereka terdengar amat kaku. Jika memang ini adalah lima tahun yang lalu, kesimpulannya, mereka berdua sudah saling mengenal tetapi belum menunjukkan keseriusan dengan hubungan selanjutnya.
Kenapa gue harus mikirin itu?! Yangyang hendak mendengkus, tetapi napasnya belum terlalu kuat untuk melakukan hal tersebut.
Taeyong menoleh ke arahnya, menyungging senyum manis dan mengecup pelan punggung tangan anaknya yang masih merasa kebingungan dengan kenyataan yang sedang dia lihat saat ini.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

KAMU SEDANG MEMBACA
100 Stalks of Roses (JaemYang) ?
Fanfiction[Warn! B×B] Yangyang itu jatuh cinta dengan Jaehyun---guru pelajaran Matematika yang juga merupakan wali kelasnya kala bangku tahun pertama di SMA---tetapi, cinta pertamanya justru menikah dengan ayahnya. Lantas, rumahnya pun kini dihuni oleh empat...