Di dalam gang sempit belakang Pasar Langit, malam menetes perlahan saat sekelompok orang berkumpul dalam keheningan yang mendalam. Mereka berdiri di antara dinding tua yang disulam lumut, mendengarkan suara tikus yang menembus sunyi. Walaupun bukan tentara, bangsawan, atau penyihir, mereka memiliki satu hal yang sama: rasa kehilangan. Dalam keraguan dan kesedihan, Elena, seorang perempuan paruh baya dengan rambut digulung rapi dan selendang merah pudar, mengambil tempat di tengah mereka.
Dengan selembar kain tipis di tangannya yang bertuliskan kata-kata samar, Elena berdiri tegak. Ia tidak perlu berteriak; suara-suara keras selama bertahun-tahun tidak pernah memberikan jawaban yang mereka cari. Dalam momen penuh ketegangan itu, Elena memancarkan kharisma yang kuat, memulai pidato pertamanya dengan bisikan yang kokoh, mengisi ruang sunyi dengan pesan-pesan yang lebih menggugah daripada suara lonceng Rumah Doa.
"Tuan-tuan kita mati. Tapi kalian menangis bukan karena kehilangan mereka. Kalian menangis karena bingung siapa yang akan memerintah setelah ini. Aku tidak datang untuk memberi jawabannya. Aku datang untuk bertanya—mengapa harus selalu ada tuan? Mengapa kita harus terus hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang menyesakkan ini?"
Elena kemudian menatap mata para pendengarnya, pemikiran dan perasaan bersatu dalam keheningan yang penuh intensitas. Dia melanjutkan, imploratif dan berapi-api, "Kita tidak perlu menunggu jawaban dari mereka yang berkuasa! Kita adalah suara yang tertekan, namun kita bisa bangkit! Apa yang kita butuhkan adalah pemberontakan—tidak hanya melawan mereka, tetapi juga melawan rasa putus asa yang membelenggu kita!"
Perkataannya membawa dampak yang menembus hati mereka. Saat dia melanjutkan, Elena mengisahkan dengan penuh emosi tentang kematian anaknya yang terenggut oleh perang yang bukan miliknya dan suaminya yang mati karena sumpah yang tidak pernah dia pilih. Dalam hati mereka, sejuta rasa saling terhubung, menciptakan jalinan solidaritas yang kuat di antara mereka.
Perkataannya membawa dampak yang menembus hati mereka. Saat dia melanjutkan, Elena mengisahkan dengan semangat membara tentang kematian anaknya yang terenggut oleh perang yang bukan miliknya dan suaminya yang mati karena sumpah yang sama sekali tidak diinginkannya. Dibandingkan dengan ketidakadilan yang dia saksikan, kota tempat mereka tinggal ini—bagaikan boneka tanpa isi—masih bertahan, terjaga dalam setiap kepingan yang hilang.
"Anakku mati karena perang yang bukan miliknya. Suamiku mati karena sumpah yang bukan darinya. Tapi kota ini... tetap berdiri. Seperti boneka tanpa isi."
Dalam keheningan yang tegang, Elena mengangkat kainnya, membiarkan benang merah di pinggirannya bergetar oleh angin dingin yang menyelimuti gang tersebut. Di sekelilingnya, beberapa orang mulai menangis, sementara yang lain menggenggam tangan mereka sendiri seakan ketakutan akan meledak oleh emosi yang tertahan. Di antara mereka, rasa keterhubungan dan solidaritas mulai tumbuh dengan semakin jelas dalam jeritan hati Elena.
Pidato yang disampaikan dengan suara lirih ini menjadi simbol harapan, dan menjadi seruan untuk perubahan. Dia memompa semangat pemberontakan di antara mereka, menyalakan bara yang ada dalam jiwa-jiwa yang terluka. Keterikatan mereka terhadap satu sama lain dipadatkan dalam benang merah yang dijanjikan. Setiap bisikan Elena menggugah rasa kesadaran akan relasi sosial yang terenggut oleh kekuasaan, membuat mereka merasakan kegoncangan dan mempersatukan kehendak untuk berjuang.
"Aku tidak minta kalian ikut. Aku hanya ingin kalian tahu—diam adalah bahasa tuan. Tapi kita... kita bisa menenun bahasa baru. Dari luka. Dari duka. Mulailah dengan satu benang merah. Simpan di lenganmu. Jika aku hilang malam ini, kalian tahu ke mana harus berjalan." Suara Elena yang tergetar namun penuh determinasi menyampaikan makna perlawanan. Ia jelas bahwa jiwa mereka terpengaruh oleh ketidakadilan, dan saat ini adalah waktu untuk bangkit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Memory of Heaven
FantasyDi dunia yang terluka oleh luka eksistensial dan kenangan yang terfragmentasi, Fitran Fate adalah salah satu dari sedikit orang yang masih berpegang pada kehendaknya sendiri. Namun, takdirnya terikat pada misteri kuno yang tersembunyi dalam akar Poh...