"Jangan pergi! Aku tidak sanggup bersiap patah hati"
Tetesan air membasahi kartu yang An buka, wanita mendongak sebelum rintik-rintik air tiba-tiba jatuh di wajahnya. Rintik yang mulanya perlahan kian deras tanpa disadarinya, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya menepi. Tanpa kata, mereka berdiri di ujung genteng saling menatap, mencari arti.
"Bukankah tadi cerah?"
Caesar mendongak ke atas, langit malam yang dikabarkan cerah itu kini diselimuti kelabu. Sedikit heran, terlalu tiba-tiba.
Meja yang mereka persiapkan basah kuyup. Semua makanan dipenuhi air, tidak sempat diselamatkan. Kartu pertanyaan berterbangan terbawa angin hujan. Makan malam romantis yang indah berujung kacau akibat badai hujan. Apakah lalu salah hujan yang datang tiba-tiba? Apakah salah alam yang ingin bersiklus sebagaimana mestinya? Tidak, ini salah manusia penuh ketidaksiapan.
"Tolong ambilkan handuk untuk An." Segera Caesar berlari kecil menuju lantai dua mengambil handuk sesuai pesanan.
Tanpa melepas tautan tangan di antara keduanya, Adi menuntun kekasihnya duduk di ruang makan. Beruntung ia cukup gesit membawa An menepi sehingga wanita itu tidak basah kuyup.
"Rambutmu basah, kau bisa demam." Adi mengusak rambut An dengan handuk pelan, sedikit memijat agar si pemilik kepala rileks. Dua makhluk di antara mereka hanya mampu memperhatikan, mencoba kesibukan lain demi mengatasi canggung yang tiba-tiba datang. Caesar tergerak membuat teh hangat, ia beranjak ke dapur, setidaknya pasangan itu punya ruang berdua.
"Aroma rambutmu masih sama." lirih Adi memecah keheningan.
An terkekeh, "Kau yang selalu beli merek yang sama setiap bulan."
"Bagaimana kalau kita berpisah, kira-kira siapa yang akan berbelanja untukmu setiap bulan?" Pria itu menghentikan usakan di rambut istrinya.
"Bagaimana kalau aku mempekerjakan dirimu lagi?" Canda An memandang Adi lewat kerlingan matanya.
"Kita tidak usah berpisah saja, bagaimana?" Sebuah tangan menarik kembali tangan yang sempat ia genggam, orang itu berusaha membujuk sang istri.
An menggeleng, "Aku mencintaimu, Caesar. Masih sedalam dulu, tetapi berpisah denganmu adalah salah satu cara mencintai yang ku pilih."
"Aku tidak pernah tahu tanganmu sedingin ini."
Senyum dipaksakan di bibir An, lembut tidak seperti kemarin. Ia usap tangan besar yang melingkupi jemarinya, "Aku tidak lupa pernah tanganmu akan selalu hangat meraihku."
"Tidak bisa lagi ya, An?" An tidak akan lupa bagaimana Adi mencebikkan bibirnya persis anak kecil meminta mainannya. Jika bukan hari ini, An akan mengiyakan permintaan suaminya untuk bersama kembali. Namun tidak setelah keputusannya sebulat malam ini, seberat apapun keinginannya pada akhirnya An menggeleng.
Genggaman tangan Adi meregang, perasaannya redam terbawa keputus asaan. Sebelum tangis meluncur dari pelupuk mata orang dicintainya, keduanya memutuskan beranjak. An menaiki tangga menuju kamarnya, seolah gerakan lambat punggung itu perlahan menghilang dari pandangan.
Hujan semakin deras di balik jendela menyisakan titik-titik embun yang mengaburkan beningnya kaca. Sepertinya hujan sengaja datang meredam derasnya kesedihan di rumah sederhana, yang sebentar lagi ditinggalkan penghuninya. Adi sadar perasaan sedihnya valid bukan sekedar ellipsism yang biasa tercipta sesaat ia menciptakan puisi di tengah hujan. Bukan juga winter blues, yang biasa ia gunakan saat menulis cerita sedih, tidak, ia nyata akan kehilangan.
Adi menangkup wajahnya, menahan isak yang keluar dari mulutnya. Tangis mengisi kekosongan rumah itu malam ini. Sementara An setiba di kamarnya, tubuhnya meluluh di bawah kasur. Ia tergugu dalam tangisnya, mendoakan diri tidak ada sesal setelah malam ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
LUA : Unconditional Love (END)
RomanceLUA mengajak Caesar pergi ke masa depan demi menyelematkan istrinya. Siapa duga hubungan percintaannya di ujung perceraian. Mampukah Caesar muda menyelematkan pernikahannya di masa depan?