抖阴社区

MUA : Bagian Lima Puluh Tiga

57 6 2
                                        

"Gue kehilangan Mama pas kelas sembilan. Mama pergi dari hidup gue setelah dua tahun kena kanker payudara. Dan apa yang paling gue benci adalah Mama nyimpen semuanya dalam senyum," ungkap Rian setelah lima belas menit keheningan melanda dirinya dan Arinda. "Hampir tiga tahun Mama pergi. Mama....orang yang paling gue sayang, dari kecil gue lebih deket sama Mama. Bahkan gue gak mau makan kalo gak sama Mama."

Ingatan Rian kembali kepada masa kecilnya. Berlari-lari lalu kembali menghampiri Mama untuk satu suapan nasi. Ingatan akan apa yang sudah dia habiskan bersama Mama, betapa manjanya dia ketika bersama Mama. Kali ini Rian yang bercerita tentang hidupnya, cerita yang jarang dia senandungkan. Butuh kekuatan lebih baginya untuk kembali mengangkat kenangan bersama Mama karena setiap kali dia teringat akan sosok Mama air matanya tak kuasa mengalir.

"Waktu itu gue marah. Gue marah sama siapapun yang nyembunyiin kenyataan. Gue marah sama Papa bahkan gue hampir marah sama Tuhan. Tuhan gak adil, ngambil Mama gitu aja." Rian mendesah berat. "Gue bahkan gak masuk sekolah selama sebulan. Hidup gue seakan hancur gitu aja, gue gak punya pegangan lagi. Sampai akhirnya gue sadar kalo gue egois. Gue cuma mikirin gue sendiri, gue cuma tau kalo gue yang hancur, padahal Papa juga ngerasain yang sama."

Ya, dulu Rian mengurung diri di dalam kamar. Bermandikan sendu dan kepedihan yang mendalam, niatan untuk menyusul Mama juga sempat ada. Hingga dia sadar apa yang dia lakukan salah. Tidak ada yang namanya ketidakadilan, itu adalah ketetapan Tuhan. Lagipun jika dia memaksa Mama untuk tetap di sini, yang ada dia hanya menambah penderitaan Mama. Mama bukan kalah karena penyakit namun Tuhan terlalu sayang padanya hingga tak ingin hamba-Nya terluka lebih jauh. Belum lagi dengan Papa yang juga terluka, sedih melihat istrinya yang sudah menemani begitu lama pergi dari hidupnya, ditambah dengan Rian yang seakan lupa padanya.

"Papa. Gue liat Papa waktu itu, berdiri deket gue. Gue hampir ngelupain Papa," tambah Rian. Rian berhenti bercerita sejenak. Merangkai kata demi kata.

Tujuan dia bercerita tentang Mama pada Arinda adalah agar cewek itu tau jika apa yang dilakukannya salah. Dia berhak bersedih, tapi tidak sampai harus menyakiti diri sendiri. Rian tidak ingin Arinda terpuruk, dia ingin meyakinkan Arinda bahwa masih ada orang yang sayang dengannya. Menginginkan dirinya kembali seperti semula. Cewek yang tak kenal lelah, nyebelin, penuh tawa dan jahil.

"Gue gak mau lo nyampe jatuh kayak gue, Rin. Look around you, masih ada orang yang butuh lo. Adrian, Lila bahkan gue, Rin. Gue...mau lo kembali. Lo bisa cerita apapun ke gue, I will always listen. Apapun. Kapanpun."

Pandangan Arinda lurus ke depan, setitik air mata jatuh menuruni pipinya.

Kedua tangan Rian memegang bahu Arinda agar menghadap padanya. Rian bisa melihat kesedihan dalam kedua mata cewek itu. "Rin, gue emang gak tau gimana kacaunya perasaan lo sekarang. Tapi gue bakal di sini. Di sisi lo. Nemenin lo. Gue juga sedih ngeliat lo kayak gini, Rin. Adrian juga sedih."

Arinda menangis pelan dengan kepala tertunduk lalu secara tiba-tiba Arinda memeluk tubuh Rian dan menenggelamkan wajahnya di dada Rian. Kedua tangannya melingkari punggung Rian dengan erat. Sementara Rian mengelus rambut Arinda pelan.

***

Hari keempat. Adrian kaget begitu melihat Arinda yang keluar dari kamar sudah mengenakan seragam lengkap.

"Rin, lo mau berangkat? Seriusan?" tanya Adrian heran dan juga khawatir. Namun dalam hati dia juga sedikit senang.

Arinda mengangguk. Bersamaan dengan itu terdengar suara klakson mobil dari luar.

Adrian beranjak melihat mobil siapa gerangan. Ternyata itu adalah mobil Rian yang Adrian tau ketika melihat sang empunya keluar dari dalam mobil.

"Rian jemput lo?"

Matahari untuk Arinda ??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang