抖阴社区

MUA : Prolog

384 19 1
                                        

Suara-suara burung hantu terdengar saling bersahutan malam itu, kelelawar beterbangan di atas sana. Di langit tidak nampak bulan bergantung yang ada hanya awan yang menutup cahaya. Jalanan sudah sedikit lengang kala itu. Namun di salah satu sudut di bawah lampu jalan terlihat empat orang cowok yang baru saja turun dari sebuah SUV yang terparkir di dekat mereka. Badan mereka tertutup dengan jaket parasut berwarna gelap. Dua di antaranya tengah terlibat dalam percakapan sengit.

"Gak usah gila deh lo, Sen, ngajak ke tempat beginian!"

"Kenapa? Lo takut? Takut bilang aja kali," cibir seorang cowok bernama Seno. "Ke club berani ke tempat beginian kicep."

"Bangke! Lo itu norak, tau sekarang jaman udah canggih? Tapi lo masih aja percayaan sama yang beginian!" Reki tak mau dianggap pengecut begitu saja.

"Halah, Re, Rek, udah ngaku aja." Seno mulai melangkah di depan. "Bundaku Siti Nurhaliza!" Seno berjengit kaget begitu mendengar suara tutup sampah yang jatuh akibat seekor kucing. "Bangke lu!"

"Makan tuh! Baru suara aja udah takut!" gantian Reki yang mencibir. "Sok-sok pake manggil Siti Nurhaliza segala."

Tiba-tiba kepalanya dipukul dari belakang oleh Hans. "Itu Nyokap dia, Pinter."

"Oh iya juga ya. Mendingan balik dah. Woi Yan, Hans, lo bedua pilih balik atau gak?"

Dua cowok yang berjalan di belakang Reki itu dengan kompak mengangkat kedua alisnya.

"Gak ada salahnya nyenengin Seno." Hans berlalu menyusul Seno diikuti pula oleh Rian. Di belakang, Reki hanya bisa mendesis sebal.

Akhirnya mereka kembali berjalan di jalan sempit dan gelap tanpa adanya penerangan. Jalan itu adalah sebuah gang tanpa rumah di kanan dan kiri, hanya ada tembok dan juga sungai kecil yang tidak ada aliran airnya. Tak lama mereka sampai di depan sebuah rumah bergaya kuno, terdapat sebuah papan nama di depannya yang sudah tidak dalam posisi benar, papan nama itu bertuliskan,

'MADAME TO SAW (GX PERNAH MLEBU LAMBE TURAH). BUKAN TERAPISIUM.

MELANI PATAH DAN RETAK TULANG/HATI, TAMBAL GIGI/BAN, MEMPERBESAR/MEMPERKECIL ANU, JUAL GAS, PULSA ELEK TRIX, TOKEK ISTRIK, DLL.'

Seno melirik ke arah rumah dan ponselnya bergantian. "Nah ini dia tempatnya yang mau gue tunjukkin!" Seno berbalik menghadap tiga temannya. "Selamat datang di kediaman Madame To Saw." Kedua tangannya terentang ke atas.

"Jangan bilang lo ngajak ke sini mau memperbesar anu," ucap Hans dengan telunjuk yang menunjuk ke arah tulisan di papan.

"Jangan salah, Hans, gini-gini punya gue bagus. Normal dan besar, juga subur."

Reki mendesis. "Bacot kuda."

Selanjutnya mereka melangkah, semakin mendekati rumah itu. Tiba-tiba ketika mereka sampai di depan pintu, mendadak pintu itu terbuka dengan sendirinya. Menghasilkan bunyi derit yang menyeramkan untuk didengar di tengah malam begini. Bagian dalam rumah itu gelap tanpa adanya penerangan lebih selain lampu teras depan.

"Punten."

Terdengar suara-suara hewan bersahutan di luar sana seiring dengan langkah mereka yang semakin dalam. Seno dan Reki memimpin jalan, sementara Hans dan Rian berjalan di belakang. Rumah itu berbentuk memanjang, mereka semakin masuk ke rumah hingga suasana kian menggelap dan tak ada cahaya yang masuk.

"Anjir, ini gelep banget! Gak ada lampu apa, ya?" Seno celingukan. "Alhamdulillah ada cahaya Ilahi."

"Ada hape dimanfaatin kenapa, gak usah terlalu pinterlah," tukas Reki di sebelah Seno yang sedang menyinari tempat itu dengan cahaya dari ponsel. Seno hanya meringis.

"Mamak ku gelundung bola, eh gelundung." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang dan berseru terkejut hingga bola voli yang dipegangnya terjatuh. "Ealah eneng wong toh." Wanita itu bergerak menghidupkan lampu dan seketika ruangan menjadi terang. "Duduk-duduk, silakan, jangan malu nanti nyasar," candanya garing. "Mbah tau kalian pasti mau kemari. Mbah ada perlu apa?" lagi, wanita itu bercanda garing.

Keempat cowok itu duduk di salah satu sofa tua berwarna cokelat muda. Sial bagi Reki ketika dia duduk sofa itu ternyata bolong hingga dia terjerembap jatuh. Reki meringis sedang tiga temannya tertawa senang.

"Maaf, ini sofa udah lama. Lupa diganti, wong hati aja lupa diganti apalagi sofa. Jadi apa yang mau ditanyain?"

"Jodoh. Saya mau tau tentang kehidupan percintaan saya dan ketiga teman saya," ujar Seno cepat dalam satu tarikan nafas.

Wanita paruh baya itu mengangguk-ngangguk lalu menutup mata sedetik kemudian matanya membuka dan bibirnya berucap, "Saya melihat ada ... ada ... ada ... perempuan yang datang di kehidupan kalian. Perempuan yang sedikit dan banyak akan menemani kehidupan kalian hingga waktu yang tak tentu. Mereka yang akan terus berada di sana, hanya mereka yang ada di sana."

"Hah? Maksudnya apa, Mbah? Saya gak ngerti." Seno garuk-garuk kepala.

"Ya itu, masalah jodoh kalian. Wes toh? Satu pertanyaan aja, Mbah gak bisa kalo dua. Berat. Mbah belum nonton Dilan tapi Mbah tau kalo rindu itu berat."

"Makasih, Mbah. Kami pamit pulang."

"Tapi tunggu ... salah satu di antara kalian akan ada dua perempuan yang datang bukan dalam waktu bersamaan."

Petir pun seketikabergemuruh dengan keras seiring dengan guyuran hujan yang mulai membasahi bumi.

Matahari untuk Arinda ??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang