抖阴社区

CHAPTER 10 - 2 : Jarak yang Kembali Melebar

2 0 0
                                    

Dua hari setelah malam Valentine, Revan tak lagi terlihat di sekitar halaman utama, ruang komite, atau tempat-tempat di mana biasanya ia secara diam-diam membantu dari balik layar.

Ia masih ada di sekolah—itu jelas. Tapi keberadaannya seolah tak berarti apa-apa.

Tak ada lagi gerakannya yang cekatan merapikan kursi, atau tatapannya yang diam-diam mengawasi detail dekorasi. Revan menjadi bayang-bayang yang bahkan tak meninggalkan jejak.

Savina menyadari semua itu.

Dan sore ini, ia menemukannya.

Di koridor belakang gedung tua Saint Arcadia, Revan berdiri bersandar pada dinding dengan kepala sedikit tertunduk. Tangan kanannya tersimpan di saku celana, sementara tangan kirinya memegang ponsel yang layarnya sudah redup—entah apa yang barusan ia lihat.

"Revan..." suara Savina memecah keheningan.

Tak ada jawaban.

Hanya suara angin sore yang meliuk pelan di antara dedaunan di luar jendela kusam.

Savina melangkah mendekat, cukup hingga bayangannya menyentuh kaki Revan. Meski begitu, pemuda itu tak bergerak sedikit pun.

"Kau menghilang sejak malam itu," Savina mencoba lagi. "Aku tahu apa yang dikatakan Nathan... itu tidak seharusnya terjadi."

Butuh waktu beberapa detik sebelum Revan mengangkat wajahnya. Senyum tipis muncul—bukan senyum hangat, melainkan samar dan hampa.

"Tidak seharusnya?" gumam Revan pelan. "Mungkin."

Savina mengerutkan kening. Ada sesuatu dalam cara Revan berbicara—bukan kemarahan, melainkan kelelahan yang dalam.

Akhirnya, Revan menggeser punggungnya dari dinding, berdiri tegak meski ekspresinya tetap datar.

"Aku membantu malam itu..." Revan mulai bicara, suaranya datar, tanpa tekanan. "Bukan karena aku bagian dari Student Council."

Savina menahan napas.

Revan menunduk sedikit, menatap lantai, tapi matanya terlihat kosong.

"Aku membantu karena seseorang terlihat seperti akan jatuh..." lanjutnya, suaranya semakin meredup. "Bukan jatuh karena lelah, tapi karena memikul terlalu banyak sendirian."

Savina terdiam.

Jantungnya berdetak pelan—bukan karena kalimat itu romantis, tapi karena kenyataan yang terpampang jelas di dalamnya.

Ia tahu apa maksud Revan.

Savina nyaris pingsan malam itu—di luar aula—ketika kekacauan mencapai puncaknya. Dan Revan... dia yang pertama menyadarinya, sebelum siapa pun.

Revan menghela napas pelan, tangannya mengusap tengkuknya seolah ada beban yang tak terlihat.

"Kurasa... aku terlalu jauh melangkah untuk sesuatu yang bukan milikku."

Savina mengangkat wajah, matanya membesar. "Bukan milikmu?"

Tatapan Revan bertemu dengannya, tapi ada kehampaan di sana—seperti seseorang yang sudah lelah berharap.

"Ini bukan tugasku sejak awal, Savina."

Suaranya tenang, namun justru itu yang membuat hati Savina terasa ngilu.

Revan perlahan melangkah pergi, melewati Savina tanpa sedikit pun menoleh.

Seolah keberadaan mereka—apa pun itu—tidak pernah cukup berarti.

Namun sebelum benar-benar menjauh, ia berhenti sejenak.

"Semoga untuk acara-acara kalian berikutnya... berjalan lancar."

Itu bukan sarkasme.

Hanya kalimat sederhana yang terdengar kosong, seolah Revan sudah melepaskan sesuatu yang tak pernah benar-benar ia genggam.

Savina hanya bisa memandang punggung Revan yang kian menjauh, sementara jarak di antara mereka... terasa semakin lebar.

--------------------------------------------------------------

Luka di Atas LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang