"Oke, gue nggak tahu kalau lo bisa sampai kayak begini."
Haechan bersedekap dada saat berdiri di belakang Jaemin yang tengah duduk di pinggir tangga menuju lantai tiga fakultas mereka. Kini dia kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh temannya sendiri. Datang tanpa konteks, kemudian menyerang hingga tak ada yang paham ke mana maksud serangannya, entah mematikan atau tidak.
"Lo betulan suka, kan? Sama Yangyang."
Mendengar itu, dia berbalik, menoleh dengan kernyitan di dahi. Kedua matanya tak menunjukkan jika dia setuju, tetapi pikirannya terus menerka dari mana Haechan mengetahui masalah tersebut. Jika Yangyang memberitahunya, itu amat tidak mungkin karena dia hebat menutupi perasaan dan pastinya tak akan ada yang menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu, sehingga Haechan tak perlu bertanya untuk memastikan atau mendapat dukungan dari spekulasi bodoh berupa kenyataan yang benar adanya.
Akan tetapi, jika memang dia membaca raut wajah Jaemin setiap saat, mungkin itu tidak akan menghancurkannya saat ini. Dia hebat membaca situasi dan mimik dari wajah seseorang. Tak mudah membodohinya, Jaemin tahu akan hal itu. Meskipun dia menutupinya dengan sekuat tenaga hingga tak ada pancaran tanda cinta maupun kasih sayang yang selalu dia tahan selama ini, Haechan bisa melihat dari caranya bertindak. Entah bagaimana caranya, Jaemin juga tidak terlalu mengerti dengan hal tersebut.
"Dari reaksi lo, gue simpulin iya." Dia duduk di sebelah Jaemin, kemudian membuka botol kola yang masih disegel dan mengeluarkan bunyi tipis yang mengganggu. "Yangyang nggak ada ngomong apa pun ke gue, tenang aja," imbuhnya kemudian meneguk minuman yang ada di tangannya tanpa menawari lebih dulu.
"Awalnya gue pikir, lo berantem sama Renjun karena Renjun mau dapatin adek lo, tapi pas gue lihat lagi, Renjun marah sama lo bukan karena hal itu. Mana mungkin, Jaem, lo bisa dapatin adek lo sedangkan kalian saudara, satu rumah pula." Haechan meletakkan botol plastik itu di antara mereka berdua, di tengah tangga yang hanya muat tiga orang.
"Gue nggak berharap apa pun," kata Jaemin sebagai balasan singkat yang membuat lirikan mata Haechan gatal untuk tertuju ke arahnya. "Gue juga paham kita saudara, walaupun saudara tiri. Gue nggak bisa ngelakuin apa pun selain nunggu perasaan gue reda, kabur dari apa yang gue rasa. Kalau gitu, lo mau bantu gue?"
"Bantu? Jadian sama Yangyang maksudnya biar lo sakit hati?"
Haechan tertawa pelan usai mengatakan apa yang dia terka di kepalanya. Kini, dia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya amat pelan tanpa menoleh.
"Bukan."
Hingga Jaemin kembali angkat suara.
"Sama gue."
Mengundang delikan mata yang tak pernah dia pikir akan keluar di saat seperti ini karena ucapan temannya sendiri.
"Pacaran sama gue. Buat gue lupa sama perasaan gue sendiri, buat gue lepas dari adek gue sendiri. Lo bisa bantu gue dengan cara begitu?"
Jaemin tidak pernah tahu jika adiknya selalu mencari cara agar mereka dapat pergi serta mendapatkan cara lain agar tak merugikan siapa pun. Embusan napas Yangyang saat ini terasa amat berat, dia hanya berpikir bagaimana cara untuk menyatakan perasaannya karena Jaemin selesai melakukan hal itu. Mungkin perasaannya tidak akan hilang dengan mudah, amat berbeda dengan sang kakak yang tengah melaksanakan rencana.
Memperhatikan laptop yang ada di hadapannya sembari mengernyit, Yangyang frustrasi sendiri karena baru mendapatkan hal yang harusnya dia lakukan sedari dulu. Dia benci dirinya yang lambat memikirkan hal yang dia rasa perlu dia perjuangkan. Perlahan dia mengembuskan napasnya kembali, kemudian menatap langit-langit kamar yang memiliki lampu putih terang-benderang untuk mengusir kegelapan di tempat ini. Yangyang tidak yakin dengan apa yang hendak dia lakukan.
Hingga dia menemukan arti dari setiap tangkai mawar di salah satu laman internet, menarik perhatiannya hingga dia benar-benar ingin mencobanya suatu saat nanti. Mungkin amat perlu baginya untuk mengumpulkan banyaknya tangkai bunga mawar yang akan dia berikan kepada Jaemin nanti, atau lebih baik dia beli dalam satu waktu untuk hadiah sang kakak nantinya? Dia kebingungan sendiri saat ini.
"Emang dia mau ..., ya?" gumam Yangyang pada dirinya sendiri. "Mau atau nggak urusan belakangan, sekarang kerjain aja dulu."
Jaehyun memang tidak memarahinya, tetapi pria itu meminta agar Yangyang dapat mengatur perasaannya sendiri karena itu untuk kebaikan mereka pula. Rasanya lucu jika orang tuanya akan bercerai karena kisah cinta monyet yang belum tentu bertahan lama sebagaimana kedua orang tuanya menjalin rasa cinta sejati di tengah menyeramkannya dunia pada mereka berdua. Namun, mengetahui kenyataan yang datang, tentu saja itu ribuan kali lebih menyakitkan dibanding dengan apa yang dia bayangkan sebelumnya.
Pasti Taeyong juga mengetahuinya, karena diam-diam pria paruh baya itu terus memperhatikan mereka sebelum Jaehyun mengajukan pertanyaan dan membiat mereka bicara banyak hal. Kini, Yangyang terdiam kembali tanpa pikiran liarnya, hanya memperhatikan langit-langit putih yang tak memiliki hiasan apa pun selain penerang ruangan. Perasaan ini, cenderung je arah negatif yang memberitahunya jika dia tidak boleh melakukannya atau ini bukanlah hal terbaik yang perlu dia lakukan hingga kapan pun.
"Ah, gue benci hal ini." Yangyang meremas kuat rambut yang masuk ke sela jemarinya, ditariknya secara paksa dan asal setiap kali pikirannya kembali ke waktu yang telah berlalu di atas kasur yang tengah dia jadikan sandaran. "Berengsek! Berengsek!!!"
Di saat seperti ini, dia justru mengingat bagaimana kakaknya menyentuh hingga dia membiarkan seluruh tubuhnya dijamah untuk kepuasan hatinya pula. Yangyang tak yakin jika nantinya dia akan bisa bertahan sendirian tanpa sang kakak di sebelahnya, entah sebagai pasangan ataupun saudara. Dia membutuhkan Jaemin saat ini, sosok yang membuatnya nyaman dan aman di waktu bersamaan, sosok yang sering kali mengacak rambutnya, sosok yang sering tersenyum dan memberi kehangatan sesampai tak ada lagi rasa khawatir.
"Kenapa gue jadi nggak jelas begini, ya?"
Pemandangan indah tak selalu memiliki jalan indah untuk mendapatkannya, jelas sekali dia tahu hal itu. Bayangan berupa khayal harapan dari dirinya sendiri berhasil membuat dorongan kehendak untuk mendapatkan Jaemin lebih dari biasanya. Kini, dia tetap berdiam diri, mengatakan pada dirinya sendiri jika apa yang dia putuskan bukanlah berupa kesalahan atau justru berguna untuk kebahagiaannya kelak.
"Masa?" Yangyang tertawa pelan karena menyangkal pemikirannya sendiri. "Masa ... masa ini buat bahagia ...? Nggak mungkin, Yangyang ...."
Hasratnya berubah seketika, tak mengenal perihal kebahagiaan yang belum lama dia raih dari pemandangan indah di kehidupan fantasi kepalanya sendiri. Dia ingin sekali meraihnya, kemudian mengatakan kepada semua orang jika dia bisa bahagia lebih dari yang orang-orang katakan.
"Tapi, itu mustahil."

KAMU SEDANG MEMBACA
100 Stalks of Roses (JaemYang) ?
Fanfiction[Warn! B×B] Yangyang itu jatuh cinta dengan Jaehyun---guru pelajaran Matematika yang juga merupakan wali kelasnya kala bangku tahun pertama di SMA---tetapi, cinta pertamanya justru menikah dengan ayahnya. Lantas, rumahnya pun kini dihuni oleh empat...