Aroma kulitnya, campuran antara keringat dan aroma kayu dari hutan, membuat Iris terpesona dan terjebak dalam kenangan yang tak terhapuskan. Fitran membuka matanya perlahan, tatapannya yang dalam seolah menembus jiwanya. Iris merasa seolah waktu berhenti, dan semua yang ada di luar sana menghilang. Dalam momen itu, hanya ada mereka berdua, terjebak dalam keinginan yang tak terucapkan. Iris merasakan getaran di dalam dirinya, sebuah panggilan yang tak bisa ia abaikan.
"Iris..." suara Fitran lembut, namun penuh dengan ketegangan. Ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Iris dengan lembut. Sentuhan itu seperti api yang menyala, membakar semua keraguan yang ada di dalam hati Iris. Ia merasakan aliran energi yang kuat, seolah dunia di luar tidak ada artinya lagi. Iris menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang ingin mengalir.
Rasa sakit dari Fitran dan cinta dari Iris berbaur menjadi satu, menciptakan sebuah badai yang tak terduga.
"Aku tidak ingin kehilanganmu," Iris berbisik, suaranya bergetar namun Fitran berpura - pura mendengarnya.
Iris merasa seolah setiap kata yang diucapkannya adalah sebuah pengakuan yang berani, sebuah pengakuan yang bisa menghancurkan segalanya. Fitran menariknya lebih dekat, dan Iris merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, seolah berirama dengan jantungnya sendiri.
"Kau tidak akan kehilangan aku," jawab Fitran, suaranya penuh kebohongan dan Iris mengetahui.
Fitran menarik Iris ke dalam pelukannya, dan dalam momen itu, semua ketegangan seolah menguap. Iris merasakan kehangatan tubuh Fitran, dan ia membenamkan wajahnya di dadanya, merasakan detak jantungnya yang stabil. Dalam pelukan itu, Iris merasa aman, seolah semua beban di dunia ini hilang seketika.
Namun, di balik rasa aman itu, ada ketakutan yang menggerogoti. Iris mengangkat wajahnya, menatap mata Fitran yang dalam. "Tapi aku takut... jika ini hanya sementara," katanya, suaranya bergetar. Fitran mengusap pipinya dengan lembut, dan Iris merasakan sentuhan itu seperti obat yang menyembuhkan. "Setiap detik bersamamu adalah abadi bagiku," jawab Fitran, dan Iris merasakan hatinya bergetar mendengar kata-kata itu.
Iris merasakan dorongan untuk mendekat. Ia meraih wajah Fitran, dan tanpa berpikir panjang, ia mencium bibirnya. Ciuman itu lembut, namun penuh dengan rasa rindu yang terpendam. Iris merasakan dunia di sekelilingnya menghilang, dan hanya ada mereka berdua, terjebak dalam keinginan yang tak terucapkan. Setiap detik terasa seperti keabadian, dan Iris ingin mengabadikan momen ini selamanya.
Fitran membalas ciuman itu dengan lembut, seolah mengerti betapa berharganya momen ini bagi Iris. Mereka saling tenggelam dalam kehangatan satu sama lain, merasakan setiap detak jantung yang berirama. Iris merasa seolah semua rasa sakit dan keraguan menguap, digantikan oleh cinta yang tulus. Dalam pelukan itu, mereka menemukan keheningan yang penuh makna, sebuah tempat di mana semua peran dunia sirna, dan hanya ada mereka berdua.
Ketika mereka akhirnya terpisah, Iris menatap mata Fitran, merasakan ketegangan yang masih tersisa di antara mereka. "Aku tidak ingin ini berakhir," katanya, suaranya penuh harapan. Fitran mengangguk, dan Iris tahu bahwa meskipun dunia di luar sana penuh dengan tantangan, mereka akan selalu memiliki momen ini—sebuah kenangan yang akan mengikat mereka selamanya.
Yang mereka kejar bukan puncak, tapi keheningan—tempat di mana segala peran dunia akhirnya sirna. Dalam keheningan itu, Iris merasa dirinya terjebak dalam sebuah cerminan yang tak kenal ampun, merindukan titik-titik kecil kebahagiaan yang seolah menjauh dari genggamannya."Aku takut ini hanya sekali. Aku takut esok pagi kau pergi, kembali mencintai dunia dengan caramu yang tak bisa aku ikuti."
Iris terbangun lebih dulu, pagi menjelang dengan sinar lembut yang menembus jendela, tetapi hati Iris dilanda badai. Fitran masih tertidur, dadanya naik-turun pelan, sebuah ketenangan yang kontras dengan gejolak dalam jiwanya. Ia mengangkat diri, duduk, lalu menatap wajah lelaki itu—lelaki yang bisa meruntuhkan bangsa, tapi tidak pernah tahu bagaimana rasanya dicintai oleh ratu yang diam-diam menunggu selama bertahun-tahun. Dalam tatapannya, ia merasakan setiap lekuk wajah Fitran adalah paradox—sebuah harapan yang tak terjangkau dan sekaligus kenangan yang menyakitkan.
"Aku tidak menyesal. Tapi aku juga tidak tahu... apakah aku berarti bagimu, atau aku hanya jeda dari rasa sakitmu."
Ia mengenakan kembali gaunnya, perlahan, seolah setiap lapisan kain membawa beratnyakeputusannya. Tidak ada air mata. Hanya sunyi yang terasa terlalu berat untuk dibawa keluar dari ruangan ini, seperti beban tak tertanggungkan yang mengikat jiwanya. Bagaimana bisa ia melangkah pergi dari sosok yang pernah mengisi ruang hatinya dengan harapan? Saat ia menatap Fitran, pikirannya berjejal antara rasa sakit dan harapan—apakah dirinyalah yang akan mengakhiri kisah mereka dengan cara yang begitu pelan dan tanpa suara?
Sebelum pergi, ia mencium kening Fitran, sebuah gesture yang semakin mencabik-cabik hatinya. Dalam momen itu, ribuan kenangan melintas dalam benaknya—tawa mereka di saat-saat bahagia, serta kesedihan di antara jarak yang mulai menganga. "Jika aku harus mati untuk membuktikan perasaanku, maka biarlah malam ini jadi warisanku yang paling jujur," pikirnya, seolah kata-kata itu adalah takdir yang telah dirangkai di antara bintang-bintang malam. Setiap jeda dalam percakapan mereka terasa seperti celah yang memisahkan dua dunia—satu dunia di mana cinta itu abadi, dan satu dunia di mana ia harus mundur demi melindungi hatinya yang rapuh. Konflik batinnya bergejolak; mencintai Fitran adalah seperti menyentuh api—mengetahui bahwa setiap detik bersamanya bisa membakar segalanya, tetapi tidak bisa mengabaikan cahaya yang dipancarkannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Memory of Heaven
FantasyDi dunia yang terluka oleh luka eksistensial dan kenangan yang terfragmentasi, Fitran Fate adalah salah satu dari sedikit orang yang masih berpegang pada kehendaknya sendiri. Namun, takdirnya terikat pada misteri kuno yang tersembunyi dalam akar Poh...
Chapter 99 When The Crown is Removed
Mulai dari awal