抖阴社区

Chapter 99 When The Crown is Removed

150 8 0
                                        

Langit Gaia dipenuhi cahaya buatan—kubah-kubah kristal yang bersinar di langit, seperti bintang yang dipaksa tunduk pada keinginan manusia. Masyarakat merasakan sebuah festival untuk mengenang salah satu Avatar. Tapi di ruang pribadinya, Iris menolak menyalakan satu pun lentera.

Ia duduk di tepi ranjangnya, menatap ke dalam cermin. Wajahnya tetap sama: ratu agung, pemimpin Gaia, simbol kekuatan dan kesucian. Tapi di balik mata itu, ada Iris yang tidak dikenal siapa pun. Dia merasakan pertempuran batin yang berkecamuk dalam dirinya. Bagai ombak ganas yang menghantam karang, setiap pikiran ia coba redam namun kembali menyerang. Apa yang diharapkannya ketika ia menghadapi Fitran? Apakah ia berani menunjukkan ketidakpastiannya, atau harus tetap menjadi simbol yang tak tergoyahkan?

"Aku tidak membenci Rinoa. Aku tahu kenapa kau memilihnya. Ia hidup untukmu... dan aku hanya hidup untuk kerajaan." Suaranya bergetar, bukan karena kebencian, tapi lebih karena rasa sakit yang menggerogoti, seolah mengintimidasi kepercayaannya sendiri. Setiap kata adalah beban, dan antara bait-bait itu, ia merasakan seolah jiwanya terbelah. Di satu sisi, ada rasa cinta yang dalam, di sisi lain, sebuah perasaan wajib yang hampir mematikan harapan.

Ia menatap bayangan dirinya lebih lama. Gaun tidurnya masih belum dikenakan. Ia mengenakannya perlahan, seperti ritual. Tidak untuk menggoda. Tapi untuk menyembunyikan rasa takut. Dalam diamnya, ia bertanya-tanya apakah gaun itu bisa menutupi kerentanan yang menyengat, apakah ia bisa membungkus rasa gelisah yang terus menghantuinya. Apakah dunia melihatnya seperti yang ia inginkan, atau hanya sekadar bayangan kosong dari seorang ratu?

"Apa kau tahu rasanya menjadi yang pertama mengangkat pedang, tapi terakhir dalam hati seseorang?" Pertanyaan itu meluncur tanpa henti, mengguncang relung-relung jiwa Iris. Dia sendiri menjadi tawanan dari siklus kesedihan yang tak terputus. Sebuah senjata di tangannya, tetapi senjata itulah yang membuatnya merasa terasing.

Tangannya gemetar saat membuka pintu kamar Fitran. Setiap gerakan rasanya seperti melangkah di atas pecahan kaca, merasakan rasa sakit yang dalam dan keinginan untuk mundur, namun tidak bisa. Ada ketegangan dalam kegalauan, harapan tak terhingga bertabrakan dengan kenyataan yang menyakitkan.

Kamar itu gelap, hanya diterangi sisa sinar bulan yang masuk dari celah jendela. Fitran sedang berdiri di pojok ruangan, seperti bayangan. Ia menoleh, seolah sudah tahu siapa yang datang. Tidak ada sapaan. Tidak ada penolakan. Di momen itu, Iris merasa seolah dunia mengecil—semua suara surga mengecut menjadi hening, dan yang tersisa hanyalah dirinya dan bayangan yang dihadapannya. Ia berharap untuk menemukan pengertian dalam tatapan Fitran, tetapi juga takut jika menemukan ketidakpedulian.

Iris melangkah pelan, lalu berdiri di hadapannya. Ia tidak membawa mahkota. Tidak membawa nama. Dalam benaknya bergelora perasaan penasaran dan keterasingan, membayang-bayangi harapan bahwa di balik kesunyian ini, ada potensi untuk berbagi kebenaran yang membuatnya rendahkan, tetapi juga bisa membebaskannya. Rasa takut dan harapan berkelindan, menolak untuk mengizinkan satu sisi menang.

"Jika aku mati besok dalam perang, aku tidak ingin satu-satunya hal yang tersisa dari hidupku adalah hukum, politik, dan darah."

Ia melepaskan pengait gaunnya. Kain itu jatuh tanpa bunyi, seolah mengangguk pada kesedihan yang menggelayuti tubuhnya. Dalam hatinya, terbayang seribu rasa yang terpendam, sebuah lautan harapan yang dipenuhi ombak penyesalan. Ia menatap mata Fitran—tidak meminta izin, tidak meminta simpati. Dikenang sebagai Ratu Gaia, namun saat ini ia merasakan betapa ringannya beban yang hilang, meskipun kepingan jiwanya terasa lebih berat. Ia hanya ingin didengar, melalui tubuhnya, karena hatinya sudah tak sanggup bicara.

"Malam ini, aku bukan Ratu Gaia. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya... seseorang yang ingin merasa dicintai, walau hanya sebentar."

Dalam keheningan yang menyelimuti kamar, Iris merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka seperti aliran listrik. Setiap detik terasa melambat, dan jantungnya berdegup kencang, seolah berusaha melawan rasa takut yang menggerogoti. Ia mendekat, merasakan kehangatan tubuh Fitran yang masih terbaring di ranjang.

Memory of HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang