抖阴社区

MUA : Bagian Empat Puluh Tujuh

53 5 0
                                        

Dengan keadaan sangat terpaksa, Arinda akhirnya mendatangi rumah Rian setelah terlebih dahulu menelpon cowok itu. Rian dengan santainya berkata jika proposal itu terbawa olehnya dan menyuruh Arinda mengambilnya di rumah. Demi apapun, Arinda ingin sekali menenggelamkan wajah Rian ke dalam air sekarang juga karena begitu menyusahkan.

Dia turun dari ojek online dan menatap pada tembok setinggi tiga meter bercat putih yang menjadi penghalang antara dunia luar. Pagar hitamnya tertutup rapat tanpa ada celah untuk melihat ke dalam. Dicocokkannya alamat yang berada di tangannya dengan nomor yang tertera di tembok.

"Bang, seriusan ini tempatnya?" Arinda menatap pada ponsel dan tembok itu bergantian.

"Iya, Mba. Ini di hape saya bener lokasinya," jawab sang tukang ojek online.

Arinda ragu. Apa benar ini rumah Rian? Dari luar saja sudah terlihat seperti istana nan megah.

"Mba helm saya."

Arinda mengode dengan tangan pada tukang ojek agar diam. Dia tidak berniat melepas helm itu sebelum memastikan jika tempat yang dituju sudah benar.

"Mba, saya masih mau narik lagi nih," keluh tukang ojek dengan wajah cemberut.

Arinda berdecak dan berjalan menghampiri tukang ojek. "Tunggu bentar, Bang. Nanti kalo saya salah rumah, gimana? Kalo saya diculik, gimana? Abang mau tanggung jawab?"

"Lho ya gak lah, Mba. Tapi ini udah bener lokasinya, Mba."

"Tunggu sini dulu, Bang." Arinda berbalik dan berjalan menuju pagar yang tertutup rapat. Dia hendak mencari tombol bel ketika bagian kecil dari pagar itu terbuka membuat Arinda kaget.

"Cari siapa, Mba?" tanya sebuah suara dari celah berbentuk persegi. Wajah seorang laki-laki yang nampaknya seorang satpam terlihat di sana.

"Saya lagi nyari Rian," jawab Arinda setengah menunduk karena celah itu yang berada sedikit lebih rendah.

"Rian siapa ya, Mba?"

Arinda mengernyit. Jangan-jangan dia memang salah rumah. Dia hendak pergi, tapi bagian dalam dirinya menolak. "Matahari Angkasa yang sekolah di Global."

"Ooh, Den Ari." Kepala laki-laki itu mengangguk. Ternyata Rian memiliki panggilan lain di rumah. "Mba ini siapanya Den Ari?"

"Saya... adek kelasnya. Arinda."

"Sebentar ya, Mba."

Wajah satpam itu kemudian menghilang.

Tak berselang lama, gerbang itu terbuka. Sosok satpam yang terlihat hanya wajahnya kini sepenuhnya berdiri tegak lengkap dengan pakaian khas satpam. Bukan hanya satu melainkan dua orang satpam.

"Mba udah ditunggu di dalem sama Den Ari," kata satpam itu.

Arinda mengangguk dan berbalik menghampiri tukang ojek online yang sudah jengkel. Dilepasnya helm dan diserahkannya pada tukang ojek, kemudian dia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dalam tasnya.

"Duit pas aja, Mba," kata tukang ojek. Tangannya tak terulur untuk mengambil uang yang disodorkan oleh Arinda. "Gak ada kembaliannya."

"Ambil aja semuanya." Arinda menyodorkan uang itu lagi. "Itung-itung uang nunggu."

Dengan wajah berbinar, sang tukang ojek online mengambil uang itu. "Wah, makasih ya, Mba. Kalo mau ke mana-mana lagi pesen aja sama saya."

Arinda tersenyum tipis dan berbalik.

***

Arinda melongo kaget begitu berjalan memasuki gerbang. Ternyata rumah Rian masih berada jauh dari gerbang, jaraknya sekitar lima puluh meter. Rumah Rian sederhana, bergaya country dengan keseluruhan berwarna putih. Di halaman depan banyak dihiasi dengan tanaman bonsai dan juga beberapa tanaman hias lainnya. Rumah yang sungguh asri, Arinda seakan bisa merasakan udara yang berbeda antara di sini dan di luar gerbang. Ada sebuah pohon yang menjulang di sisi kanan rumah.

Matahari untuk Arinda ??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang