Langit malam di halaman utama Saint Arcadia masih bersinar lembut, diterangi lentera-lentera kecil yang bergoyang di bawah embusan angin. Meja dessert tampak rapi, sudut foto klasik-romantis dipenuhi pasangan yang berpose ceria, dan suara tawa serta musik lembut mengalun, menyatukan kehangatan malam Valentine.
Acara... berjalan cukup lancar.
Savina dan Revan, yang sejak awal bergerak di balik layar, masih sibuk memastikan setiap detail tetap terkendali. Mereka saling bertukar kata tanpa banyak berpikir-seolah-olah bekerja dalam ritme yang sudah mereka pahami.
"Revan, sudut kiri mulai gelap. Lampu gantungnya-"
"Kontak kabelnya kendor. Aku tangani."
Savina mengangguk cepat, tak lagi melanjutkan kalimatnya.
Semua tampak baik-baik saja. Sampai sebuah suara memecah ketenangan itu.
"Tidak seharusnya kau berada di sini, Revan."
Suara Nathan.
Savina terdiam seketika, ekspresinya menegang. Revan, yang tengah menarik kabel lampu, berhenti sejenak sebelum akhirnya bangkit perlahan.
"Maaf?" Revan menoleh, wajahnya netral-terlalu netral.
Nathan melangkah mendekat, jasnya sedikit kusut akibat aktivitas di panggung, tetapi matanya tajam.
"Ini tugas Student Council. Kau... bukan bagian dari kami. Jadi..." kata-kata Nathan terlontar begitu saja tanpa ia sadari- tanpa berpikir panjang tentang dampak apa yang akan terjadi dari hasil perkataannya, "...berhentilah bersikap seperti seorang pahlawan yang tiba-tiba muncul memberikan bantuan?"
Sejenak, suasana di antara mereka terasa begitu hening, meski di kejauhan, musik dan tawa masih berbaur di malam itu.
Revan tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Nathan beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis-senyum yang tak benar-benar sampai ke matanya.
"Benar," gumam Revan, suaranya datar. "Aku memang bukan bagian dari kalian."
Savina melangkah maju, berusaha melerai.
"Nathan... Revan hanya—" Savina mencoba memilah kata yang tepat untuk melerai kedua pihak, "kau tahu acara ini—"
"Bantuan?" Revan memotong, tatapannya tetap pada Nathan. "Kalau memang cuma bantuan, harusnya dari awal aku diam saja... membiarkan semuanya tetap berantakan."
Nathan mengernyit. "Apa maksudmu?"
Revan mengambil napas, kemudian menggeser sedikit langkahnya-lebih dekat, namun suaranya merendah, tajam menusuk di tengah keramaian.
"Harusnya aku juga pura-pura tak melihat... saat seseorang berdiri terlalu lama sampai hampir tumbang."
Savina membeku.
Matanya melebar, kenangan samar tentang dirinya yang hampir pingsan di aula beberapa hari lalu berkelebat di benaknya.
Nathan membatu.
Kata-kata Revan bukan hanya tentang bantuan atau acara-itu soal momen di luar aula... saat Savina nyaris roboh karena memaksakan diri.
Dan Revan-yang bukan siapa-siapa-justru menjadi orang yang memperhatikannya.
Ketegangan di antara mereka menggantung, seperti simpul tali tirai yang nyaris putus.
Savina buru-buru menyentuh lengan Revan, menariknya sedikit menjauh. "Revan, sudahlah..."
Namun saat ia menatap mata pemuda itu, yang dilihatnya hanyalah kegelapan-tatapan kosong yang begitu dikenalnya.
Revan tersenyum lagi, tipis dan dingin.
"Semoga acara kalian berjalan dengan lancar."
Tanpa membiarkan Savina atau Nathan menahan lebih jauh, Revan melangkah pergi.
Savina spontan mengejarnya, jarinya mencengkeram lengan Revan, suaranya lirih namun mendesak. "Revan, tolong... jangan pedulikan apa yang dikatakan Nathan."
Revan berhenti-tapi tidak menoleh.
"Aku sudah biasa."
Suaranya terdengar hampa, nyaris seperti bisikan malam yang terbang bersama angin.
Dan saat Savina mengeratkan cengkeramannya, berharap Revan akan tetap tinggal-pemuda itu malah melepaskan lengannya perlahan.
Satu langkah. Dua langkah.
Revan pergi.
Dan seperti malam tanpa bintang... kekacauan pun perlahan merayap.
-
Di sisi lain halaman, Adrian mulai panik. "Di mana Revan?"
Celeste menatap sekeliling. "Jangan bilang dia pergi."
Elise mendekat, ekspresinya tegang. "Panggung cadangan masih belum siap. Siapa yang—"
Kursi di area tamu mulai berantakan, kabel-kabel yang semula teratur mendadak saling bersilangan. Sudut lampu gantung yang tadinya menyala terang kini mulai redup.
Julian menggerutu sambil mengetuk-ngetukkan pulpennya di meja. "Kita butuh dia buat ngatur ini semua."
Namun... Revan tidak ada.
Dan perlahan, kekacauan yang semula terkendali mulai menjalar.
Siswa-siswi yang awalnya sibuk berdansa mulai resah melihat dekorasi berantakan. Beberapa dari mereka mulai meninggalkan halaman utama, bergumam kecewa.
"Kenapa lampunya mati?"
"Mejanya miring! Hati-hati!"
"Kenapa jadi kacau begini?"
Suara-suara panik mulai bermunculan.
Di tengah semua itu, Savina berusaha mengambil alih. "Celeste, pastikan kabelnya tidak—"
"Savina, kabelnya saling bertumpuk. Aku nggak tahu mana yang rusak!" Celeste memotong dengan nada frustasi.
Savina mengatur napas. "Adrian, tolong pastikan kursinya—"
"Aku nggak bisa sendirian! Revan yang biasanya—"
Savina menggigit bibirnya, jari-jarinya semakin erat mencengkeram clipboard yang ada di tangannya.
Namun, semakin keras ia berusaha mengendalikan keadaan, semakin segalanya tak terkendali.
Sampai akhirnya—
Sebuah dorongan kecil dari kerumunan membuatnya limbung.
Clipboard-nya jatuh, terlepas dari genggamannya... dan sebelum sempat ia pungut, seseorang yang terburu-buru melintas justru menginjaknya tanpa sadar.
Kertas-kertas penting berceceran, terlipat, dan sebagian terkoyak.
Savina membeku.
Seolah benda kecil itu mewakili satu hal: betapa hancurnya malam ini.
"Savina..." suara Elise parau, "ini mulai nggak bisa dikendalikan."
Siswa-siswi yang kecewa mulai berbondong-bondong meninggalkan area, meninggalkan kesan malam Valentine yang remuk.
Savina tak berkata apa pun.
Ia hanya berdiri... memandangi clipboard-nya yang rusak-dan kertas-kertasnya yang tercerai-berai.
Bukan karena acaranya berantakan.
Melainkan karena pengorbanan Revan-yang selama ini ia lihat dan ia jaga-telah runtuh begitu saja.
Setetes air mata akhirnya jatuh, membaur bersama sorot lampu yang meredup.
Namun tak seorang pun menyadarinya.
Karena bagi mereka yang hadir malam itu... semua ini hanya kekacauan biasa.
Tanpa pernah tahu... apa yang sebenarnya terjadi di balik tirai Valentine Saint Arcadia.
--------------------------------------------------------------

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Atas Langit
Romance"Luka di Atas Langit" Revan Everheart pernah bersinar - sampai waktu menghapus sinarnya, meninggalkannya berdiri sendirian di rooftop Saint Arcadia. Savina Callista berjalan di jalur sebaliknya. Dari gadis sederhana menjadi sosok yang bers...