抖阴社区

CHAPTER 9 - 2 : Tatapan yang Tak Tercatat

3 0 0
                                    

Ruang rapat Student Council Saint Arcadia terasa lebih ramai dari biasanya. Meski ruangan itu tetap dipenuhi suasana formal dengan papan tulis besar yang dipenuhi sketsa dekorasi dan daftar kebutuhan acara Valentine, keheningan biasanya telah berganti menjadi hiruk-pikuk aktivitas.

Map-map bertumpuk di meja panjang, beberapa lembar catatan ditempel di dinding, dan suara langkah tergesa-gesa bergema setiap kali pintu terbuka dan tertutup.

Nathaniel Gryson berdiri di dekat papan tulis, tangannya bersedekap, sesekali memberi instruksi kepada mereka yang keluar masuk ruangan untuk melapor. Sosoknya tetap tegap - seperti pusat gravitasi yang membuat semuanya berjalan meski di tengah kekacauan.

"Julian," suara Nathan tegas, "konfirmasi ulang soal lampu sorot dan sound system untuk acara malam ini. Aku mau kepastian."

Julian Hayes, yang sedang duduk dengan kaki menyilang di salah satu kursi, memainkan pulpennya sebelum mengangguk santai. "Baik, aku akan menghubungi vendor-nya... lagi," katanya, menekankan kata terakhir dengan nada setengah sarkastik.

Nathan tak bereaksi. "Elise, pastikan denah lokasi sudah dikunci. Aku tidak mau ada perubahan mendadak."

Elise Moreau mengangguk tanpa mengangkat wajahnya dari map biru muda di tangannya. "Sudah, aku akan cetak ulang kalau ada revisi."

Celeste Aragon berdiri di pojok ruangan, tangannya sibuk mengetik sesuatu di ponsel. "Aku akan pastikan dekorasi utama di gerbang masuk selesai tepat waktu. Tapi aku butuh lebih banyak orang untuk membantu menggantungkan hiasan."

"Adrian," Nathan memutar badannya, "bantu Celeste mengatur tim dekorasi."

Adrian Falkner menghela napas, lalu bangkit dari kursinya. "Baik. Tapi kalau ada yang protes soal anggaran tambahan lagi, jangan salahkan aku," gumamnya, setengah bercanda, setengah serius.

Dan di antara keramaian itu... ada Savina Callista.

Ia berdiri di sisi kanan Nathan, jemarinya mengetuk pelan map hitam di tangannya - kebiasaan lamanya. Tapi ada perbedaan tipis: kali ini, ritmenya lebih pelan, lebih terukur, seperti seseorang yang berusaha menjaga pikirannya tetap fokus.

"Savina," suara Nathan memecah lamunannya, "koordinasikan tim lapangan. Aku ingin tahu posisi semua anggota dan progres dekorasi sejauh ini."

Savina mengangkat wajahnya, mengusir sisa bayang-bayang Revan yang sempat singgah di pikirannya.

"Baik," jawabnya lembut namun tegas.

Dia bergerak dengan anggun, menghampiri Celeste lebih dulu. "Tim dekorasi sudah ditugaskan di aula utama dan gerbang masuk, kan?" tanyanya, memastikan.

Celeste mengangguk. "Ya, tapi mereka kekurangan bantuan untuk memindahkan properti."

Savina mengangguk paham. "Aku akan tugaskan beberapa anggota tambahan."

Dia kemudian beralih ke Adrian. "Setelah kau membantu Celeste, tolong pastikan kabel untuk pencahayaan tidak berserakan di jalur utama. Kita tak bisa membiarkan ada risiko malam ini."

Adrian tersenyum miring. "Selalu memikirkan hal-hal kecil, ya?"

"Karena hal-hal kecil bisa menghancurkan semuanya," jawab Savina tenang.

Di sudut ruangan, Julian terkekeh mendengar percakapan itu, sementara Elise melirik jam tangannya - ekspresinya tetap setenang biasanya.

Dan meski Savina terlihat sibuk, pikirannya sempat melayang kembali...

Revan.

Panggilan Nathan di koridor tadi terasa seperti garis tipis yang memisahkan dirinya dari percakapan singkat - namun tajam - bersama Revan. Ada sesuatu dalam cara Revan menatapnya, dalam kalimatnya yang seolah lebih tajam dari pisau, yang terus mengusik Savina meski ia berusaha keras mengabaikannya.

Namun, sekarang bukan waktunya untuk membiarkan perasaan itu mengganggu.

Savina menarik napas dalam-dalam, lalu kembali ke sisi Nathan. "Semua sudah terkoordinasi," ucapnya lembut. "Sekarang kita hanya perlu memastikan tidak ada perubahan mendadak."

Nathan mengangguk pelan, matanya menelusuri catatan di tangannya. "Kita harus memastikan acara malam ini sempurna. Tidak boleh ada celah."

Savina mengerti apa makna di balik kata "sempurna" yang Nathan maksudkan.

Bukan hanya demi reputasi Student Council.

Tapi demi menjaga citra Saint Arcadia - dan demi membuktikan bahwa mereka, sebagai pengurus, mampu mengendalikan segalanya.

Meski, di hati kecilnya... Savina tahu.

Ada hal-hal yang tak selalu bisa mereka kendalikan.

Seperti seseorang dari masa lalu yang tiba-tiba muncul... dan membuat segalanya sedikit lebih rumit.

------------------------------------------------------------------

Luka di Atas LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang