抖阴社区

                                    

"Kenapa gagal ya, Lu?" bisikan itu berasal dari Caesar yang berdiri di samping pintu menguping pembicaraan suami-istri rumah ini.

Robot bulat itu menunduk, mengambang di samping Caesar dengan tak bergairah, sinarnya meredup.

...

Tidak biasanya pagi itu dapur telah berisik, tidak heran jika Adi yang membuat kebisingan seperti sebelum-sebelumnya. Namun, hari ini yang menimbulkan bising adalah Ila Luana. Pekikan kecilnya sempat terdengar ketika menggoreng telur, selebihnya An mampu menangani menu sandwich telur yang hendak dibuatnya. Bukan tidak pernah memasak, ia hanya berhenti memasak pasca hubungannya dan Adi meregang. Biasanya pula ia juga memasak bersama Adi, tidak pernah sendiri.

Tangannya meletakkan hati-hati irisan sandwich dalam piring masing-masing. Hasil masakannya tidak terlalu buruk, sandwich itu matang kekuningan sesuai ekspektasi. Ia menyiapkan kopi untuk dirinya dan Adi, sedangkan Caesar ia buatkan susu. Setelah sarapan siap, An naik ke kamarnya lagi.

Senyum terkembang di bibir Adi seusai lari pagi dan menemukan sarapan di atas meja. Ia tahu istrinya yang membuatkannya. Ia bersiap di meja makan, menunggu dua manusia lainnya untuk bergabung. Sedetik kemudian senyum itu hilang melihat kenampakan amplop coklat di samping kopinya.

Sarapan bersama terakhir? Ucapan terimakasih?

Helaan nafas sejenak ia keluarkan mulutnya, beranjak dari kursi untuk mencari pulpen di lemari.

Mungkin An lebih bahagia jika tak bersamanya. Mungkin suatu hari wanitanya akan menemukan sosok yang lebih mengerti dirinya. Mungkin juga seorang laki-laki yang berhesus negatif di belahan dunia lain.

Sedikit gemetar, Adi torehkan tanda tangan di atas materai. Ia masukkan kembali berkas yang tak pernah ia bayangkan akan ia tandatangani bersama An. Ada ruang yang kosong tiba-tiba muncul di dadanya sesaat surat itu ia kancingkan kembali dalam amplop.

Aroma kopi yang biasanya ia seduh setiap hari, entah mengapa menjadi berbeda dengan yang disuguhkan oleh An. Merek kopi dan gula yang sama, tetapi setiap ia sesap dalam mulutnya menyisakan ledakan perasaan yang tak bisa ia tafsirkan lewat kata-kata. Spesial, hendaknya kata itu yang langsung tercetus sesaat aliran kopi menuruni tenggorokannya.

Bukan hanya spesial, rasanya tidak terlupa sekali diracik dengan resep yang sama. Kopi yang dulu sering dibuatkan An, sementara ia memasak sarapan.

Suara roda yang diseret menuruni anak tangga menyudahi nostalgia. An menghentikan koper besarnya di depan pintu.

Ah, sudah bersiap pergi.

"Terima kasih sarapannya." Ucap Adi menahan sesak di dadanya, siapa yang terluka melihat sang kekasih meninggalkan rumahnya.

An bergabung di meja, meraih amplop cokelat di samping kopinya. Posisinya sudah berubah sejak ia tinggalkan. Ia tidak tahu harus berekspresi apa kala memeriksa tandatangan suaminya yang telah tercetak di atas kertas perceraian mereka. Apakah ia harus lega? Atau merasa kehilangan.

"Aku akan mendaftarkannya ke pengadilan siang ini."

Hanya anggukan, Adi sibuk mengunyah sandwich miliknya.

"Aku akan tinggal di apartemen yang disediakan laboratorium, orang-orangku sudah membersihkannya kemarin. Nanti juga ada orang-orangku yang mengangkut barang-barangku yang lain. Jika ada barang-barangku yang tertinggal, kau bisa mengirimnya ke sana." Beritahu An sebelum menikmati sarapannya.

"Hati-hati." Pesan Adi tidak ingin repot-repot mengucapkan salam perpisahan. Ia berjalan ke wastafel, membereskan piringnya. "Jika kau buru-buru, tinggalkan saja bekas makanmu, biar aku yang mencucinya."

An menelan kunyahannya dengan paksa, Adi terkesan mengusirnya, menginginkan ia cepat-cepat pergi. Membawa bekas makanan di hadapan Adi, memeluk calon mantan suaminya dari belakang, menyandarkan dagunya di bahu pria itu hingga pemilik bahu menghentikan gerakan mencucinya.

"Ce, akupun sama denganmu, aku tidak pernah menyesal menikah denganmu. Tidak juga membencimu, malahan aku berterima kasih padamu atas semua pengalaman hidup yang tujuh belas kita jalani."

Perlahan An melepaskan pelukannya menyisakan perih pada pelupuk matanya yang berusaha ia tahan. Adi tidak bergerak dari tempatnya, tangannya masih penuh busa memegang pinggiran wastafel, berharap bisa menjadi pegangannya untuk sesaat.

"Aku pergi, Ce." Sekilas An menoleh kepada suaminya yang membelakanginya, tidak bergeser sesentimu dari terakhir yang ia lihat. An menyeret koper besarnya perlahan, meninggalkan derit yang memenuhi sunyinya ruang makan.

Ada perasaan yang aneh kala Caesar menemukan Lua mengambang rendah di anak tangga yang menghubungkan ruang makan dan lantai dua. Turunan anak tangga terasa curam sejenak mengintip punggung Adi yang bergetar di belakang wastafel. Suara derit koper membuatnya terburu menghampiri Adi.

"Pak, apa yang Anda lakukan? Kejar Kak An, cegah dia pergi." Seru Caesar penuh penekanan, ia tidak menyangka perpisahan mereka akan secepat ini. Tidak secepat pagi setelah ia membuatkan makan malam romantis, tidak juga setelah mereka dapat mengungkapkan perasaan masing-masing. Ia tidak sekalipun setuju pasangan itu berpisah.

"Sarapan dulu." Adi melanjutkan kegiatan mencucinya dan mengabaikan seruan Caesar padanya.

"Mobil Kak An masih belum pergi, Anda masih bisa menahannya pergi." Caesar menarik-narik tangan Adi dan langsung dihempas pemiliknya.

"Aku mau ke kamar, kau sarapanlah." Putus Adi setelah meletakkan piring hasil cucian di atas rak. Langkah lebarnya meninggalkan Caesar yang gelisah antara mengejar Adi atau An, suara mobil An yang dinyalakan terdengar di telinganya, bergegas ia berlari keluar ke halaman.

"Kak An." Panggilnya keras.

Namun, An abai, ia telah tahu tujuan anak Adi itu menahan. Bocah itu pasti getol mempertahankan hubungan antara dirinya dan Adi karena rasa bersalah. Bocah itu tidak tahu jika bukan karena alasan itu, An memilih pergi.

Terima kasih sudah mampir!

Jangan lupa vote dan komen 🤗

Aku sangat berterima kasih terhadap dukungan kalian😄

Sincerely, aprcloudly

LUA : Unconditional Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang