抖阴社区

CHAPTER 4 - 2 : Konfrontasi yang Tak Terelakkan

3 1 0
                                    

Langit sore membentang luas di atas halaman parkir sekolah, membiaskan warna jingga yang perlahan ditelan kelabu.

Semburat cahaya terakhir dari matahari yang tenggelam menyisakan bayang-bayang panjang di atas aspal, menciptakan kesan muram yang tak bisa diabaikan. Udara hangat berembus pelan, membawa aroma khas aspal yang tersiram terik sepanjang hari. Daun-daun di tepi lapangan bergetar lembut, suaranya samar—begitu halus hingga nyaris tertelan keheningan.

Namun, di antara ketenangan itu, langkah Savina terdengar begitu jelas.

Sepatu hitamnya beradu dengan kerikil kecil di jalan, menciptakan irama teratur—tidak terburu-buru, tetapi juga tidak ragu. Setiap langkah memiliki tujuannya sendiri.

Di sudut parkiran, Revan berdiri bersandar di motornya.

Kunci motor berputar pelan di antara jari-jarinya, menghasilkan bunyi klik berulang kali—bukan karena gelisah, melainkan seperti seseorang yang tengah mengulur waktu. Seragamnya tetap berantakan—dasi longgar, kancing atas terbuka, dan lengan baju tergulung asal. Jas hitam Saint Arcadia yang seharusnya memancarkan kesan rapi dan berwibawa, kini justru tampak kontras dengan caranya berdiri—dingin, acuh tak acuh.

Namun, bukan penampilannya yang membuat Savina terpaku.

Melainkan sorot mata Revan.

Tatapannya kosong di permukaan, tetapi ada bara kecil yang nyaris padam jauh di dalam sana—halus, hampir tak kasatmata. Seolah dia tahu Savina akan datang. Seolah dia sudah memperkirakan momen ini—bukan karena menginginkannya, tapi karena sadar bahwa pertemuan ini tak bisa dihindari.

Savina terus melangkah.

Jarak di antara mereka semakin menyempit, tetapi rasanya lebih jauh dari apa pun.

Tak ada sapaan.

Tak ada basa-basi.

Hanya ada diam—dingin dan tajam—menggantung di antara mereka, lebih lebar dari ruang yang memisahkan tubuh mereka.

Dan ketika hanya tersisa beberapa langkah di antara mereka, Savina berhenti.

Hening.

Kertas kecil yang tergenggam di tangannya semakin kusut, sudutnya terlipat tak beraturan—bukan karena waktu, tetapi karena jemarinya yang terus meremasnya terlalu erat. Udara di antara mereka begitu berat, seolah setiap tarikan napas saja bisa memicu sesuatu yang lebih besar.

Savina mengangkat tangannya, memperlihatkan secarik kertas kecil itu.

"Apa maksudnya?"

Suaranya terdengar tenang, tetapi tajam—seperti pisau tipis yang menusuk tanpa peringatan.

Revan menatap kertas itu.

Matanya tetap gelap, sulit ditebak—tidak ada kejutan, tidak ada kemarahan, tidak pula kesedihan. Hanya kekosongan. Napasnya terdengar pelan, nyaris tak bersuara—seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang tak ingin ia tunjukkan.

"Kau tahu maksudnya."

Savina tak bergerak.

Angin sore berembus pelan, mengacak rambut panjangnya yang berwarna kastanye. Helai-helai itu menari di udara, tetapi Savina tetap berdiri tegak, tak sedikit pun bergeming.

"Aku ingin mendengarnya langsung darimu."

Suara itu keluar lebih pelan, tetapi penuh tekanan—bukan permintaan, melainkan tuntutan yang tak bisa diabaikan.

Revan tertawa kecil—pahit, tanpa kehangatan.

"Kenapa kau masih peduli?"

Pertanyaan itu terdengar datar, tetapi menusuk. Bukan karena maknanya, melainkan karena bagaimana Revan mengucapkannya—begitu ringan, seolah peduli adalah sesuatu yang salah.

Luka di Atas LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang