Siang hari di kota Valleria tak pernah benar-benar sunyi. Kota itu berdetak dalam ritme konstan — derap langkah para pejalan kaki di trotoar, suara samar klakson mobil dari kejauhan, dan percakapan singkat di kafe-kafe kecil yang berjejer di sudut jalan.
Valleria tampak megah. Gedung-gedung klasik berdiri kokoh, jendelanya tinggi dan bersih, memantulkan cahaya matahari seperti kota ini tak pernah mengenal luka.
Saint Arcadia berdiri tegap di tengah hiruk-pikuk kota, seolah menjadi pengawas bisu. Gedung sekolah itu menggabungkan keanggunan arsitektur modern dan klasik — dinding kaca besar memantulkan awan kelabu, lorong-lorong panjang berlapis marmer yang gemanya mengikuti tiap langkah, dan papan pengumuman penuh coretan jadwal ujian serta promosi ekstrakurikuler.
Di luar gerbang, kehidupan terus berdetak. Mobil-mobil melintas, motor menggerung, dan deretan toko kecil berdiri tenang — kafe sederhana, minimarket mungil, hingga kedai makan yang akrab bagi para siswa. Namun, semua kebisingan itu tak lebih dari suara latar yang samar dan tak berarti.
Revan Everheart duduk di kursi tua yang catnya mulai mengelupas. Punggungnya bersandar malas, kepalanya mendongak, memandang langit seolah jawaban-jawaban yang ia cari tersembunyi di sana.
Angin Valleria bertiup pelan, menyapu rambut hitamnya yang kusut. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat atap-atap gedung kota, barisan pepohonan yang mulai meranggas, dan langit pucat yang tampak tak berujung.
Rooftop sekolah menjadi pelariannya — sebuah tempat tinggi dan sunyi, jauh dari kebisingan dan tatapan orang lain. Tempat di mana ia bisa berdiri di antara batas ketinggian dan kehampaan.
Di bawah, halaman sekolah penuh kehidupan. Kelompok siswa bergerombol — tertawa, bercanda, dan sibuk membicarakan hal-hal yang tampak begitu remeh namun terasa penting bagi mereka.
Semuanya terlihat... mudah.
Blazer hitam Revan terbuka, dasi bergarisnya longgar, dan kemeja putihnya tampak kusut. Bukan karena ia ceroboh — tetapi karena ia tak peduli. Sosoknya seperti bayang-bayang dirinya yang dulu — seseorang yang pernah bersinar, yang pernah berdiri tegap dengan penuh tujuan, tapi kini hanya tinggal serpihan.
Dengan gerakan lambat, ia merogoh saku blazernya dan mengeluarkan sebungkus rokok yang penyok. Satu batang terselip di bibirnya.
Klik. Korek api tua menyala.
Dan ujung rokok itu membara. Asap tipis membubung, melayang-layang seolah ikut melarikan diri dari kenyataan.
Dia suka asapnya.
Suka bagaimana ia bisa mengembuskannya — seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang bisa ikut terlepas. Sesuatu yang berat. Sesuatu yang selama ini ia pendam.
Dulu, dia adalah seseorang.
Siswa teladan. Cerdas, ambisius, dikagumi guru-guru dan teman-temannya. Perpustakaan adalah rumah keduanya, dan laboratorium sekolah menjadi tempat ia membangun mimpi.
Sekarang? Semua itu hanya kenangan yang perlahan memudar — seperti matahari yang tenggelam di cakrawala.
Dan di antara kepulan asap, dia merasa sedikit lebih ringan.
Setidaknya, untuk sesaat.
Hening —
Klek. Pintu rooftop berada jauh dibelakangnya berdecit pelan, suara logam beradu yang memecah keheningan.
Revan tak bergerak. Tak menoleh. Tak perlu.
Dan benar saja.
Savina Callista.
Dia berdiri di ambang pintu — angin sore memainkan helaian rambut panjangnya yang kecokelatan, membuatnya tampak seperti sosok yang baru saja melangkah keluar dari lukisan klasik.
Selalu terlihat sempurna di mata banyak orang — anggun, tenang, dan memiliki pesona alami yang sulit diabaikan. Seragam Saint Arcadia yang rapi membungkus posturnya yang seimbang, setiap geraknya terasa terukur, namun sorot matanya tetap sama — tajam, dalam, dan sulit ditebak.
Bagi banyak orang, Savina adalah sosok idola.
Bagi Revan... Savina adalah masa lalu.
Seseorang yang pernah hampir berdiri di sisinya — sebelum semuanya menjadi serumit ini.
Savina tak berkata apa pun. Tapi kehadirannya berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Revan tetap duduk, malas, membiarkan rokok di jarinya membakar perlahan hingga hanya tersisa puntung. Pandangannya tak lepas dari langit.
Hening. Hanya angin yang berbicara.
"Kenapa kau masih saja menemuiku, Savina?" suara Revan akhirnya pecah, pelan, namun dingin. Tak ada emosi, seperti sebuah pertanyaan retoris yang tak mengharapkan jawaban.
Savina tak segera merespons.
Angin membawa keheningan baru di antara mereka.
Lalu akhirnya...
"Jika aku pergi," ucap Savina pelan, suaranya lembut namun mengandung ketegasan, "apakah itu akan mengubah sesuatu?"
Revan tak bergerak.
Matanya tetap terpaku pada langit, tapi jemarinya meremas puntung rokok di tangannya hingga bara kecil di ujungnya padam.
Dan sekali lagi, di antara mereka, hanya ada pertanyaan tak terjawab.
-----------------------------------------------------------------

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Atas Langit
Romance"Luka di Atas Langit" Revan Everheart pernah bersinar - sampai waktu menghapus sinarnya, meninggalkannya berdiri sendirian di rooftop Saint Arcadia. Savina Callista berjalan di jalur sebaliknya. Dari gadis sederhana menjadi sosok yang bers...