Keesokan harinya...
Pagi hari di Saint Arcadia selalu sama. Matahari menyelinap masuk melalui jendela panjang di sepanjang koridor, memantulkan sinarnya ke lantai marmer yang dingin. Suara pintu kelas terbuka, gumaman antar siswa, dan langkah kaki yang bergegas — semua berjalan sesuai ritme yang seharusnya.
Namun bagi Savina Callista...
Semuanya terasa berbeda.
Bukan karena apa yang ia lihat... tetapi karena sesuatu yang tertinggal sejak kemarin di perpustakaan.
Sesuatu yang masih bergema di benaknya hingga detik ini.
"Dan kau juga tahu...bahwa seseorang bisa
terlihat kuat... meski sebenarnya sedang
remuk."Suara Revan waktu itu.
Kata-katanya waktu itu.
Sorot matanya waktu itu.
Semuanya tertinggal di sudut pikirannya — seperti noda samar yang tak bisa dihapus.
Savina menarik napas perlahan.
Kedua tangannya bertaut erat di atas meja, menahan getar tipis di dadanya.
Kemeja putihnya rapi.
Dasi hitam bergaris miring melintang sempurna di lehernya. Rok hitam di atas lutut jatuh anggun seiring gerakannya. Rambut panjang berwarna coklat tua tergerai di bahunya, dengan poni menyamping yang bergerak lembut setiap kali dia sedikit mengangguk.
Semuanya sempurna.
Seperti biasa.
Di tangannya, sebuah pen.
Genggamannya sedikit lebih kuat dari biasanya — seolah benda kecil itu menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak pada kenyataan.
Savina menggiring langkahnya hingga berdiri di depan kelas.
Semua mata tertuju padanya — sebagian karena pesonanya, sebagian karena mereka tahu, setiap kata yang keluar dari mulut Savina selalu memiliki bobot tertentu.
Hening.
Lalu, suaranya terdengar.
"Jean-Paul Sartre pernah berkata..." katanya pelan, namun tajam, "'Kebebasan bukanlah sesuatu yang kita miliki... melainkan sesuatu yang kita lakukan'."
Beberapa siswa menulis.
Yang lain diam — memperhatikan, terpikat.
Namun Savina...
Pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.
"Bahwa seseorang bisa terlihat kuat...
meski sebenarnya sedang remuk."Ucapan Revan kembali terngiang di kepalanya.
Sorot matanya.
Suaranya yang rendah di antara rak buku.
Caranya berdiri di perpustakaan kemarin — terlihat dingin, namun dengan luka yang tak kasat mata.
Savina memejamkan matanya sesaat.
Tak ada yang menyadari.
Tidak ada seorang pun yang tahu...
...seberapa jauh pikirannya telah pergi.
Tangannya mengetukkan pen ke papan tulis — isinya penuh coretan diagram dan kutipan filsafat.
"Eksistensialisme percaya bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak," lanjutnya, "tetapi kebebasan itu selalu datang dengan harga... karena setiap pilihan akan meninggalkan jejak, entah kita sadar atau tidak."
Suara Savina tetap stabil.
Namun di dalam dirinya... ada sesuatu yang retak.
"Apakah itu yang kau lakukan, Revan?"
Memilih menjauh... meski kau tahu itu akan
melukai kita berdua?"Savina melanjutkan presentasinya, tetap dalam irama yang sempurna.
"Jadi, pertanyaannya bukan hanya: 'Apakah kita bebas?'..." matanya menatap papan tulis kosong, "tetapi... 'Seberapa jauh kita bersedia membayar harga untuk kebebasan itu?'"
Bel berbunyi.
Kebisingan ruangan pecah. Siswa mulai berkemas, kursi bergeser, dan pintu dibuka.
Savina memejamkan mata sejenak — bukan karena lelah... tapi karena sesuatu di dadanya terasa sesak.
Kata-kata Revan tidak ikut pergi bersama bel yang berdentang.
Di Koridor Saint Arcadia
Savina keluar dari kelas, map hitam berisi proposal Festival Budaya Sekolah terpeluk erat di dadanya.
Lorong Saint Arcadia mulai ramai. Suara langkah kaki, percakapan samar, dan bunyi pintu kelas yang tertutup memenuhi udara.
Namun, seperti biasa...
Ketika Savina berjalan... suara-suara itu perlahan mereda.
Bukan karena mereka berhenti bicara...
...tetapi karena Savina selalu menjadi pusat perhatian.
Langkahnya anggun. Posturnya lurus. Dagunya sedikit terangkat — memancarkan kepercayaan diri seorang Wakil Ketua Student Council.
Namun... ada sesuatu yang hilang hari ini.
Sebuah celah tak kasat mata di antara aura tenangnya.
Di tengah keramaian itu, samar-samar Savina mendengar suara bisikan:
"Serius... rambutnya rapi banget."
"Aku penasaran... dia pernah nggak ya,
dateng ke sekolah dengan dasi miring atau
kemeja kusut?""Savina? Kayaknya buat dia... itu hal yang
mustahil."Langkah Savina sedikit melambat.
Tidak ada satu kata pun yang menyinggung...
Tidak ada nada sarkastik...
Tapi kalimat-kalimat itu mengganggu sesuatu dalam dirinya.
Karena... mereka benar.
Tidak pernah ada satu hari pun Savina terlihat lemah. Tidak pernah ada dasi miring, tidak pernah ada rambut berantakan.
Karena itulah yang mereka lihat.
Karena itulah yang ia tunjukkan.
Namun...
Hanya ada satu orang yang pernah melihat dirinya di luar kesempurnaan itu.
Revan Everheart.
Dia pernah melihat Savina di saat-saat terburuknya.
Tanpa dasi yang rapi.
Tanpa rambut yang tertata sempurna.
Dan Revan...
Tidak pernah membicarakannya.
Savina memejamkan matanya sebentar, menenangkan sesuatu yang hampir pecah di dadanya.
Lalu, ia kembali melangkah — seolah-olah tak pernah mendengar apa pun.
Map hitam dalam pelukannya semakin erat.
Bukan karena takut berkas-berkasnya jatuh...
...tetapi karena hanya itu satu-satunya hal yang bisa ia kendalikan hari ini.
Karena pikirannya sudah terlalu jauh—memikirkan seseorang yang bahkan tidak ada di sini.
Karena emosinya sudah terlalu rumit—terbagi antara kebencian dan kerinduan yang tidak pernah diakuinya.
Dan...
Karena Revan bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan.
Tidak hari ini.
Tidak sejak kemarin.
Tidak pernah.
------------------------------------------------------------------

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Atas Langit
Romance"Luka di Atas Langit" Revan Everheart pernah bersinar - sampai waktu menghapus sinarnya, meninggalkannya berdiri sendirian di rooftop Saint Arcadia. Savina Callista berjalan di jalur sebaliknya. Dari gadis sederhana menjadi sosok yang bers...