Savina tersentak, ia bahkan belum sempat bergerak ketika tubuhnya sudah terdorong ke tembok beton di belakangnya.
Brak.
Suaranya tak terlalu keras, namun cukup membuat dada Savina bergetar.
Kini, kedua tangan Revan menempel di dinding, mengurungnya di antara ruang sempit yang hanya diisi oleh napas mereka.
Jarak di antara mereka... begitu tipis.
Savina tetap bersandar pada tembok, kedua tangannya mengepal halus di sisi tubuhnya. Sorot matanya berusaha terlihat setenang mungkin, meski kini detak jantungnya melaju lebih cepat.
Angin di rooftop berembus pelan, menggerakkan helaian rambut Savina yang masih terkurung di antara kedua tangan yang begitu kokoh tanpa celah.
Dan dalam diam, Revan menundukkan wajahnya — mendekat.
Sangat dekat.
Matanya dingin namun terasa kosong.
Jemari Revan perlahan naik— menyusuri helaian rambut di sekitar telinga Savina. Lalu turun menelusuri garis wajahnya—dari pelipis, ke pipi... hingga dagunya. Sentuhan itu begitu hangat, bertolak belakang dengan sorot matanya yang dingin dan berbahaya.
Savina membiarkan sensasi itu mengalir di wajahnya. Anehnya, meskipun Revan kini seperti orang asing, sentuhannya masih sama seperti dulu—cukup untuk membuat hatinya bergetar.
Semuanya dilakukan dengan begitu halus.
Membuatnya perlahan terpejam — bukan karena takut, melainkan karena sesuatu yang tidak ia pahami.
Dan saat itu...
Savina bergerak.
Sebuah pergerakan refleks — kecil, hampir tak terlihat. Kepalanya sedikit berpaling, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan halus.
Gerakan yang tidak disengaja—seakan mengizinkan apapun yang akan dilakukan Revan nanti.
Revan mematung—memahami bahwa itu bukan penolakan. Justru, gerakan kecil itu... mengundangnya.
Dan tanpa sadar...
Revan semakin mendekat.
Bukan ke bibirnya.
Tidak.
Revan justru mengarah wajahnya ke leher Savina, begitu dekat namun tidak ada sentuhan fisik, ia hanya ingin merasakan wangi aroma parfum mawar yang manis dan lembut itu menguar begitu kuat.
Savina juga merasakan wangi parfum Revan menguar—maskulin, sedikit tajam, dan begitu familiar. Hembusan napas Revan yang tipis, menyatu dengan wangi mawarnya sendiri.
Dan di momen itu...
Bibir mereka begitu dekat...
Hanya beberapa senti.
Itulah jarak yang memisahkan bibir mereka. Terlalu dekat. Terlalu berbahaya. Hanya tersisa ruang selebar keraguan, seolah jarak itu siap lenyap kapan saja.
Namun, sebelum semuanya melampaui batas.
Savina perlahan membuka matanya— kembali menunjukan tatapannya lembut namun kali ini tegas.
"Apa kau selalu melawan sesuatu... bahkan saat tak ada yang menyerangmu?" bisik Savina lirih.
Dan saat itu juga, Revan menghentikan gerakannya.
Sebuah keheningan panjang menyelimuti mereka, sebelum akhirnya Revan menarik diri dan menatapnya kembali dengan seringaian sinis.
Jarak yang tadi begitu tipis... kini kembali melebar.
Tapi kali ini...
Matanya kosong.
Dingin.Seolah, momen yang baru saja terjadi... tidak pernah benar-benar ada.
Revan melangkah mundur.
Satu langkah.
Dua langkah.Jemarinya menggenggam gagang pintu dengan erat — terlalu erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang berteriak, meski bibirnya tetap membisu.
Tanpa menoleh, ia berkata lirih, nyaris seperti angin yang lewat begitu saja, "Apa bedanya aku bicara atau tidak... kalau pada akhirnya, kau tak pernah benar-benar mendengarku?"
Pintu berderit pelan saat ia mendorongnya.
Brak! Suara pintu tertutup.
Bukan sekadar menutup ruang di antara mereka, tapi sesuatu yang lebih dalam. Lebih sunyi.
Savina tak bergerak.
Tapi kuku-kukunya menekan lembut telapak tangannya sendiri, satu-satunya tanda bahwa ada badai yang bergemuruh di dalam dadanya.
Dan di tengah kesunyian, hanya satu kalimat yang ia bisikkan, hampir tak terdengar.
"Aku tak perlu mengerti, Revan... hanya ingin kau tahu aku ada."
Karena pada akhirnya...
Diam adalah jawaban yang paling nyaring.
------------------------------------------------------------------

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Atas Langit
Romance"Luka di Atas Langit" Revan Everheart pernah bersinar - sampai waktu menghapus sinarnya, meninggalkannya berdiri sendirian di rooftop Saint Arcadia. Savina Callista berjalan di jalur sebaliknya. Dari gadis sederhana menjadi sosok yang bers...
CHAPTER 1 - 2 : Jarak yang Tak Terucap
Mulai dari awal