抖阴社区

CHAPTER 8 - 1 : Seutas Bayang di Ujung Langit

5 1 0
                                    

Rooftop Saint Arcadia

Savina mendorongnya perlahan, dan suara derit halus bergema — memecah keheningan sore yang melayang di udara. Begitu pintu tertutup di belakangnya, dunia terasa jauh.

Suara gaduh dari lapangan olahraga, langkah-langkah tergesa siswa di koridor, semua memudar menjadi latar belakang samar. Di sini, hanya ada angin yang berembus pelan, mengacak-acak helaian rambut panjang Savina, dan... satu sosok yang sudah ia duga akan ada di sana.

Revan Everheart.

Seperti biasa, ia duduk bersandar malas di bangku tua di sudut Rooftop. Kemeja putihnya sedikit kusut, dasi hitam-putihnya longgar, dan blazer hitamnya terbuka begitu saja — membiarkan angin sore bermain-main di kainnya.

Satu tangan bertumpu di sandaran kursi, sementara tangan lainnya tergantung lemah di sisi tubuhnya. Kakinya terjulur santai, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti.

"...Mau sampai kapan kau terus-terusan mencariku?" Suara Revan terdengar datar, hampir bosan. Ia bahkan tidak menoleh.

Savina tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan kata-kata itu bergema di udara, sebelum akhirnya melangkah mendekat.

"Aku tidak mencarimu," jawabnya pelan. "Aku hanya... butuh udara segar."

Revan terkekeh, meski lebih terdengar seperti tawa getir.

"Udara segar?" gumamnya, masih memejamkan mata. "Disini bukan tempat yang biasa kau kunjungi, Savina."

Savina menahan napas sejenak.

Orang bisa saja berubah, bukan? Begitulah yang ingin ia katakan. Tapi kata-kata itu hanya mengendap di tenggorokannya.

Ia tahu — Revan tahu — ini bukan soal udara.

Ini soal jarak. Soal kebiasaan Revan yang selalu menarik diri.

"Aku bisa pergi kalau kau mau," ujar Savina akhirnya.

Baru kali ini, Revan membuka matanya.

Tatapan abu-abu gelapnya bertemu dengan mata cokelat tajam milik Savina — dan meskipun mata mereka bertubrukan, ada tembok tak terlihat yang tetap berdiri di antara keduanya.

"Kau sering ke sini?" tanya Savina.

Revan mengangkat bahunya. "Kadang. Saat aku butuh udara."

Kebohongan lain.

Savina tahu, ini bukan soal udara — ini soal melarikan diri.

Ia melangkah lebih dekat, berdiri di sisi pagar besi Rooftop. Jemarinya meraba permukaan pagar yang dingin dan sedikit berkarat. Angin sore menyapu ujung roknya, tapi ia tak peduli.

"Revan," panggilnya pelan. "Kata-katamu di rapat tadi... membuatku berpikir."

Revan menoleh sekilas, tapi tak menanggapi.

Savina menarik napas dalam. "Tentang imajinasi dan angka."

Senyuman tipis terangkat di sudut bibir Revan — bukan senyum ramah, lebih seperti ejekan halus pada dirinya sendiri.

"Itu cuma omong kosong spontan," jawab Revan. "Aku tak benar-benar peduli bagaimana kalian membagi anggaran atau membangun panggung megah."

Savina menajamkan pandangannya.

"Kurasa, bukan itu intinya."

Akhirnya, Revan memutar tubuhnya sedikit, cukup untuk menatap Savina secara langsung.

"Kalau begitu," bisiknya, "apa intinya?"

Savina merasakan dadanya mengencang. Ada ketegangan tipis di udara — bukan karena pertengkaran, tapi karena sesuatu yang tak terucap sejak lama.

"Bukankah itu yang selalu kau lakukan?" kata Savina, suaranya bergetar pelan. "Berbicara tentang hal-hal besar... lalu berpura-pura seolah kau tidak peduli."

Revan diam.

Angin bertiup sedikit lebih kencang, membuat blazer hitamnya berkibar liar. Tapi Savina tak bergeming.

"Kau masih orang yang sama," lanjut Savina, suaranya nyaris seperti bisikan. "Orang yang mengajariku untuk tidak hanya melihat angka... tapi makna di baliknya."

Wajah Revan mengeras. "Aku bukan orang yang sama, Savina."

Savina menggigit bibir bawahnya — menahan sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya.

"Bukan kau yang berubah..." ucapnya, "hanya caramu menyembunyikan semuanya yang semakin baik."

Keduanya diam.

Revan menunduk sedikit, membiarkan rambut hitamnya jatuh dan menutupi sebagian wajahnya.

"Aku tidak butuh dikasihani," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam angin.

Savina mengepalkan tangannya di pagar, buku-buku jarinya memutih.

"Aku tahu," balas Savina. "Dan aku tidak mengasihanimu."

Revan menoleh, ekspresinya tajam dan dingin.

"Lalu apa yang kau inginkan, Savina?"

Hening.

Savina memandang langit — kelabu pucat, dengan semburat oranye samar di cakrawala — sebelum akhirnya menatap Revan lagi.

"Aku hanya ingin memastikan..." katanya pelan, namun mantap, "bahwa kau belum sepenuhnya menyerah."

Kata-kata itu seperti petir di tengah sore yang tenang.

Revan membeku.

Matanya menggelap — bukan karena marah, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam.

"Kau terlalu percaya pada hal-hal yang tak pasti," desis Revan.

Savina menatapnya tanpa ragu. "Dan kau... terlalu cepat untuk menyerah."

Angin kembali berembus, menerpa keduanya — tapi ketegangan di antara mereka tetap tak goyah.

Revan tersenyum tipis — senyum yang lebih terasa seperti tameng.

"Aku tidak butuh diselamatkan, Savina."

Savina memejamkan mata sejenak, lalu membuka matanya kembali — lebih kuat, lebih tajam.

"Mungkin bukan itu masalahnya," bisiknya. "Aku rasa... kau hanya butuh seseorang yang tetap melihatmu, meskipun kau merasa tak terlihat."

Revan terdiam.

Tidak ada bantahan. Tidak ada ejekan sarkastik.

Hanya sunyi... dan celah tipis di balik dinding yang selama ini Revan bangun.

Dan di rooftop Saint Arcadia itu — di bawah langit kelabu yang perlahan memudar — dua orang berdiri berhadapan.

Tidak ada jarak fisik di antara mereka.

Hanya ada ruang... yang belum siap untuk dijembatani.

------------------------------------------------------------------

Luka di Atas LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang