抖阴社区

MUA : Bagian Enam Puluh

97 5 0
                                        

Rian tidak tau seberapa kacau dirinya sekarang. Semenjak Arinda pergi, Rian sama sekali tidak kembali ke rumah, dia hanya menghabiskan di salah satu club sebuah hotel ternama. Menegak setengah botol vodka yang membuatnya terkapar di ruang VVIP sendirian. Ponselnya bergetar sedari tadi, menghantarkan berpuluh-puluh pesan juga dengan panggilan. Rian tak perlu susah payah menggubrisnya.

Wajah Arinda yang dibalut dengan air mata terus terngiang di kepalanya. Air mata juga teriakan cewek itu mengikat dirinya dalam sebuah kesengsaraan. Pagi menjelang, lingkaran hitam menghiasi bawah mata Rian. Tanpa berniat untuk pulang dan menyegarkan diri, Rian beranjak keluar dari club. Mengendarai mobil menuju sekolah. Bukan untuk belajar melainkan bertemu dengan Arinda. Tak dipedulikannya rambut yang acak-acakan juga dengan bau alkohol yang menguar dari tubuhnya.

Tak usah ditanya seberapa banyak pandangan heran dan terkejut atas kedatangan Rian dengan penampilannya di sekolah. Pertama kalinya Rian dalam keadaan kacau tanpa kendali.

"Rian, kamu kenapa tidak memakai seragam?" Suara melengking milik Bu Sanam menyambut Rian yang berjalan di lobby. "Kamu mau ke mana?"

"Nemuin Arinda, Bu," jawab Rian sekenanya lalu kembali berjalan. Dihiraukannya panggilan dari Bu Sanam hingga suara itu tak terdengar, teredam oleh kumpulan siswa.

Di sana, Rian bisa melihat sosok Arinda yang berjalan di antara para siswa. Rian mempercepat langkah, membuka jalan dengan kasar dan setengah berlari dia memanggil Arinda di tangga gedung B. Arinda berhenti berjalan. Para siswa yang berada di tangga otomatis menghindar, buru-buru menuju lantai dua ataupun kembali turun, menyisakan Rian dan Arinda.

"Arinda," panggil Rian pelan. Kakinya melangkah mendekat. "Arinda," ulangnya. Kini dia berdiri dua anak tangga di bawah Arinda.

Perlahan, kepala Arinda berbalik. Mata cokelatnya menatap langsung pada mata Rian. Ada kepedihan mendalam pada sorot matanya.

"Rin, maafin gue. Gue tau gue salah, biarin gue jelasin semuanya."

"Maksudnya? Saya gak ngerti."

Bagai tersambar petir, ucapan dari mulut Arinda menjadi pisau yang menikam jantung Rian. Tanpa peduli, Rian mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Arinda, memilin jemarinya dengan jemari Arinda. "Rin, gue tau lo marah tapi tolong dengerin penjelasan gue dulu."

"Memangnya kita berdua punya masalah apa nyampe harus dijelasin segala?" Arinda menatap Rian datar, detik selanjutnya dia menghela nafas. "Oke, silakan jelasin."

Meskipun Rian tau ini bukanlah lampu hijau sepenuhnya namun dia tak mau membuang waktu sedetikpun. "Gue dulu suka sama Helen, Rin. Dia cewek pertama yang gue suka dan gue bahkan berencana untuk kuliah di sana bareng dia. Tapi itu dulu sebelum gue kenal lo. Sebelum gue ketemu lo. Gue berubah, rasa suka gue berubah. Apa yang gue rasa ke Helen bukan rasa kayak dulu. Tapi lo, Rin, elo yang sekarang gue liat. Lo yang berdiri di depan gue. Lo yang udah nyuri hati gue, Arinda."

Rian sengaja menekan kalimatnya juga menaikkan suaranya agar mereka yang berada di sekitar mendengar. Pengakuan Rian yang terang-terangan menyukai Arinda.

"Dan tentang cewek kemarin, itu salah gue. Harusnya gue gak biarin dia ngelakuin itu. Tapi jujur dia bukan siapa-siapa gue, dia cuma anak dari klien Papa. Gue cuma ketemu sama dia di sana, Rin. Gak ada hal lain karena yang gue tunggu itu lo."

Arinda mendengus, tertawa sumbang dengan segaris kepedihan. "Udah?"

Rian menggeram, benar-benar frustrasi menghadapi Arinda. Bagaimana lagi caranya meyakinkan Arinda? Rian semakin menggeram melihat kala melihat Arinda berjalan menaiki anak tangga. Otak Rian bekerja cepat dengan menarik tangan Arinda hingga cewek itu kembali berdiri di hadapannya. Kedua tangan Rian mengurung tubuh Arinda.

Matahari untuk Arinda ??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang