Langit sore menggantung jingga di atas Saint Arcadia. Bayangan panjang tercetak di aspal, meregang seiring waktu yang terus berdetak, seolah enggan menyeret hari menuju malam.
Revan Everheart berjalan perlahan menuju gerbang sekolah. Udara dingin menusuk kulit, tapi ada sesuatu yang jauh lebih menyakitkan dari sekadar hembusan angin—sebuah beban tak kasat mata yang sejak tadi menggelayuti pikirannya.
Tatapan kosong Savina. Suara lirihnya. Jeda di antara mereka yang lebih nyaring daripada kata-kata.
Langkah Revan melambat.
Di kejauhan, di area parkir sekolah, sebuah sosok membuat dadanya bergetar tanpa permisi.
Savina Callista.
Ia berdiri di samping Novarre Celestia—mobil sedan elegan berwarna Midnight Black yang tampak kontras dengan bayangan senja. Jemari Savina terlihat ragu-ragu di udara sebelum akhirnya menyentuh helai rambut lurusnya. Mata gadis itu terpaku pada titik tak terlihat, seperti sedang terjebak dalam pikirannya sendiri.
Revan mematung.
Jarak mereka cukup jauh agar Savina tak menyadari kehadirannya... tapi cukup dekat bagi Revan untuk melihat segala detail kecil—cara Savina menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, bahunya yang turun tipis-tipis, dan kelopak matanya yang mengerjap satu detik lebih lama dari seharusnya.
Apakah dia sedang menunggu seseorang?
Atau...
Apakah dia hanya sendirian—seperti dirinya?
Revan merasakan sembilu aneh menusuk dadanya.
Savina yang berdiri di sana bukanlah gadis yang ia kenal dulu. Ada sesuatu dalam sorot matanya—ketenangan, ketegaran, sebuah aura kuat yang membungkus kelembutannya. Sementara Revan? Ia tak lebih dari bayangan yang kian memudar, sisa-sisa kejayaan masa lalu yang tak lagi memiliki tempat.
Ingatan masa lalu menghantam.
Saint Joseph.
Sekolah yang pernah menjadi rumah bagi para murid berprestasi—dan di antara mereka, Revan adalah bintang paling terang. Guru-guru mengenalnya. Siswa-siswa membicarakannya. Ia adalah murid jenius yang selalu tahu caranya mencuri perhatian.
Ambisi. Impian besar.
Semuanya terasa dekat.
Namun, kini?
Impian itu telah runtuh, seperti reruntuhan kastel megah yang diam-diam lapuk dari dalam.
Dan Revan hanya bisa berdiri di sini—Saint Arcadia—mengamati Savina dari kejauhan.
Jari-jarinya mengepal di dalam saku celana, ada dorongan yang tak tertahankan. Sebuah suara kecil dalam dirinya memohon agar ia melangkah maju, menyapa Savina, mengulang sesuatu yang telah lama hilang.
Tapi—
Bruk! Sebuah benturan.
Revan tersentak satu langkah.
"Kau tidak bisa melihat jalan?" Suara tajam seorang siswa laki-laki memecah keheningan.
Anak itu tampak lebih muda—berseragam Saint Arcadia dengan dasi yang sedikit longgar. Ranselnya tersampir di satu bahu, dan alisnya terangkat sedikit—sikap defensif yang mencuat dari insiden kecil barusan.
Revan tak berkata apa-apa.
Sorot matanya lurus ke depan—datar, dingin, dan kosong.
Siswa itu mengerutkan dahi, masih berdiri tegak, seolah bersiap melontarkan protes berikutnya. Tapi perlahan... sesuatu dalam ekspresinya berubah.
Mata Revan.
Bukan amarah. Bukan kekesalan.
Hanya kehampaan.
Sunyi.
Lalu bibir Revan bergerak.
"Lucu sekali."
Suaranya lembut—nyaris seperti bisikan, tapi menusuk seperti belati tersembunyi.
"Aku bahkan tidak menyadari keberadaanmu," lanjutnya, masih dengan nada tenang yang entah bagaimana justru terdengar mematikan. "Sepertinya kau ahli membuat dirimu terlihat... tidak penting."
Siswa itu membeku.
Percikan keberanian yang sebelumnya menyala kini redup seketika.
"A-aku..." katanya, suaranya bergetar, kehilangan arah.
Ia menelan ludah, mengalihkan pandangan, lalu mundur setengah langkah. "Aku... mohon maaf atas ketidaksengajaan ini," gumamnya singkat, sebelum bergegas pergi tanpa menoleh lagi.
Revan tetap diam.
Tak ada kepuasan. Tak ada kemenangan.
Hanya kehampaan yang sama.
Ketika akhirnya Savina membuka pintu Novarre Celestia dan masuk, Revan tak bergerak. Matanya mengikuti mobil itu yang perlahan melaju, membelah keheningan sore, hingga akhirnya menghilang di tikungan.
Dan di saat roda mobil itu berputar menjauh... sesuatu di dalam dirinya ikut terkikis.
Yang tersisa hanya sunyi.
Revan menghela napas—berat, nyaris putus asa. Ia melangkah pelan menuju sepeda motornya—motor retro tua dengan goresan di sana-sini. Joknya sudah retak, mesinnya tak lagi mulus. Namun bagi Revan, motor itu lebih dari sekadar kendaraan.
Ia adalah saksi bisu dari semua pelariannya.
Dengan gerakan lambat, ia memutar kunci. Suara mesin tua itu meraung lirih, seperti memprotes usia dan kenangan yang disimpannya.
Angin malam berembus, membawa aroma dedaunan lembap dan senja yang berangsur pudar.
Namun satu hal yang tak bisa terbawa angin...
Adalah kenangan.
Kenangan yang kini kembali mencengkeramnya lebih kuat dari sebelumnya.
------------------------------------------------------------------
Catatan Penulis 📝
Saint Joseph itu sekolah yang setara dengan SMP, hanya saja aku ingin membuat cerita yang mungkin semi fiksi? 🤔 Gitu deh pokoknya 🫢
Mohon maaf jiga ada tulisan yang Kurang atw Typo dsb.Karena ucapanku sendiri sering Typo 🫢🫢🫢

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Atas Langit
Romance"Luka di Atas Langit" Revan Everheart pernah bersinar - sampai waktu menghapus sinarnya, meninggalkannya berdiri sendirian di rooftop Saint Arcadia. Savina Callista berjalan di jalur sebaliknya. Dari gadis sederhana menjadi sosok yang bers...