Hening itu masih ada.
Savina tak mundur, dan Revan tak bergerak.
Jarak di antara mereka terlalu dekat untuk disebut jauh, namun terlalu jauh untuk disebut dekat.
Savina bisa merasakan napas Revan — pelan, namun berat. Sementara Revan... ia hanya berdiri di sana, tangannya masih terkepal di sisi tubuhnya, seolah itu satu-satunya cara agar ia tetap kokoh.
"Savina..."
Suara itu pecah di antara kesunyian.
Savina tidak menjawab, matanya tetap mengunci pandangan Revan. Ia tahu, Revan sedang bertarung — bukan dengannya, tapi dengan dirinya sendiri.
"Kau tidak harus melakukannya," bisik Revan, suaranya nyaris hilang terbawa angin sore. "Kau bisa pergi."
Savina mengerjap perlahan, tapi matanya tak menunjukkan keraguan sedikit pun.
"Aku tahu."
Revan memejamkan mata sejenak — entah untuk menenangkan dirinya, atau menahan sesuatu yang sudah terlalu lama tertahan.
"Tapi kau tetap di sini," gumam Revan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Savina tersenyum tipis — bukan senyuman bahagia, melainkan senyuman seseorang yang lelah, namun tak mau menyerah.
"Aku tetap di sini," ulangnya. "Bukan karena kau memintaku."
Revan menundukkan kepala sedikit, bayangannya jatuh panjang di lantai rooftop. Angin bertiup pelan, membuat blazer hitamnya sedikit berkibar — dan dalam keheningan itu, Savina bisa melihatnya... retakan kecil di pertahanan Revan.
Detik itu, Savina tahu — Revan bukan takut ia akan pergi.
Revan takut Savina akan bertahan.
Dan entah kenapa... itu lebih menyakitkan.
"Revan."
Revan mengangkat wajahnya perlahan.
Savina mengulurkan tangannya — pelan, hampir ragu — tapi tetap maju, melewati jarak yang selama ini memisahkan mereka.
Ujung jemarinya berhenti tepat di depan dada Revan — tak menyentuh, hanya melayang, seolah memberi ruang bagi Revan untuk memilih... mundur, atau membiarkannya.
Revan menatap tangan itu.
Satu detik. Dua detik. Tiga.
Lalu, Revan perlahan mengangkat tangannya sendiri — namun bukan untuk menyentuh Savina... melainkan untuk meremas blazer-nya sendiri di dekat dadanya, seolah ingin menahan sesuatu yang hendak meledak.
Savina menelan ludah.
"Kenapa begitu sulit bagimu... untuk percaya bahwa aku ada di sini bukan untuk menyakitimu?" suaranya nyaris bergetar.
Revan tidak menjawab.
Ia hanya berdiri di sana — napasnya berat, matanya gelap, dan hatinya berantakan.
Dan Savina...
Savina tetap di sana.
Tak bergerak. Tak mundur.
Hanya dua hati yang berdiri di ambang batas — saling menatap, saling bicara dalam kebisuan... sementara langit di atas mereka perlahan kehilangan cahayanya.
------------------------------------------------------------------
Cacatan Penulis 📝:Jujur, rasanya sulit sekali mengembangkan moment yang satu ini. 😵💫

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Atas Langit
Romance"Luka di Atas Langit" Revan Everheart pernah bersinar - sampai waktu menghapus sinarnya, meninggalkannya berdiri sendirian di rooftop Saint Arcadia. Savina Callista berjalan di jalur sebaliknya. Dari gadis sederhana menjadi sosok yang bers...