"Nih." Arinda menyodorkan kotak bekal pada Rian yang dia temui di halaman belakang sekolah. Tadi dia sudah ke rooftop GK namun Rian tak ada di sana sehingga Arinda harus mencari cowok itu dan dia menemukannya di sini.
Rian yang bersandar pada batang pohon apel itu menoleh. "Apa?"
"Ini sandwich punya lo. Mereka udah pada makan, tinggal lo doang." Arinda duduk di sebelah Rian lalu membuka kotak bekal itu.
"Buat lo aja kalo lo laper."
Arinda memang lapar sih, tapi ini kan janjinya pada para cassanova. "Gak. Ini buat lo. Makan aja."
Kemudian tangan Rian mengambil sandwich yang hanya tersisa satu itu, menyuapnya lalu dia berkata, "Enak."
"Iya dong," balas Arinda bangga. "Tempat ini nih enak nih. Pas MOS gue suka ke sini, tapi kok sekarang suka gak kepikiran ke sini lagi, ya?"
Arinda merasakan hembusan angin menerpa wajahnya, terasa menenangkan. Ketika kedua mata Arinda tertutup, dia merasakan ponsel di saku roknya bergetar. Diambilnya ponsel itu dan dilihatnya ada sebuah pesan di Line dari Eza yang isinya permohonan maaf. Sejak semalam cowok itu memang berusaha menghubunginya untuk meminta maaf atas ulahnya kemarin.
"Eza suka ngehubungin lo?"
Pertanyaan dari Rian itu menyentak Arinda. "Kadangan sih."
"Sekadangan apa dari gue?"
"Ha? Ya masih banyakan dia daripada lo."
"Suka nelpon?"
"Gak sebanyak nge-chat. Ibarat kata nih perbandingannya 4:1." Arinda mendengar gumaman dari Rian. "By the way, kok lo nyendiri di sini?"
"Lagi mau sendiri."
"Kan lo emang sendiri, alias jomblo," canda Arinda hampir saja ingin tertawa jika saja dia tidak sadar bahwa yang di sebelahnya kini adalah Rian. "Sori. Becanda."
"Kenapa lo mau repot-repot bawa ginian?" tanya Rian kemudian. Sandwich itu sudah habis, tinggal tenggorokannya kini yang terasa kering.
"Karena gue udah janji sama Reki."
"Dia gak serius."
"Ya walaupun gak serius sih tapi tetep aja sebagai bentuk dari rasa terima kasih gue jadi gue iyain. Lagian karena mereka juga kan cewek-cewek jadi bisa karokean." Arinda menutup kotak bekal itu dan menggesernya mendekat. Duduk di sini terasa sangat nyaman, jauh dari bau-bau makanan dan hiruk pikuk. Arinda jadi bingung kenapa tempat ini tak ada yang mendatangi, ya? Rasa-rasanya dia ingin berada di sini, tidur siang mungkin kalau bisa.
Tanpa sadar Arinda kembali menutup matanya kembali, merasakan semilir angin dia menengadahkan kepala, cabang-cabang pepohonan yang memiliki dedaunan itu menutupi pandangannya dari langit biru di atasnya. Semuanya terasa begitu menyenangkan sampai dia membuka mata dan memiringkan kepala sedikit lalu kedua matanya bertemu dengan mata cokelat gelap milik Rian yang tengah memandanganya. Kedua mata mereka beradu. Arinda tidak tau mengapa kini semuanya terasa begitu pas; suasana, tempat dan juga Rian yang ada di sebelahnya. Arinda bisa berlama-lama menatap kedua mata jernih itu. Dia menyukainya. Menyukai apa? Rian? Atau kedua mata itu?
"Eh, anu, gue duluan ke kelas ya." Arinda buru-buru beranjak bangun dan berjalan namun baru dua langkah, Rian memanggilnya.
"Ini gak lo bawa?"
Arinda berbalik dan menatap pada kotak bekal itu. "Lupa. Dah." Dalam langkah cepat, Arinda menjauh dari sana. Pipinya kini terasa memerah hingga dia kembali mempercepat langkahnya kembali menuju kelas.
***
Adrian : Cwek biasanya suka apa?
Arinda : Gue sih apa aja suka. Tp lagi mau pizza gur
Adrian : Pizza gur? Pizza paan? Beli dmn?
Arinda : Tupo anjjzz... Gue mau pizza
Adrian : Ngetik typo aja slh. Jari lo jempol semua?
Adrian : Gw mw beli buat maharani
Arinda membaca pesan itu dengan kesal, dia mengira jika Adrian akan membelikannya makanan namun nyatanya semua itu untuk Maharani. Arinda meletakkan ponsel itu di atas meja kemudian dia menengadahkan kepalanya di atas meja. Di sampingnya, kotak bekal itu masih berisi penuh dengan makanan, dia belum mengantarkannya sama sekali.
"Kamu gak mau nganterin makanan itu, Rin?" tanya Lila, kepalanya menyembul dari balik laptop.
Arinda menggeleng lemah. Bagaimana bisa dia mengantarkan makanan itu sedangkan dia masih merasa malu?
"Kamu emang gak dicariin?"
"Hans udah nge-chat gue," jawab Arinda lemah. Hans tadi memberitaunya jika mereka tengah berada di kantin. Arinda jadi makin malas ke sana makanya dia berada di student corner, menemani Lila mengisi laporan ekskul Mading.
"Ah ternyata, eh ternyata lo di sini."
Arinda serta merta mengangkat kepalanya dan menatap langsung pada suara Reki yang berat itu. dia mendesah dalam hati.
"Kok lo gak nganterin ke sana sih?" protes Reki lalu duduk di depan Arinda.
"Kenapa gak lo aja yang ngambil?" protes balik Arinda. "Nih." Disodorkannya kotal bekal itu pada Reki. Kemudian datang Hans, Rian dan Seno. Hans dan Rian duduk mengapit Arinda.
Seno yang duduk di sebelah Reki itu dengan semangat membuka kotak bekal, lalu mengambil satu tusuk hot rog dari sana untuk kemudian dia membagikan ke tiga temannya.
"Lo sakit?" tanya Hans, tangannya lalu menyuap hot rog itu.
"Gak."
"Terus kenapa?"
"Gak apa-apa." Arinda menegakkan punggungnya lalu bersedekap.
Di depannya, Lila menutup laptopnya, lalu menatap Arinda. "Rin, aku duluan ya. Mau ke sekretariat," katanya, sesuai dengan perkataannya yang hanya ingin melanjutkan laporan lalu ke sekretariat Mading.
Arinda hanya bisa mengangguk, dia ingin pergi dari sana namun Hans menarik tangannya untuk kembali duduk. Arinda mengerling, ingin marah namun dia menahannya dengan cara membereskan kotak bekal miliknya. "Udah kan? Janji gue udah selesai. Tiga hari. Makasih," katanya kemudian.
"Lo harusnya buat kafe ntar Rin. Makanan lo enak, kalo lo beneran buat kafe, gue bakal sering ke sana," sahut Reki penuh semangat ketika Arinda berdiri.
Arinda hanya bergumam lalu beranjak dari sana. Ini adalah hari terakhir, setidaknya dia tidak akan berdekatan lagi dengan mereka, ya mungkin saja.
Arinda membawa kotak bekal itu di tangannya lalu menaiki tangga, baru tangga ke lima, tangan ditarik oleh seseorang hingga tubuhnya menempel di tembok. Arinda mengaduh pelan lalu melihat pada sang pelaku. "Apaan, sih!" ketusnya pada Eza.
"Kenapa Line gue gak ada yang lo baca? Kenapa telpon gue gak lo angkat?" tanya cowok itu langsung. Penuh penekanan berharap Arinda menjawabnya cepat. "Don't lie!"
"Apa yang mau lo omongin?"
Pandangan Eza yang tadinya tajam itu kini melembut. "Gue mau minta maaf, gue tau gue salah. Maaf."
Arinda menghembuskan nafasnya perlahan. "Iya, gue maafin," balasnya.
"Thanks." Eza tersenyum tipis, matanya lalu menatap ke arah kotak bekal milik Arinda sebelum kembali menatap cewek itu. "Masih nganterin makanan ke mereka?"
"Ini yang terakhir."
"Buat apa, Rin? Lo bisa bilang gak sama mereka."
"Bentuk terima kasih aja."
"Bentuk terima kasih gak harus lo turutin juga nyampe lo kayak babu gini disuruh-suruh!" Eza kembali ketus padahal baru saja dia meminta maaf.
Kedua alis Arinda menajam. "Jaga omongan lo! Ini gue yang setuju. Ngerti?" Arinda mendorong tubuh Eza agar menjauh namun cowok itu bergeming. "Minggir!"
"Arinda!"
"Minggir!" Tubuh Eza didorong mundur oleh Rian secara paksa, cowok itu lalu melirik Arinda agar segera menuju kelas. Di belakang, Arinda mengangguk kemudian dia menaiki tangga. "Lo gak denger tadi dia bilang apa?" ucap Rian datar begitu Arinda sudah tidak nampak.
"Lo jadiin dia apa? Suruhan lo?"
"Bukan."
Eza mendengus keras. "Lo baiknya minggir dari dia."
"Lo gak punya hak atas Arinda."
"Gue berhak!" tandas Eza.
"Oh ya?" Satu alis Rian terangkat, seakan terkejut. "Dia bukan pacar lo."
Kalimat itu membuat Eza tersentak. Arinda memang masih belum menjadi pacarnya. Belum sekarang.
"Dia bisa milih sendiri."
"Bukan berarti lo bisa manfaatin dia."
"I wasn't," kata Rian santai. "Kenapa gak main fair aja? Biarin dia yang milih."
Kedua tangan Eza yang berada di sisi tubuhnya mengepal erat hingga urat-uratnya menonjol. Matanya berkelebat sinar marah dengan pandangan menusuk pada Rian namun cowok di depannya ini hanya memberi tatapan datarnya. Merasa tak ada gunanya berkelahi di sini, Eza kemudian berlalu turun dari sana. Menyeruak kerumunan yang datang karena terkejut dan juga menunggu tangga itu kosong agar mereka, anak kelas X, bisa kembali ke kelas. Setelah itu barulah Rian turun.