SEBELUM BACA BUDIDAYAKAN
FOLLOW AKUN PENULISNYA
[JANGAN LUPA VOTE BUKUNYA]
KOMENTARI APAPUN YANG KALIAN SUKA.
JADILAH PEMBACA YANG CERMAT DAN AKTIF.
NO SILENT READERS...
CERITA INI MURNI DARI PEMIKIRAN AUTHOR SENDIRI.
DILARANG KERAS MEN-COPY
SEPERTI : IDE, ALUR, DAN BAHASA PEMAIN.
UNTUK PLAGIAT JAUH-JAUH!
TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR KE BUKU INI...
Happy reading🦋
⎯ Halilintar Argantara⎯
Alarm handphone meraung, membangunkan Halilintar dari tidurnya. Dengan mata masih setengah terpejam, dia meregangkan otot-ototnya sebelum beranjak dari kasur.
Setelah mandi selama 15 menit, Halilintar keluar dengan penampilan yang rapi dan tampan. Seragam SMA Bintang Nusantara melekat sempurna di tubuhnya. Dengan rambut yang disisir rapi, dasi yang terjaga, dan aroma parfum yang menyegarkan, Halilintar memandang dirinya di cermin.
"Anjay, ganteng juga ya gue," gumamnya dengan senyum percaya diri. Dia merasa siap menghadapi hari pertama di sekolah barunya, dengan harapan bisa membuat kesan yang baik dan memiliki banyak teman baru.
Dengan langkah percaya diri, Halilintar meninggalkan kamarnya dan bersiap menuju sekolah.
Halilintar turun ke lantai bawah, siap untuk sarapan pagi bersama keluarga. Namun, suasana tidak seperti yang dia harapkan. Ibunya sudah menunggu dengan wajah tidak bersahabat.
"Siapa yang mengizinkanmu makan di sini?" tanya Mara dengan nada dingin. Sebelum Halilintar bisa menjawab, ayahnya, Amato, muncul dengan wajah marah.
"Sudah kubilang jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi, tapi kau masih melakukannya?" Amato melempar tas Halilintar dengan kasar.
"Pergi kamu! Jangan tunjukkan wajahmu lagi!"
Halilintar mengambil tasnya dengan tangan gemetar, merasa terluka dan marah. Tanpa sarapan, dia keluar rumah dan berjalan kaki ke sekolah, sendirian dan merasa tidak dihargai.
Gempa turun ke ruang makan, menyambut pagi dengan senyum cerah. Dia mengecup pipi kedua orangtuanya, Amato dan ibunya.
"Selamat pagi, ayah, ibu," sapanya dengan suara riang.
"Pagi juga, sayang," balas keduanya serempak. Amato menanyakan tentang tidurnya.
"Gimana tidurmu, nyenyak?" Gempa duduk di bangku kosong.
"Ya, begitulah," jawabnya singkat. Amato memperhatikan ekspresi putranya.
"Kenapa, nak? Sepertinya kamu tidak bersemangat hari ini?" Gempa melirik ayahnya sebentar, lalu menggeleng.
"Tidak, ayah. Aku hanya lelah saja." Amato penasaran.
"Apa tugas sekolah membebani kamu?"
Gempa mengangguk pelan, "Ya, sedikit."
Gempa penasaran, "Oh iya, Yah, kemana kak Hali? Aku tidak melihatnya tadi," tanyanya sambil memperhatikan reaksi ayahnya.
Amato menjawab singkat, "Nggak tahu, dan aku tidak peduli."
Gempa terkejut, "Tapi, Yah, kak Hali anak ayah juga."
Amato mengerutkan kening, "Gem, bisakah kita tidak berbicara soal anak sialan itu?"
Ekspresi Amato menunjukkan kemuakan yang jelas.
Gempa penasaran, "Kenapa ayah manggil kak Hali dengan sebutan itu?"
Namun, dia tidak ingin memperpanjang diskusi, "Hum... baiklah, ayah."
Amato tersenyum puas, "Terimakasih, nak. Cepat makan saranpanmu, nanti kamu terlambat ke sekolah."
Melihat Gempa mengangguk kecil, Amato merasa puas dan lega. Dalam batinnya, dia berpikir bahwa Gempa memang anak yang baik dan patuh, tidak seperti Halilintar yang selalu membuatnya kesal.
Amato merasa bahwa jika Halilintar bisa seperti Gempa, mungkin dia bisa menyayanginya lebih. Pikiran ini membuatnya merasa sedikit lebih tenang, tetapi juga memperkuat perasaannya bahwa Halilintar memang tidak sebaik Gempa.
...
Halilintar melangkah dengan langkah santai di koridor sekolah yang ramai. Tatapan mata murid-murid lain mengikutinya, membuat dia merasa tidak nyaman.
"Mengapa mereka memandangku seperti itu?" batinnya.
Dia mengabaikan tatapan tersebut dan terus berjalan, wajahnya tetap datar. Namun, dia tidak bisa menghindarkan diri dari perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Hey, Hali!" panggil Taufan dengan senyum saat berpapasan dengan Halilintar di koridor.
Halilintar membalas dengan nada kasual, "Apa sih?"
Taufan memperhatikan luka di wajah Halilintar dan bertanya, "Lo kenapa? Habis jatuh atau apa?"
Halilintar mengangkat bahu, "Nggak apa-apa, cuma kecelakaan kecil aja."
Taufan memperhatikan luka di wajah Halilintar dan merasa khawatir.
"Lo harusnya ke UKS aja, Li. Biar diobati sama petugasnya," katanya.
Namun, Halilintar menggelengkan kepala.
"Nggak usah, Gue langsung pulang aja."
Taufan tidak bisa berbuat banyak selain mengangguk.
"Oke, hati-hati ya," katanya.
Saat itu juga, Taufan ingin memberitahu Halilintar tentang perasaannya, tapi dia ragu-ragu. Mungkin nanti saja, pikirnya.
Taufan memperhatikan perubahan sikap Halilintar dan merasa senang melihatnya kembali seperti dulu.
Dia mengurungkan niatnya untuk mengungkapkan sesuatu yang mungkin dapat memicu kesalahpahaman di antara mereka.
Taufan memilih untuk menunggu waktu yang tepat untuk berbicara tentang hal yang penting.
"Mungkin nanti saja, saat Li sudah benar-benar pulih," pikir Taufan. Dia tidak ingin memaksakan Halilintar untuk membahas sesuatu yang belum siap dia hadapi.
Taufan memilih untuk menunggu dan terus mendukung Halilintar, sambil berharap bahwa suatu hari nanti mereka bisa membahas semuanya dengan lebih baik.
Halilintar berusaha untuk fokus pada pelajaran hari itu, tapi pikirannya masih terganggu oleh kejadian sebelumnya.
Taufan memperhatikan Halilintar dan berusaha untuk membuatnya merasa lebih baik.
"Hey, Li, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Taufan dengan khawatir.
Halilintar mengangguk dan berusaha untuk tersenyum.
"Aku baik-baik saja, Tau," katanya. Tapi Taufan tahu bahwa Halilintar tidak sepenuhnya jujur.
Dia memutuskan untuk terus mendukung temannya dan menunggu waktu yang tepat untuk membahas hal yang lebih serius.
Halilintar keluar dari kelas dengan santai dan wajah datar, mengikuti kerumunan siswa yang berbondong-bondong menuju kantin.
Kantin sekolah itu dipenuhi dengan suara riang dan aroma makanan yang lezat.
Ia menghela nafas kasar sambil memandang ke seluruh kantin yang dipenuhi dengan meja-meja kayu dan bangku-bangku plastik.
Ia mencari tempat kosong untuk duduk dan menikmati istirahat."
Tak berselang lama, bel masuk pun berbunyi. Halilintar berjalan di koridor seraya mengedarkan pandangannya ke setiap bagian sekolah, dengan senyum yang terukir di wajahnya.
Jika dilihat-lihat, sekolahnya yang sekarang memang lebih bagus ketimbang sekolah lamanya, dan ia merasa bersyukur bisa belajar di tempat yang lebih baik.
Namun, saat ia berjalan melewati ruang kelas yang baru, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak - foto dirinya terpampang di papan pengumuman, dengan keterangan 'Siswa Baru Berbakat' yang tertulis di bawahnya.
Halilintar merasa heran, karena ia tidak pernah mendaftar untuk program berbakat apapun di sekolah ini.
Halilintar teringat kejadian yang menimpanya beberapa waktu lalu, saat ia hampir mengalami kecelakaan yang mengerikan saat terjatuh dari tangga.
Ia masih ingat suara dentuman keras saat tubuhnya menghantam lantai, dan rasa sakit yang menusuk di seluruh tubuhnya.
Hal itulah yang membawanya ke sekolah ini untuk memulai lembaran baru, meninggalkan kenangan pahit di sekolah lamanya.
Bahkan sampai saat ini ia masih berusaha melupakan kejadian tersebut dan fokus pada pendidikannya, dengan harapan bisa membangun masa depan yang lebih cerah.
Ia berjalan dengan langkah yang lebih hati-hati, sambil memandang sekitar sekolah barunya dengan rasa penasaran dan harapan.
Halilintar menghela nafas, tidak ingin terlibat dalam percakapan yang tidak perlu. Ia memang tidak sedang dalam mood yang baik, dan pertanyaan-pertanyaan yang terus-menerus dari teman-temannya hanya membuatnya semakin kesal.
''Bukan apa-apa,'' jawabnya singkat, mencoba untuk menghindari topik pembicaraan yang tidak diinginkan.
Namun, Taufan tidak puas dengan jawaban singkat itu.
'Terus kenapa muka lo kusut kayak gitu?' tanya Taufan, sambil menatap Halilintar dengan rasa penasaran.
Halilintar menggelengkan kepala, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa frustrasinya.
"Sama sekali tidak ada apa-apa, Taufan," jawabnya, berusaha untuk tetap tenang.
Taufan masih penasaran, tapi ia tidak ingin memaksa Halilintar untuk berbicara jika ia tidak ingin.
''Oke, kalau begitu,' kata Taufan, sambil mengangkat bahu.
''Tapi kalau lo butuh teman buat ngobrol, kita ada di sini, kok.''
Halilintar mengangguk sedikit, menghargai perhatian dari temannya, sebelum melanjutkan langkahnya menuju kelas.
Halilintar berhenti di tempatnya, menoleh ke belakang untuk melihat Blaze yang telah menghentikan langkahnya.
''Ada apa?' tanya Halilintar, dengan sedikit rasa penasaran.
Blaze berjalan mendekati Halilintar, dengan ekspresi serius di wajahnya.
''Lo kenapa sih? Sejak tadi lo terlihat tidak enak badan,'' kata Blaze, sambil memperhatikan wajah Halilintar dengan seksama.
Halilintar memandang Blaze dengan sedikit rasa tidak nyaman, merasa bahwa temannya tidak akan puas dengan jawaban singkatnya.
"Gue gapapa," jawab Halilintar ketus, mencoba untuk menutup topik pembicaraan.
Namun, Blaze tidak menyerah. Ia menghela nafas sesaat, lalu kembali berbicara dengan nada yang lebih lembut.
''Kita udah lama temanan, Li, dan lo masih ragu buat terbuka sama kita?''
Blaze menambahkan, ''Jujur aja, Li, apa yang sebenernya lo pikirin?''
Nada suaranya yang penuh perhatian membuat Halilintar merasa sedikit tergerak untuk membuka diri.
Halilintar duduk di sebelah Blaze, menatap ke depan dengan mata yang kosong.
''Gue bingung,'' katanya dengan nada yang lesu. Ia merasa seperti berada di ujung jalan buntu, tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi.
''Dengan cara apa lagi gue buktikan kecerdasan gue? Ortu cuma ngasih waktu sebulan, kalau gue gagal, gue berhenti sekolah.''
Perkataan Halilintar membuat teman-temannya terkejut.
''Hah?'' serentak mereka bertanya, dengan wajah yang penuh tanda tanya.
''Serius lo?'' tanya Blaze, tidak percaya.
''Lo bercanda?'' Taufan menambahkan, mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa Halilintar hanya bercanda.
Namun, Halilintar tidak tersenyum.
''Lo kira gue bercanda?'' katanya dengan nada yang datar.
''Gue nggak tau mereka dapet info dari mana, yang pasti mereka cuma ngasih gue waktu sebulan. Andai aja gue secerdas gempa, mungkin gue enggak akan seambis ini."
"Kenapa lo nggak bimbel aja? Kan banyak tuh tempat bimbel di daerah lo," saran Gentar membuat Halilintar berpikir sejenak.
"Benar tuh, Li. Mending lo bimbel aja, daripada lo berhenti sekolah." sahut Blaze.
"Gue belum siap." kata Halilintar pelan, namun masih bisa didengar oleh mereka.
"Elo yang belum siap? Atau lo mau fokus dulu sama dia?" terka Blaze seolah-olah bisa menebak isi pikiran Halilintar.
Halilintar memandang Blaze dengan sedikit rasa tidak nyaman, merasa bahwa temannya telah menebak isi pikirannya dengan tepat.
''Enggak juga,'' kata Halilintar, mencoba untuk mengalihkan perhatian dari topik yang tidak diinginkan.
Namun, Blaze tidak mau melepaskan topik tersebut.
"Maksud gue, Li, lo memang harus fokus sama pelajaran dulu. Jangan terlalu mikirin cewek,'' kata Blaze dengan nada yang santai, tapi serius.
Halilintar mengangguk pelan, mencoba untuk memahami saran Blaze.
''Gue tahu, tapi gue tidak bisa menghilangkan perasaan ini,'' kata Halilintar dengan nada yang jujur.
Blaze memandang Halilintar dengan serius, lalu berkata, ''Li, lo harus fokus sama tujuan lo. Jangan biarkan perasaan lo menghalangi lo.''
Halilintar menghela nafas, tahu bahwa Blaze benar, tapi sulit untuk tidak memikirkan Adeline.
Halilintar mengangguk lagi, kali ini dengan lebih yakin.
''Gue tahu, Blaze. Gue akan coba fokus sama pelajaran,'' kata Halilintar, mencoba untuk menepati janjinya sendiri.
Blaze tersenyum sedikit, lalu memukul bahu Halilintar dengan ringan.
''Itu yang gue tunggu, Li. Lo bisa melakukan ini,'' kata Blaze dengan nada yang penuh keyakinan.
Halilintar tersenyum sedikit, merasa sedikit lebih percaya diri setelah berbicara dengan Blaze.
Setelah mendapatkan dukungan dari teman-temannya, Halilintar merasa sedikit lebih lega.
Ia tersenyum kecil, merasa bahwa beban di pundaknya sedikit berkurang.
Solar menepuk pundak Halilintar beberapa kali, sebagai tanda dukungan dan persahabatan.
''Gue dukung apapun keputusan lo, asal lo gak nekat lagi,'' kata Solar dengan nada yang serius.
Halilintar mengangguk, merasa bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka.
''Thanks,'' sahut Halilintar samar, tapi cukup untuk membuat teman-temannya tahu bahwa ia menghargai dukungan mereka.
Lalu, mereka membubarkan diri, masing-masing kembali ke kegiatan mereka sendiri, tapi dengan semangat yang baru.
HUWEEE maafin Ufan yah baru bisa update sekarang:(((
Ada yg kangen Ufan gak nih?
Gimana puasanya lancar gak?
Oke segitu dulu ya dari Ufan
Bersambung...
See you next part