抖阴社区

03

294 42 0
                                        

"Lo bisa kerjain yang mana? Nanti biar digabung aja. Kalau kita kerjain bareng, malah buang-buang waktu."

"Yang mau buat PPT-nya siapa?"

"Gue, deh."

"Kalau gitu, lo yang edit makalah, nanti bahannya dari gue sama Renjun, ya, Jaem?"

"Hah?"

Jeno menatapnya sebal, Jaemin sulit untuk fokus belakangan ini, dia tak tahu alasan apa yang membuat temannya tampak seperti boneka yang baru saja diberi nyawa. Hal itu membuat ketiga temannya tak habis pikir dengan apa yang sedang bersarang di tengah otak Jaemin saat ini.

"Haechan buat PPT katanya, gue sama Renjun cari bahan, nah lo tinggal edit makalahnya aja."

"Oh, iya, iya," sahutnya sembari mengangguk pelan.

"Nanti gue bantuin, deh. Jadi, kita ngerjainnya bareng," kata Haechan yang langsung diangguki Jaemin. "Di rumah lo aja. Gue penasaran, adek lo semanis apa sampai lo susah fokus begini."

"Berisik," cibirnya ikut kesal di tengah tawa Haechan di hadapannya.

"Tapi, lo beneran suka, ya, Jaem?" Kini, Renjun ikut penasaran dengan isi kepala laki-laki di depannya.

"Nggak, cuma suka gemes aja. Gila kali lo kalau gue suka sama anak SMA? Adek sendiri pula. Ngaco aja."

"Lho? Nggak salah, kok. Lagian, aslinya seumuran, kan? Saudara tiri bukannya nggak masalah kalau punya hubungan gitu?"

"Lebih ke nggak lazim, bukannya?" Jeno menanggapi hingga Renjun mengangguk paham. "Kayak, aneh juga kalian resmi satu kartu keluarga, eh nanti pisah karena kalian juga nikah. Belum lagi, biasanya kalau ada hubungan sama saudara tiri malah jadi omongan nggak enak. Di sini nggak lazim walau sebetulnya nggak ada hubungan darah."

"Gue nggak ada mikir ke sana, please." Jaemin mengembuskan napasnya kasar.

Mereka masih sibuk membicarakan perihal cinta terhadap saudara tiri, tetapi Jaemin tak tertarik sama sekali hingga dia diam-diam memeriksa ponselnya yang berada di atas meja yang tengah mereka berempat tempati. Awalnya, dia tak terlalu heran saat melihat pukul dua belas siang di hari ini, tetapi dia teringat jika adiknya akan pulang cepat karena hanya ada gladi kotor untuk perpisahan sekolahnya nanti. Hal itu membuat Jaemin berpamitan lebih dulu untuk menjemput Yangyang, jika tidak mungkin dia tak akan memaafkan dirinya sendiri.

Kini, dia semakin sadar jika keluarganya merupakan prioritas dibanding apa pun, bukan karena dia ingin mendapat hati dari ayah dan adik barunya, tetapi karena Jaehyun selalu mengajarkannya supaya menjadi sosok laki-laki yang dapat diandalkan dan selalu sigap demi orang yang menyayanginya. Jaemin terus memikirkan bagaimana caranya jika dia memperlakukan Yangyang dengan baik, apakah hal ini memang dibutuhkan atau tidak, tetapi dia tak ingin larut dengan pikirannya hingga dia menginjak pedal gas untuk menjemput sang adik.

Jalan raya memang tampak sering kali ramai, dia mengirimkan pesan pada Yangyang di waktu lampu lalu lintas tengah menunjukkan warna penuh keberanian. Kepalanya sedikit berdenyut karena perubahan cuaca yang terlalu mendadak hingga pedih yang menusuk hidungnya tidak kunjung menghilang dengan mudah. Dia terlalu peka dengan perubahan mendadak dari cuaca yang dia tempati.

Saat pesan balasan dari Yangyang masuk, dia sempat melirik ponselnya yang seketika menyala, menampakkan notifikasi dari sang adik. Kedua sudut bibirnya mulai tertarik ke arah berlawanan, membentuk lekukan senyum indah dengan jantung yang berpacu amat cepat. Perlahan, dia mengembuskan napasnya, kemudian kembali fokus dengan jalan raya yang tengah dia lewati supaya sampai dengan selamat.

Yangyang baru saja keluar dari sekolahnya, melewati gerbang hitam tinggi sebagai pembatas dengan jalan yang ada di perumahan. Dia berlari kecil untuk menyeberang, menghampiri mobil sang kakak yang amat dia kenali. Matanya sibuk melihat ke sebelah kiri dan kanan, memeriksa keadaan agar dia bisa melangkah dan melewati jalan yang cukup ramai, tak tahu jika Jaemin menahan tawanya karena melihat tingkah sang adik yang amat menggemaskan saat ini.

"Kakak udah nunggu lama?" tanyanya kala masuk dan duduk di sebelah kursi kemudi.

"Nggak, kok."

"Mau cilok?"

Yangyang menyodorkan plastik berisikan makanan yang paling sering dia beli di sekolahnya. "Cilok di sekolah enak, ayah juga suka beli."

"Iya, ayah sering bilang kalau ciloknya enak."

"Kalau gitu, cobain!"

Dari tusukan yang Yangyang berikan padanya, Jaemin mencoba satu, yang paling kecil, karena dia takut rasanya cukup mengecewakan nantinya. Tatapan Yangyang penuh dengan binar harapan, menunggu reaksi Jaemin yang masih mengunyah makanan itu di dalam mulutnya. Namun, tatapan lurus yang membuat lekukan bibir Yangyang tampak datar telah menunjukkan hasilnya. Dia tetap tak terlalu menyukainya meski rasanya cukup enak.

"Aku emang nggak suka aci kayaknya, deh, Yang," katanya.

"Oh ... maaf."

"Kenapa minta maaf?" Jaemin tertawa pelan sembari menyalakan mesin mobilnya, dia melirik ke arah kaca spion untuk memeriksa jalan di belakangnya supaya dia dapat memotong. "Enak, kok. Cuma, tetap aja di lidah aku rasanya agak aneh. Jangan minta maaf, santai aja."

"Iya, aku kesannya kayak maksa," sahut Yangyang kemudian menyuap makanan itu ke mulutnya.

"Nggak, kok. Udah, jangan dipikirin lagi, ya?"

Dia tidak tahu sejak kapan elusan di puncak kepalanya terasa lebih menyenangkan dibandingan dengan yang pernah dia dapatkan sebelumnya. Yangyang mengangguk cepat dan kembali sibuk dengan makanan yang ada di plastik saat ini, berbeda dengan Jaemin yang kembali fokus menyetir hingga mereka sampai ke tujuan.

Tidak ada perbincangan apa pun selama mereka di dalam mobil, tidak ada hawa canggung yang mendominasi pula. Yangyang sibuk dengan pikirannya, sesekali melihat ke arah jendela tanpa berbicara dengan kakaknya, tidak tahu apa yang seketika bersarang di kepalanya setiap kali dia pulang ke rumah. Seharusnya, ketakutannya telah sirna karena berbagai hal, tetapi jika seperti ini dia semakin merasa jika hidupnya akan bergantung pada sang kakak nantinya.

Bahkan saat keduanya sampai di rumah, tetap saja Yangyang tak bisa langsung melangkah masuk dengan ringan, kakinya yang amat berat itu membuat Jaemin menoleh ke arahnya, digenggam erat tangan sang adik untuk menuntunnya masuk ke dalam. Dia tersenyum manis, mengatakan jika tidak akan ada apa pun di dalam rumah ini kecuali mereka berdua. Hal itu mengusir rasa cemas yang Yangyang rasakan hingga dia merasa tak masalah untuk masuk ke dalam.

"Kakak nggak ada kelas lagi?" tanya adiknya yang ditanggapi oleh gelengan pelan. "Kakak mau pergi hari ini?"

Lagi, Jaemin menggeleng pelan, tetapi diikuti tawa karena gemas sendiri. "Kamu mau Kakak pergi, ya?"

"Nggak, aku nanya aja. Aku kira, Kakak mau pergi, soalnya mumpung pulangnya cepat juga, kan?"

"Enakan di rumah, sekalian mau kerjain tugas, sih. Kamu mau ke luar?"

Kepala Yangyang menggeleng pelan. "Aku mau belajar aja."

"Semangat, ya."

Setiap kali Jaemin mengacak rambutnya, Yangyang selalu menyungging senyum. Kehangatan yang menjalar ke wajahnya membuat Jaemin tersadar adanya rona merah tipis di wajah adiknya. Sontak, dia mendekatkan diri kembali, memperhatikan raut wajah Yangyang yang kini membalas tatapannya dengan kebingungan.

Dia tampak indah dilihat sedekat ini, setidaknya itu adalah isi hati mereka.

100 Stalks of Roses (JaemYang) ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang